Komnas HAM berniat mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Jika undang-undang itu tak direvisi, pengadilan HAM dinilai tak akan berdiri.
Oleh
SUSANA RITA
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis dan sukarelawan bergabung dalam aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Aksi Kamisan secara rutin menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia mati suri dalam kurun waktu kurang lebih 15 tahun terakhir. Tidak ada satu pun perkara yang diadili oleh pengadilan yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, meski Komisi Nasional HAM telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sejumlah kalangan menilai, ada persoalan hukum acara dan substansi hukum di dalam UU No 26/2000 yang membuat pengadilan itu terasa tidak ada dalam 1,5 dekade terakhir. Untuk itu, revisi undang-undang menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak dilakukan.
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, dalam diskusi mengenai masa depan pengadilan HAM, Rabu (29/9/2021), mengatakan, pihaknya mempelajari berkas tiga perkara pelanggaran HAM yang pernah diadili di Indonesia, yaitu peristiwa Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok, dan peristiwa Abepura. Dari tiga perkara ini, hanya dua warga sipil yang divonis bersalah, yaitu Abilio Soares dan Erico Guteres.
Di dalam pemeriksaan persidangan, majelis hakim tidak memiliki ukuran yang sama dalam hal-hal konseptual terkait dengan UU Pengadilan HAM.
Bahkan, di dalam pemeriksaan persidangan, majelis hakim tidak memiliki ukuran yang sama dalam hal-hal konseptual terkait dengan UU Pengadilan HAM. Misalnya, terkait dengan definisi meluas dan sistematik yang menjadi unsur-unsur dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, majelis hakim memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Hal tersebut diduga mengakibatkan tidak maksimalnya vonis yang dijatuhkan.
Ia pun kemudian menyinggung persoalan yang dihadapi Komnas HAM saat ini, yaitu bolak-baliknya berkas hasil penyelidikan terhadap 12 peristiwa dugaan pelanggaran HAM. Belum ada kata sepakat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai bukti permulaan yang cukup agar perkara tersebut bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan. Hal itu bahkan terjadi sejak ketua Komnas HAM masih dijabat Abdul Hakim Garuda Nusantara periode 2002-2007.
”Kalau undang-undang tidak direvisi segera, pengadilan HAM tidak akan berdiri lagi karena memang tidak bisa berjalan,” ujar Amiruddin. Menurut rencana, Komnas HAM akan mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar UU No 26/2000 direvisi.
Adapun 12 peristiwa yang diduga sebagai kejahatan HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM berdasarkan UU No 26/2000 ialah peristiwa 1965, penembakan misterius (1982-1983), Tanjung Priok 1984, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi 1998, Timor Timur 1999, peristiwa Abepura 2000, peristiwa Wasior 2001-2002, peristiwa Wamena 2003, peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, peristiwa Talangsari 1989, dan kasus dukun santet di Jawa Timur.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Basari, yang hadir dalam diskusi, mendukung upaya revisi undang-undang itu. Ada problem di dalam UU No 26/2000. Problem pertama adalah undang-undang tersebut disusun atas dasar suatu keterpaksaan karena bangsa Indonesia menghindari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan peristiwa pelanggaran HAM di Timor Timur secara internasional. Indonesia terpaksa membuat pengadilan HAM domestik.
”Kalau tidak dibentuk UU Pengadilan HAM dan pengadilan HAM di Indonesia, maka kasus Timor Timur terancam dibawa ke pengadilan internasional,” ujar taufik.
UU No 26/2000 dibentuk dengan mengambil jalan pintas mengadopsi begitu saja Statuta Roma dengan beberapa varian. Dari empat jenis kejahatan yang ada di Statuta Roma, hanya dua yang dimasukkan ke UU Pengadilan HAM, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan perang dan kejahatan agresi tidak diadopsi.
”Sementara kita punya harapan atau ekspektasi bahwa UU No 26/2000 ini bisa menjadi muara pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya. Tapi, akhirnya harapan itu terbentur dengan latar belakang terbentukan UU No 26/2000 itu sendiri yang arahnya untuk menghindari pengadilan HAM internasional,” ujarnya.
