Penentuan Jadwal Pemilu 2024 Perlu Pertimbangkan Masa Transisi Presiden
Masa transisi antara presiden yang sedang menjabat dan presiden terpilih hasil pemilu diharapkan tak terlalu lama. Sebab, bisa berdampak pada efektivitas pemerintahan yang sedang berkuasa.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu meminta kepada pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum agar mengkaji secara mendalam tanggal pemungutan suara Pemilu 2024. Hal ini bertujuan agar risiko-risiko dalam proses penyelenggaraan pemilu tersebut dapat diminimalisasi.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, dalam diskusi virtual bertajuk ”Sukses Pemilu 2024 di Tengah Pandemi Covid-19”, Rabu (29/9/2021), mengatakan, ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan dalam penentuan tanggal pemungutan suara pada Pemilu 2024. Di antaranya, kecukupan waktu kandidasi pasangan calon kepala-wakil kepala daerah oleh partai politik di pemilihan kepala daerah serentak nasional pada November 2024, siklus anggaran daerah, kondisi cuaca, distribusi logistik, serta hari libur nasional dan keagamaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain hal-hal tersebut, menurut Bagja, ada hal yang lebih krusial dan selama ini jarang dibahas pemerintah, DPR, dan KPU dalam penentuan tanggal pencoblosan pemilu. Itu adalah masa transisi presiden, antara presiden yang secara de facto dan de jure masih sebagai presiden dan ada presiden yang terpilih dari hasil pemilu. Masa transisi ini, menurutnya, tidak boleh terlalu panjang.
Semua pihak harus belajar dari pengalaman Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang masa transisinya terlalu panjang. Hal ini kemudian menyebabkan kinerja pemerintahan pada enam hingga tujuh bulan terakhir sangat tidak efektif.
”Kalau terlalu lama masa transisinya, dalam hal ini menterinya, bisa tidak fokus (bekerja). Dan tidak mungkin, kan, mengganti kabinet enam bulan terakhir jelang akhir masa pemerintahan. Faktor-faktor ini harus dipikirkan, ada masa enam bulan yang membuat efektivitas pemerintahan bermasalah,” ucap Bagja.
Untuk itu, dalam penentuan tanggal nanti, KPU dan pemerintah harus duduk bersama memetakan seluruh potensi permasalahan yang ada. KPU akan membahas masalah teknisnya, sedangkan pemerintah membahas efektivitas penyelenggaraan pemerintah. ”Penentuan tanggal itu, apakah bisa ditampung dalam tahapan yang teknis bagi KPU atau bagaimana. Itu nanti akan sangat bergantung pada KPU,” kata Bagja.
Sementara itu, komisioner KPU Arief Budiman menyampaikan, pemilihan tanggal 21 Februari oleh KPU telah melalui perhitungan yang matang sesuai peraturan perundang-undangan.
Termasuk di dalamnya, KPU telah menghitung kebutuhan waktu untuk distribusi logistik yang membutuhkan hingga sekitar 7,5 bulan.
”Makanya, kami menyusun tahapan dengan pemilihan pada Februari, salah satunya untuk menghitung penyediaan logistik, terutama pada masa akan dimulainya penyelenggaraan pilkada,” kata Arief.
Namun, KPU nanti akan tetap mendengar alasan dari usulan tanggal yang disampaikan pemerintah. ”Nanti kami (KPU, DPR, dan pemerintah) bertemu dan akan membahas bersama tanggal 6 Oktober (2021) mendatang,” katanya.