MK Diminta Memformat Ulang Keserentakan Pemilu 2024
Pasal keserentakan pemilu kembali diuji di MK. Para pemohon yang berasal dari kalangan penyelenggara pemilu di lapangan ini beralasan pemilu serentak menyebabkan kelelahan yang sangat berat.
JAKARTA, KOMPAS — Empat panitia penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan ketentuan pemilu serentak 2024 atau yang lebih dikenal dengan pemilu lima kotak. Mereka menilai pelaksanaan pemilu lima kotak tersebut akan sangat memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan.
Berkaca dari Pemilu 2019, berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 894 jiwa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dan 5.175 anggota KPPS yang sakit akibat kelelahan. Dengan adanya fakta ini, menurut pemohon uji materi, menjadi tak terbantahkan bahwa format keserentakan pemilu membutuhkan perbaikan dan penataan yang menitikberatkan kepada rasionalisasi beban penyelenggara pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
MK diminta mengubah format keserentakan pemilu dengan mengeluarkan pemilu legislatif daerah (DPRD) dari pemilu nasional.
Mereka juga meminta adanya jaminan keamanan dan kesehatan bagi warga negara yang nantinya berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilihan di semua level pada Pemilu 2024. MK diminta mengubah format keserentakan pemilu dengan mengeluarkan pemilu legislatif daerah (DPRD) dari pemilu nasional.
Adapun keempat pemohon uji materi tersebut adalah Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Pada Pemilu 2019, Akhid merupakan Ketua KPPS di Tempat Pemungutan Suara (TPS) No 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dimas bertugas sebagai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Heri merupakan PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat, sedangkan Subur merupakan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jabar.
Baca Juga: Tetapkan Jadwal Pemilu 2024, Jangan Terpengaruh Isu Perpanjangan Jabatan Presiden
Dalam berkas permohonan yang diakses Kompas, Senin (27/9/2021), para pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional akibat beban kerja yang tidak manusiawi pada Pemilu 2019. Mereka menilai, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPS, dan PPK sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak.
Beban berat dan tidak rasional tersebut disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis surat suara dalam waktu bersamaan, yakni pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pekerjaan penghitungan suara menjadi begitu panjang dan lama adalah ketika pemilu legislatif, khususnya pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten.
Pada Pemilu 2019, Akhid Kurniawan merasakan betul bagaimana pekerjaan dan tugas KPPS tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara, tetapi juga sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktivitas dilakukan mulai dari proses penerimaan dan pengamanan logistik pemilu, membangun lokasi TPS, melaksanakan pemilihan, dan penghitungan suara.
Yang dirasakan paling berat adalah fase penghitungan suara yang berlangsung hingga pagi hari berikutnya. Pekerjaan penghitungan suara menjadi begitu panjang dan lama adalah ketika pemilu legislatif, khususnya pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten.
”Anggota KPPS perlu dilindungi oleh negara agar (pemilu) dapat dilaksanakan secara rasional, beban kerja yang tetap manusiawi, dan partisipasi tersebut dapat berujung dengan adanya penyelenggaraan pemilu yang demokratis, jujur, dan adil,” demikian tertulis dalam permohonan.
Baca Juga: Pemilu Serentak 2024 Memerlukan Rp 119 Triliun
Beratnya beban menyelenggarakan Pemilu 2019 juga dirasakan oleh pemohon lain. Pemohon II, Dimas, yang bertugas sebagai PPK Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, sudah mulai bekerja pada H-7 pemungutan suara dengan intensitas kerja yang tinggi. Ia harus melakukan supervisi proses pemungutan dan penghitungan suara dan berlanjut hingga dilakukannya rekapitulasi di tingkat kecamatan. Banyaknya jenis kertas suara yang direkapitulasi membuat kerja beban penyelenggara teramat berat.
Bahkan, Dimas sempat sakit karena kelelahan dan kurang waktu istirahat. Selain itu, di Ngaglik, terdapat satu anggota KPPS yang meninggal dunia yang disebabkan oleh kelelahan ketika bertugas sebagai KPPS.
Terkait dengan hal itu, para pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan pelaksanaan pemungutan suara pemilu dilakukan serentak seperti di dalam Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017. Hal itu dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal di dalam UUD 1945.
Tinjau ulang
Mengenai keserentakan pemilu, terdapat sejumlah permohonan yang sudah pernah diajukan ke MK. Permohonan tersebut yaitu, perkara nomor 37/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Arjuna Pemantau Pemilu dan Pena Pemantau Pemilu, dan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam permohonan sebelumnya, alasan pengujian pasal keserentakan pemilu itu terkait dengan desain pemilu serentak lima kotak yang tidak memberikan penguatan terhadap sistem presidensial, tak sesuai dengan asas pemilu, dan penyelenggaraannya dinilai tidak efisien karena memakan anggaran yang besar.
Namun, dalam permohonan kali ini, para penyelenggara pemilu di lapangan tersebut mengungkapkan alasan yang berbeda mengenai perlunya keserentakan pemilu ditinjau ulang. Kelelahan yang sangat berat penyelenggara akibat format pemilu lima kotak menjadi alasan utama dalam permohonan kali ini. Oleh karena itu, pemohon meminta keserentakan pemilu pada pemilu ke depan dimaknai dengan memisahkan pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari pemilu nasional (DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden).
Baca Juga: Keserentakan Pemilu 2024 Bebani Semua Pihak
Para pemohon juga mendalilkan adanya keadaan baru terkait dengan UU Pemilu. Mengutip putusan sebelumnya (55/PUU-XVII/2019), MK mengingatkan adanya lima hal yang harus diperhatikan pembentuk undang-undang dalam memutuskan model pemilu serentak yang akan dipilih dalam ketentuan hukum di Indonesia.
Pertama, pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan. Kedua, kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan. Ketiga, pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas.
Keempat, pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud kedaulatan rakyat. Dan, kelima, MK mengingatkan agar tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu.
Namun, pemerintah dan DPR telah memutuskan untuk tidak merevisi UU No 7/2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, tanpa revisi UU Pemilu tersebut, pembentuk undang-undang akan kembali melaksanakan pemilu serentak seperti Pemilu 2019. Padahal, menurut pemohon, hal tersebut tanpa didahului dengan kajian mendalam dan komprehensif, tanpa melakukan simulasi dan menghitung segala implikasi teknis, serta tanpa melibatkan partisipasi pihak secara luas untuk memastikan pilihan format keserentakan yang memudahkan pemilih dalam menggunakan haknya.
Baca Juga: Simulasi Prasyarat Memilih Model Keserentakan Pemilu
Dengan tetap diselenggarakannya pemilu lima kotak, pemohon uji materi khawatir persoalan yang sama yang terjadi pada Pemilu 2019 akan terulang kembali, yakni beban kerja KPPS sangat berat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa.
Pilihan format keserentakan pemilu lima kotak membuat penyelenggara pemilihan di berbagai level kesulitan mengatur dan memastikan setiap teknis jenis pemilihan berjalan dengan baik.
Selain itu, pilihan format keserentakan pemilu lima kotak membuat penyelenggara pemilihan di berbagai level kesulitan mengatur dan memastikan setiap teknis jenis pemilihan berjalan dengan baik. Hal ini terutama pada tahapan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara. Padahal, fase tersebut merupakan yang terpenting yang menentukan kedaulatan rakyat terlindungi dengan penyelenggaraan pemilu yang luber jurdil.
Untuk itu, pemohon meminta agar MK menarik keluar pemilihan DPRD dari pemilu serentak.