Fadjroel: Soal Tiga Periode, Presiden Jokowi Sudah Membantah
Fadjroel Rachman mengatakan, perpanjangan masa jabatan presiden sudah dibantah oleh Presiden Joko Widodo. Biarkan saja itu menjadi perdebatan di wilayah publik untuk meyakinkan bahwa demokrasi berjalan di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman mengatakan, sikap politik Presiden Joko Widodo adalah menolak wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Presiden Joko Widodo sudah menyatakan bahwa dirinya menghormati konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 7, yang mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
”Jadi, isu tentang wacana tiga periode dan kemudian perpanjangan masa jabatan presiden sudah dibantah secara langsung oleh Presiden Joko Widodo, baik dalam pertemuan dengan wartawan tahun 2019 dan tahun 2021. Dan, terakhir sudah dibantah lagi oleh beliau pada pertemuan dengan para pimred,” kata Fadjroel Rachman kepada para wartawan, Selasa (28/9/2021).
Akan tetapi, Fadjroel juga menuturkan bahwa perdebatan itu tentu tidak bisa dihalangi. Mengingat, Pasal 28 menyatakan adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirannya secara tertulis ataupun tidak tertulis.
”Jadi, itu, biarkan saja menjadi wacana perdebatan di wilayah publik untuk meyakinkan bahwa demokrasi memang berjalan di Indonesia dan tugas negara—khususnya pemerintah—untuk melindungi, mempromosikan, dan menjaga hak-hak dari setiap warga negara Indonesia, khususnya terkait dengan apa yang disebut sebagai hak kebebasan untuk berbicara,” katanya.
Kedua, Fadjroel melanjutkan, Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa amendemen maupun agenda amendemen itu adalah wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan Pasal 3 UUD 1945. ”Jadi, dalam titik ini, sekali lagi kami menyatakan bahwa Presiden sebagai orang yang lahir dari reformasi—beliau dua kali menjadi wali kota, satu kali menjadi gubernur, dan dua kali menjadi presiden—beliau mengatakan bahwa beliau adalah buah atau anak dari reformasi. Jadi, tidak mungkin Presiden Joko Widodo itu mengkhianati konstitusi ataupun mengkhianati reformasi,” katanya.
Baca juga : Presiden Jokowi Tak Mungkin Khianati Amanat Reformasi
Terkait dengan isu yang berembus mengenai masa perpanjangan tiga tahun, Fadjroel kembali menuturkan bahwa ia tidak mungkin menghentikan perdebatan wacana di publik karena itu ciri negara demokrasi. ”Dan, itu dilindungi oleh konstitusi, setidaknya Pasal 28. Jadi, kita tidak boleh menghentikan itu. Termasuk juga kita tidak boleh mencampuri urusan MPR, karena Pasal 3 mengatakan adalah wewenang mereka untuk mengubah, menetapkan UUD, termasuk juga Pasal 37 terkait dengan wewenang MPR,” ujarnya.
Ini sikap politik Presiden Joko Widodo: menolak. Jadi, kalau ingin mengatakan: tidak, tidak, tidak terhadap wacana tiga periode. Dan juga tidak, tidak, tidak terhadap masa perpanjangan jabatan presiden.
Jadi, menurut Fadjroel, Presiden ingin mengatakan bahwa apa yang menjadi hak konstitusional warga negara, pemerintah wajib melindungi dan mempromosikannya. ”Apa yang menjadi wewenang dari lembaga-lembaga tinggi negara, kita menghormatinya. Jadi, tetap ada. Tinggal memang di titik ini kedewasaan kita berdemokrasi dan relevansinya dalam kehidupan demokrasi tetap kita hargai," tegas Fadjroel.
Tetapi, dalam sikap politik, lanjut dia, sikap politik Presiden Joko Widodo adalah menolak. "Jadi, kalau ingin mengatakan: tidak, tidak, tidak terhadap wacana tiga periode. Dan juga tidak, tidak, tidak terhadap masa perpanjangan jabatan presiden,” kata dia.
Perombakan kabinet
Terkait dengan perombakan kabinet, Fadjroel menuturkan bahwa hal itu adalah hak prerogatif Presiden Joko Widodo. ”Sampai hari ini, kalaupun banyak informasi yang beredar di luar tentang reshuffle, kita menyerahkan segalanya mengenai apakah ada reshuffle, apakah tidak, kita menyerahkan pada pengumuman langsung dari Presiden Joko Widodo,” katanya.
Hal yang ingin ditekankan, lanjut Fadjroel, adalah bahwa menteri koordinator, menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, itu semuanya fokus untuk membantu Presiden Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19, khususnya di tiga bidang; yaitu bidang kesehatan, perlindungan sosial, maupun pemulihan ekonomi.
