Saatnya Beranjak dari Era Hukum Pidana Hammurabi
Praktik pemidanaan di Indonesia tak ubahnya dengan Piagam Hammurabi, hukum tertulis pertama di dunia, yakni pemidanaan dengan semangat balas dendam. Dampaknya, terjadi kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan.
Adalah Raja Babylonia pada 1792-1950 Sebelum Masehi (SM) Hammurabi yang telah menghasilkan hukum tertulis pertama yang tercatat di dunia, dan kemudian dikenal dengan Piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Piagam Hammurabi merupakan aturan resmi yang dijalankan oleh masyarakat dan pemerintahan Babilonia.
Arkeolog Perancis, M De Morgan, menemukan susa atau lempengan batu yang di atasnya bertuliskan hukum-hukum yang dirumuskan oleh Hammurabi. Lempengan batu itu disebut sebagai kitab hukum tertua, yang berisi ketentuan mengenai hak-hak dan kewajiban seluruh warga masyarakat kerajaan Babylonia. Prinsip hukum yang terdapat di dalamnya adalah hukuman mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Semangat pemidanaan yang ada di dalam hukum tersebut adalah balas dendam.
Salah satu aturan di dalam Piagam Hammurabi, seorang dukun yang pasiennya meninggal ketika sedang dioperasi dapat kehilangan tangannya (dipotong). Atau, seseorang yang berutang dapat lepas dari utangnya dengan memberikan istri atau anaknya kepada orang yang mengutanginya untuk waktu tiga tahun.
Meski tidak letterlijk sama, semangat yang ada di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih seperti hukum di jaman Hammurabi. Kritik ini bahkan disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi ”Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia” yang diselenggarakan pada Selasa (21/9/2021).
Sistem peradilan pidana di Indonesia masih berkuat pada hukum pidana Hammurabi, di mana hukum pidana dipandang sebagai sarana balas dendam.
Eddy mengungkapkan, sistem peradilan pidana di Indonesia masih berkuat pada hukum pidana Hammurabi, di mana hukum pidana dipandang sebagai sarana balas dendam. Selain ada kesalahan substansi pada hukum, keinginan untuk memenjarakan pelaku tindak pidana masih sangat kuat di dalam benak masyarakat dan aparat penegak hukum di Indonesia. Kedua hal tersebut menjadi persoalan utama dalam overcrowding LP hampir di seluruh Indonesia.
Saat ini, hampir seluruh LP dan rutan di negara ini begitu padat/overcrowded dengan tingkat yang berbeda-beda. Ada yang kelebihan penghuni hingga 100 persen, bahkan ada pula LP dan rutan dengan penghuni 1.000 persen dari kapasitas yang ada.
”Overcrowded tidak bisa ditangani dengan membangun LP. Pertanyaannya, mau berapa ribu LP yang mau dibangun untuk mengatasi overcrowded. Untuk membangun satu LP, hanya untuk LP-nya Rp 300 miliar. Belum segala macam sistem yang harus ada di dalam LP,” kata Eddy.
Baca juga : Mengatasi ”Overcrowding” Lapas
Berdasarkan data yang diungkapkan Eddy, LP dan rutan yang ada saat ini dihuni 360.000-an orang. Padahal, kapasitas yang ada hanya mampu untuk menampung sekitar 170.000 napi dan tahanan. Dari total penghuni itu, sebanyak lebih kurang 160.000 orang terjerat kasus narkotika dengan 80 persen di antaranya pengguna.
”Dan lebih miris lagi, dari pengguna (narkotika) itu, 85 persennya (terjerat kasus dengan barang bukti) di bawah 0,7 gram,” kata Eddy.
Dengan logika tersebut, menurut dia, sangat keliru jika menyalahkan persoalan overcrowded LP dan rutan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Justru, selama ini, LP dan rutan hanya menjadi tempat pembuangan akhir dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tanpa kewenangan untuk menolak menampung terdakwa yang dieksekusi jaksa.
”Kita ini tempat pembuangan akhir,” kata Eddy. Menurut dia, Kemenkumham selama ini tidak pernah dilibatkan dalam proses ajudikasi.