Apabila dilihat yurisdiksi pengadilan HAM Indonesia, maka hanya terkait dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Untuk membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan, unsur meluas dan sistematis (widespread and systematic) harus bisa dibuktikan. Padahal, menurut Taufik Basari, tidak melulu sebuah pelanggaran HAM yang serius mengandung unsur sistematis dan meluas.
Kita punya harapan atau ekspektasi bahwa UU No 26/2000 ini bisa menjadi muara pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya. Tapi, akhirnya harapan itu terbentur dengan latar belakang terbentuknya UU No 26/2000 itu sendiri yang arahnya untuk menghindari pengadilan HAM internasional. (Taufik Basari)
Ia mencontohkan kasus extrajudicial killing di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek terhadap anggota Front Pembela Islam yang diselidiki Komnas HAM, beberapa waktu lalu. Ketika itu, Komnas HAM menyatakan, ada pelanggaran HAM dan merekomendasikan para pelaku untuk dihadapkan ke pengadilan umum, bukan pengadilan HAM. Setelah itu, sebagian masyarakat mengkritik Komnas HAM tidak pro penegakan HAM karena tidak merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM.
”Itu pelanggaran HAM. Tidak pernah Komnas HAM menyatakan bukan pelanggaran HAM. Masalahnya adalah yurisdiksi, di mana yurisdiksi yang diatur di dalam UU No 26/2000 memang limitatif. Kalau dipaksakan masuk ke situ, justru akhirnya membuat proses penegakan hukum di kasus tersebut menjadi sulit,” ujar Taufik.
Kompas/Hendra A Setyawan
Mural aktivis hak asasi manusia (Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul), yang meninggal dunia atau hilang karena perjuangan mereka, tergambar di sebuah dinding di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (19/9/2021). September menjadi bulan kelam dalam peta sejarah penegakan HAM di Indonesia. Bahkan, sejumlah kasus hingga saat ini tetap saja tak pernah menemukan titik terang.
Ia menambahkan, masyarakat menganggap UU Pengadilan HAM yang ada sekarang dapat menyelesaikan semua persoalan. Padahal, undang-undang itu masih menyisakan problematik yang harus diselesaikan. Menurut dia, revisi sebaiknya diinisiasi pemerintah. Sebab, perlu waktu lebih lama bagi DPR untuk dapat mengusulkan revisi UU No 26/2000 sebagai inisiatif DPR.
”Kalau memang kita mau semakin jelas proses penuntasan pelanggaran HAM masa lalu yang sudah sedemikian lama terkatung-katung, idealnya revisi UU No 26/2000 masuk Prolegnas 2022. Tetapi, kalau belum cukup waktunya, selambat-lambatnya Prolegnas 2023 atau evaluasi Prolegnas 2022 yang biasanya dilakukan pada bulan September,” ujar Taufik.
Substansi revisi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Busyra Azheri mengungkapkan, ada beberapa hal yang harus diperbaiki di dalam UU No 26/2000. Salah satunya adalah terpisahnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang ditengarai sebagai salah satu kelemahan dalam penyelenggaraan proses peradilan bagi perkara kejahatan HAM.
Selama ini, Komnas HAM berwenang menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. Namun, kedua institusi itu memiliki interpretasi berbeda terhadap ”dua bukti permulaan yang cukup” sehingga kasus bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan. Akibatnya, berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM hanya bolak-balik di Kejaksaan dan Komnas HAM dalam 15 tahun terakhir.
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi diam Kamisan ke-619 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (23/1/2020). Aksi menyuarakan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tersebut juga menegaskan bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II merupakan pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan.
Menurut Busyra, ada beberapa opsi yang dapat diberikan terkait dengan permasalahan itu, yakni memperluas kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan penyidik, atau memperluas kewenangan Jaksa Agung sebagai penyelidik dan penyidik, atau membuat lembaga penyelidik dan penyidik independen. Opsi yang paling memungkinkan, tambahnya, adalah opsi pertama memperluas kewenangan Komnas HAM karena akan membantu mempercepat proses mengingat lembaga tersebut dianggap sebagai lembaga independen yang menguasai persoalan HAM.
Selain itu, menurut Busyra, ketiadaan ketentuan yang mengatur penyelesaian perbedaan pendapat antara penyelidik dan penyidik. Hal ini menyebabkan terhentinya proses penyelesaian kejahatan HAM.