”Dan, alhamdulillah, apa yang sudah dikerjakan selama masa PPKM dengan beragam level itu sekarang sudah menunjukkan hasil dan mendapatkan pujian dari sejumlah lembaga-lembaga di dunia bahwa apa yang kita lakukan dalam menangani Covid-19 itu sangat sukses dan bahkan untuk vaksinasinya saja kita tercatat sebagai negara yang sangat sukses dalam melaksanakan vaksinasi di Indonesia,” ujar Fadjroel.
Fadjroel pun kembali mengulangi pernyataan bahwa perombakan kabinet adalah hak prerogatif presiden. ”Dan, kita tunggu pernyataan langsung dari Presiden. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah akan ada perombakan kabinet atau tidak. Itu hanya berada di tangan Presiden Joko Widodo karena itu adalah hak prerogatif beliau,” katanya.
Kita tunggu pernyataan langsung dari Presiden. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah akan ada perombakan kabinet atau tidak. Itu hanya berada di tangan Presiden Joko Widodo karena itu adalah hak prerogatif beliau.
Saat ditanya apakah perombakan kabinet nanti presiden lebih melihat kinerja para menterinya atau karena adanya PAN yang baru saja bergabung kembali dengan pemerintah, Fadjroel mengatakan bahwa tidak ada informasi mengenai hal tersebut.
”(Informasi) apakah reshuffle akan dilakukan atau tidak dilakukan, dengan alasan A, B, sampai Z itu tidak ada sama sekali sampai hari ini. Jadi, teman-teman wartawan silakan saja kalau memang masih mau menunggu atau ingin mengetahui lebih jauh perkembangan perombakan kabinet atau reshuffle, kami sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi hanya bisa menyampaikan: hanya beliaulah yang berhak untuk menyampaikan apakah ada reshuffle atau perombakan kabinet, apa alasannya, itu pun menjadi hak beliau,” kata Fadjroel.
Menjawab pertanyaan terkait dengan pertimbangan pemilihan apakah dari sisi profesionalitas atau dari partai, Fadjroel menuturkan bahwa dari sejak awal ketika Presiden Jokowi membentuk Kabinet Indonesia Maju, yaitu tanggal 23 Oktober 2019, Presiden Jokowi selalu memilih putri dan putra terbaik Indonesia. Waktu itu, Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa visi dan misinya hanya visi misi presiden dan wakil presiden tidak ada visi dan misi menteri.
”Waktu itu juga ada disampaikan, misalnya, semua pembantu beliau tidak boleh ada yang korupsi, seperti itu. Itu tujuh perintah harian pada tanggal 23 Oktober dan itu betul-betul dijalankan. Ketika ada menteri beliau yang terkena kasus korupsi, beliau mempersilakan KPK untuk menjalankan fungsinya,” kata Fadjroel.
Presiden Jokowi waktu itu juga mengatakan semuanya harus bekerja nyata, bekerja keras, dan terukur. ”Jadi, kalau kita melihat itu, sampai hari ini, saya bukan dalam posisi melakukan penilaian, Presiden setidaknya—menurut saya—masih bekerja sama dengan mereka untuk menyelesaikan visi misi yang sudah diumumkan pada pengangkatan beliau pada periode kedua,” ujar Fadjroel.
Fadjroel menuturkan, Presiden Jokowi betul-betul dipilih oleh rakyat dan kemudian dilantik oleh MPR. Presiden Jokowi memiliki kewenangan, menurut konstitusi, untuk membentuk kabinet yang disebutnya sebagai Kabinet Indonesia Maju. ”Tanpa tekanan dan semuanya hanya diarahkan kepada upaya untuk menyelesaikan visi misi dan pancakerja, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, deregulasi, debirokratisasi, dan transformasi ekonomi. Itu saja yang menjadi pegangan dari beliau,” katanya.
Saat ditanya apakah nama Panglima TNI—menjelang masa pensiun Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto—sudah diserahkan kepada DPR, Fadjroel menuturkan bahwa sampai hari ini pihaknya belum mendapatkan informasi mengenai surat presiden tersebut. ”Dan, menurut hemat kami, itu wewenang dari Kementerian Setneg,” katanya.
Menjawab pertanyaan apakah Presiden Jokowi sudah memutuskan nama Panglima TNI, pengganti Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Fadjroel menuturkan bahwa hal ini juga bagian dari hak prerogatif Presiden. ”Jadi, yang kita tahu bahwa ada waktu di mana Pak Panglima akan selesai masa tugasnya dan tentu, secara prosedural, ada penggantian. Mengenai prosesnya, itu betul-betul di tangan Presiden Joko Widodo,” kata Fadjroel.