Problem substantif
Untuk mengatasi problem overcrowded tersebut, bagi Eddy, hal yang pertama dan utama yang harus dilakukan adalah mengubah undang-undang, khususnya UU Narkotika. UU tersebut memang mengatur bahwa pengguna narkoba tidak dipenjara, tetapi direhabilitasi seperti diatur dalam Pasal 127. Namun, pasal ini bersifat pilihan dan jarang sekali digunakan oleh penuntut umum. Penuntut umum lebih sering menggunakan Pasal 112 UU Narkotika, yakni hukuman pidana penjara.
”Mindset-nya ingin memidana orang,” kata Eddy.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sepakat dengan kian mendesaknya revisi UU Narkotika. Persoalan overcrowding LP dan rutan saat ini memang bukan disebabkan oleh meningkatnya tren kejahatan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Maidina mengatakan bahwa tren kejahatan di masyarakat secara umum menurun dari tahun 2018 hingga 2020.
”Overcrowded bukan disebabkan tren kejahatan, tetapi karena kesalahan dalam kebijakan legislasi dan pidana yang harus direspons secara komprehensif antara pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi ketentuan hukum pidana agar tidak lagi bergantung pada penggunaan pidana penjara,” ujarnya.
Ia mencatat, 91,34 persen produk legislasi di Indonesia memuat pidana penjara. Ini semakin diperparah dengan hasil penelitian ICJR tahun 2021 yang mengungkap bahwa pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan dibandingkan alternatif pemidanaan yang lain.
Baca juga : PP No 99/2012 Disebut Jadi Kendala Pelepasan 30.000 Napi
Jika melihat komposisi penghuni LP dan rutan, sebelum pandemi, 60 persen penghuni penjara terjerat kasus narkotika. Ini sejalan dengan data Laporan Tahunan MA yang menyebutkan tiga kasus yang paling sering diputus pengadilan, yaitu narkoba, pencurian, dan penyiksaan.
Lantas, mengapa kasus narkoba mendominasi?
Selain karena genderang perang terhadap kejahatan narkotika yang ditabuh pemerintah sejak 2015, Maidina menduga hal tersebut juga disebabkan adanya pasal karet di dalam UU Narkotika. Pasal-pasal itu adalah Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114 UU Narkotika yang mengatur tentang penguasaan, kepemilikan, dan pembelian narkotika. Sebenarnya, ketiga pasal tersebut ditujukan untuk menjerat peredaran gelap narkoba. Akan tetapi, pada praktiknya, penegak hukum menggunakan pasal-pasal tersebut juga untuk memenjarakan pengguna narkoba.
”Kita sama-sama tahu bahwa pengguna narkotika pasti menguasai, pasti memiliki, dan pasti membeli narkotika,” ujar Maidina.
Akibat tidak jelasnya pengaturan di dalam UU Narkotika itu, para pengguna narkoba yang seharusnya dijerat dengan menggunakan Pasal 127 (menyalahgunakan) justru dijerat dengan pasal peredaran gelap sehingga dihukum penjara lebih dari 5 tahun.
Jika melihat komposisi penghuni LP dan rutan, sebelum pandemi, 60 persen penghuni penjara terjerat kasus narkotika.
Terkait dengan hal tersebut, ia mengusulkan agar ketentuan dekriminalisasi untuk pengguna narkoba harus dipastikan ada di dalam revisi UU Narkotika. Revisi UU Narkotika ke depan harus berorientasi pada pendekatan Kesehatan dengan memberdayakan sistem kesehatan yang ada. Rehabilitasi atau intervensi kesehatan untuk pengguna narkoba menjadi sebuah kebutuhan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, sangat sepakat dengan gagasan ICJR. Pihaknya siap untuk mengadopsi usulan-usulan tersebut dalam revisi UU Narkotika yang oleh Kemenkumham dapat diselesaikan pada sekitar bulan November tahun ini.
Beda dengan para pembicara lain yang berkutat pada produk legislasi dan mindset penegak hukum, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Thurman Hutapea dengan lantang menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 menjadi biang permasalahan overcrowding di LP dan rutan. PP No 99/2012 menyulitkan hak narapidana kasus narkotika, korupsi, terorisme, dan pelaku tindak pidana khusus lainnya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Ia pun meminta agar PP tersebut segera dicabut.