Respons aspirasi demo mahasiswa ke KPK
Ketika ditanya mengenai sikap Presiden Jokowi terkait dengan aspirasi para mahasiswa saat berdemo ke KPK, Senin (27/9/2021), Fadjroel menuturkan bahwa pihaknya bersyukur kritik tetap tumbuh di dalam masyarakat Indonesia. Hal ini karena Presiden Joko Widodo mengatakan, tanpa kritik, demokrasi kita tidak akan bisa berkembang.
”Nah, akan tetapi, beliau selalu mengingatkan selain memakai Pasal 28 UUD 1945, harus juga mengikuti Pasal 28 J di mana harus mengikuti undang-undang, kemudian juga terkait dengan aturan agama, dan lain-lain. Tetapi, terkait dengan undang-undang, selama mahasiswa mengadakan demonstrasi atau siapa pun, termasuk, misalnya, terakhir yang melakukan demo ketika presiden dalam perjalanan ke wilayah-wilayah, itu dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 9/98 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di depan umum,” kata Fadjroel.
Fadjroel berterima kasih bahwa kritik tetap hidup di dalam masyarakat demokrasi ini. ”Itu Presiden sudah menyatakan. Kemudian, yang kedua, Presiden juga sudah menyampaikan kepada media massa bahwa beliau ingin menghormati kesopanan di dalam ketatanegaraan. Jadi, beliau menghormati apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan apa yang sudah diputuskan Mahkamah Agung tentang persoalan di KPK,” ujarnya.
Menurut Fadjroel, Presiden juga mengetahui bahwa KPK adalah lembaga independen. ”Walaupun dia (KPK) memang dalam rumpun eksekutif, seperti lembaga-lembaga yang lain, misalnya seperti Komnas HAM atau KPU, itu dalam rumpun eksekutif, tetapi mereka adalah lembaga otonom dan berhak melaksanakan aktivitas sesuai dengan wewenang mereka yang diberikan undang-undang,” katanya.
Baca juga : Pernyataan Presiden Terkait TWK KPK Abaikan Temuan Ombudsman dan Komnas HAM
Sebelumnya, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, pernyataan Presiden Jokowi yang intinya mengatakan bahwa: ”Jangan semua hal ditarik ke Presiden. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan (di MA dan MK)”, adalah hal yang justru menjadi titik persoalan. Kendati MA dan MK memutuskan jika TWK adalah proses yang sah, tidak berarti kemudian temuan pelanggaran berdasarkan laporan Ombudsman dan Komnas HAM diabaikan begitu saja.
”Bahasa bahwa ’jangan semua hal ditarik ke Presiden’ ini, kan, sebenarnya secara politik bisa dimaknai pengabaian terhadap temuan, baik Ombudman maupun Komnas HAM, terkait dengan proses pelaksanaan TWK yang dianggap mala-administrasi dan sarat dengan pelanggaran hak asasi para pegawai KPK,” ujar Herdiansyah, Minggu (19/9/2021) lalu.
Herdiansyah menyampaikan hal itu pada diskusi Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang bertajuk ”Pertanggungjawaban Presiden dalam Kasus Pegawai KPK”. Diskusi digelar daring, dan ditayangkan langsung kanal Youtube PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Dosen Fakultas Hukum pada Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menuturkan bahwa semua yang belajar hukum pasti tahu bahwa hal yang disidangkan di peradilan konstitusi bukan fakta, tetapi norma. ”(Hal) yang disidangkan itu adalah soal bagaimana cara pandang hakim konstitusi terhadap sebuah ketentuan, norma,” katanya.
Apabila putusan MK dibaca baik-baik, Zainal mengatakan, MK itu sederhananya mengatakan bahwa penyelenggaraan TWK itu konstitusional. ”Tetapi, tidak berarti MK secara langsung membenarkan bagaimana proses yang terjadi ketika melaksanakan sesuatu yang konstitusional itu. Itu, kan, dua hal yang berbeda,” ujarnya.
Zainal mengatakan, hal yang dibenarkan oleh MK adalah kegiatannya. Kegiatan melakukan TWK itu konstitusional. ”Kewenangan bahwa: KPK bolehkah melakukan (TWK)? Ya, boleh. Tetapi, bahwa dalam melaksanakan kewenangan itu dilakukan secara keliru dan tidak benar, nah, itu temuan berbeda. Itu yang dilakukan temuannya oleh Ombudsman dan Komnas HAM,” kata Zainal.