Baca juga : Presiden: Pembebasan Bersyarat Hanya untuk Napi Pidana Umum, Bukan Koruptor
PP No 99/2012 mengatur, napi tindak pidana khusus baru dapat bisa memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat apabila menyandang status justice collaborator (JC) atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkat kejahatannya.
Ide ini didukung oleh Taufik Basari. Menurut dia, PP No 99/2012 bertentangan dengan konsep pemasyarakatan modern, di mana semua napi memiliki hak yang sama, tanpa membedakan kejahatan yang dilakukan. Istilah yang digunakan Taufik Basari, beda kamar. Kamar pertanggungjawaban pidana seorang pelaku kejahatan sudah selesai di putusan yang dijatuhkan hakim.
Ketika menjadi narapidana, ia memasuki kamar baru sehingga jika akan melakukan pembatasan-pembatasan harus dilakukan dengan konsep pemasyarakatan. Remisi dan pembebasan bersyarat, dalam konsep pemasyarakatan, adalah reward bagi napi yang sudah berkelakuan baik.
”Selain itu, ada juga yang keliru dalam soal JC. Itu kasuistis. Tidak semua kasus terbuka kemungkinan ada JC. Kalau tidak ada peluang JC, selamanya akan tertutup hak-haknya sebagai napi,” kata Taufik.
Eddy juga sepakat bahwa PP No 99/2012 merupakan salah satu persoalan. ”RUU Pemasyarakatan jika disahkan, secara mutatis mutandis, PP 99 tidak berlaku lagi,” ujarnya.
Saat ini, revisi UU Pemasyarakatan dan UU Narkotika serta KUHP telah masuk dalam program legislasi nasional prioritas yang akan segera dibahas pemerintah dan DPR.
Solusi jangka pendek
Pandemi Covid-19 dan peristiwa kebakaran LP Tangerang pada 8 September 2021 lalu perlu dijadikan momentum untuk melakukan reformasi pemasyarakatan. Momentum tersebut harus dimanfaatkan untuk mengurai persoalan overcrowding secara cepat, selain upaya sistemik yang dilakukan melalui jalur legislasi dan perubahan mindset.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam, mengatakan, perlu ada kebijakan yang berani untuk menurunkan overcrowding di LP dan rutan melalui pemberian amnesti dan grasi secara massal. Hal ini akan langsung mengurangi jumlah penghuni LP dan rutan secara signifikan, yang nantinya juga berpengaruh pada pemenuhan hak-hak warga binaan di dalam penjara.
Hanya saja, Anam mengingatkan, kebijakan tersebut sudah pasti tidak populer dan akan menciptakan hiruk-pikuk di masyarakat. Sebab, mindset yang ada di dalam pikiran masyarakat mengenai pemenjaraan adalah menghukum orang supaya jera. Banyak serangan akan dialamatkan ke pemerintah, khususnya Kemenkumham.
Baca juga: Kebakaran Lapas Tangerang Dinilai akibat Kelalaian Negara
Namun, hiruk-pikuk tersebut dapat diminimakan dengan proses asesmen yang transparan, akuntabel, dan adil dalam menentukan narapidana yang akan mendapatkan amnesti dan grasi. Proses asesmen yang dilakukan oleh otoritas yang kuat, menjadi jantung dalam penerapan kebijakan ini.
”Asesmen dilakukan secara akuntabel, transparan, dan adil. Kalau enggak, rontok juga itu. Hanya dengan asesmen, bangunan kepercayaan terhadap terobosan pengurangan overcrowding ini bisa diperolah,”ujarnya.
Secara spesifik, Maidina menyebutkan, asesmen perlu dilakukan kepada para pengguna narkoba yang dipidana dengan pasal pengedar. Para pengguna tersebut selama ini tidak dapat memeroleh remisi dan pembebasan bersyarat karena terbentur aturan PP 99/2012.
Dengan dukungan semua pihak, kebijakan pemberian amnesti dan grasi secara massal tersebut menjadi solusi paling mungkin yang dapat dilakukan saat ini. Tentu, seperti diungkapkan Anam, asesmen perlu dilakukan secara transparan. Seiring dengan itu, upaya mengubah paradigma hukum pidana, supaya satu langkah lebih maju dari hukum di zaman Hammurabi, bisa dimulai.