Kompleksitas Teknik Penyelenggaraan Picu Distorsi pada Upaya Pemilu yang Jurdil
Salah satu penyebab kompleksitas penyelenggaraan pemilu adalah disatukannya pemilihan anggota DPR dan DPD dengan anggota DPRD provinsi dan kabupaten. Pemilu DPRD pun diminta dikeluarkan dari pemilu serentak.
JAKARTA, KOMPAS — Desain keserentakan Pemilu 2024 yang menggabungkan lima jenis pemilihan dalam satu kali pemungutan suara perlu ditinjau ulang. Memaksakan pelaksanaan pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu kali pemungutan suara dinilai menimbulkan kompleksitas dan kerumitan dalam teknis penyelenggaraan.
Kompleksitas dan kerumitan itu berpotensi mendistorsi asas kedaulatan rakyat dan upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Hal ini salah satunya ditandai dengan tingginya suara tidak sah atau invalid vote seperti terjadi dalam pemilu-pemilu sebelumnya yang jauh di atas rata-rata global.
Untuk itu, Mahkamah Konstitusi diminta untuk mengoreksi desain keserentakan Pemilu 2024 tersebut mengingat pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) sudah memutuskan tidak akan mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal tersebut diungkapkan Titi Anggraini, penasihat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) saat menjadi ahli dalam sidang uji materi UU 17/2017 di MK, Senin (27/9/2021). Selain Titi, sidang juga menghadirkan ahli mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ferry Kurnia Rizkyansah dan Kris Nugroho, serta mendengarkan keterangan DPR.
Baca juga: Tantangan Pemilu 2024 Mulai Dipetakan
MK kemarin menyidangkan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017 khusus terkait pelaksanaan pemilu serentak. Uji materi diajukan Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Pada Pemilu 2019 lalu, Akhid merupakan Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) No 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Dimas bertugas sebagai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Ngaglik, Sleman. Heri merupakan PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Sementara Subur merupakan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jabar.
Desain keserentakan pemilu
Menurut Titi, meski dari tahun ke tahun semakin membaik, pemilu di Indonesia masih menyisakan anomali berupa kompleksitas teknis penyelenggaraan pemilihan yang luar biasa. Hal itu berakibat pada terjadinya distorsi asas kedaulatan rakyat dan upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan demokrastis. Kompleksitas pemilu tersebut, antara lain, disebabkan penjadwalan pemilu oleh pembuat undang-undang, yang menyatukan pemilihan anggota DPR dan DPD dengan pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Pemilu di Indonesia masih menyisakan anomali berupa kompleksitas teknis penyelenggaraan pemilihan yang luar biasa. Hal itu berakibat pada terjadinya distorsi asas kedaulatan rakyat dan upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan demokrastis.
Awalnya, pemilu DPRD yang dilakukan berbarengan dengan pemilu DPR dilakukan sejak Pemilu 1971. Ketika itu, menurut Titi, pilihan kebijakan menggabungkan pemilu DPR dan DPRD merupakan pilihan logis, rasional, dan relevan. Sebab, saat itu pemilu dilakukan hanya untuk memilih anggota legislatif. Pada masa itu, tidak pemilu lain kecuali pemilihan kepala desa yang lingkupnya lebih kecil dengan karakter yang juga berbeda. Selain itu, sistem pemilu yang dianut sangat sederhana, yaitu system pemilu proporsional dengan daftar tertutup atau closed list proportional representation. Pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai di surat suara.
Keuntungan lain model penggabungan tiga pemilu sekaligus (pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) adalah sangat efisien. Model tersebut memberi keuntungan pada keuangan negara dan efektivitas konsolidasi partai politik dalam kerja pemenanganan electoral. Di sisi lain, tiga pemilu legislatif itu tidak membebani pemilih dalam menyalurkan hak politiknya saat pemungutan suara berlangsung.
Model pemilu ini kemudian digunakan kembali pada masa reformasi pertama, yakni pada pemilu 1999. Sistem yang digunakan pun masih sistem pemilu proporsional tertutup. Meski partai politik yang menjadi peserta pemilu mencapai 48 partai, penggabungan tiga jenis pemilihan anggota legislatif tersebut masih memberi kemudahan bagi pemilih dan partai untuk konsolidasi. Jumlah surat suara yang tidak sah dalam Pemilu 1999 masih masuk dalam kategori wajar (3,4 persen) sebagaimana dirilis oleh aceproject.org bahwa suara tidak sah masih tergolong wajar jika kurang dari 4 persen.
Kondisi ini mulai berubah ketika sistem pemilu pada 2004 berubah. Kompleksitas Pemilu 2004 bertambah dengan penggabungan pemilihan anggota DPD ke dalam pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
”Di sinilah kompleksitas teknis mendistorsi asas kedaulatan rakyat yang ditunjukkan dengan tingginya surat suara tidak sah yang melampaui rata-rata global. Pada 2004 tercatat terdapat 8,8 persen suara tidak sah,” ujarnya.
Angka tersebut terus meningkat. Pada Pemilu 2009, tingkat suara tidak sah mencapai 14,4 persen, Pemilu 2014 mencapai 10,46 persen, dan 2019 angka tersebut naik lagi menjadi 11,12 persen.
”Kalau melihat data ini, bisa dikatakan bahwa kompleksitas teknis dan beban yang dirasakan oleh pemilih dalam memberikan suara bukan faktor khas Pemilu 2019. Tetapi, secara faktual merupakan konsekuensi ketika pemilu DPRD digabungkan dengan Pemilu DPR dengan dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka,” kata Titi.
Baca juga: MK Diminta Memformat Ulang Keserentakan Pemilu 2024
Untuk menegaskan pandangannya tentang kompleksitas pemilu di Indonesia tersebut, Titi juga mengutip penilaian majalah The Economis pada Mei 2004 yang menyatakan bahwa Pemilu Indonesia adalah the most complex one day vote in the world. Ia pun mengutip pandangan salah satu ahli yang menyatakan bahwa pemilu adalah baik dan penting, tetapi tidak banyak artinya bagi rakyat jika mereka sulit memberikan suara atau jika pada akhirnya suara mereka tidak membuat perbedaan.
”Bayangkan angka di atas 10 persen suara tidak sah tidak bisa dihitung ketika pemilih sudah memberikan suaranya di bilik suara. Padahal, mereka adalah pemegang kedaulatan rakyat,” ujarnya.
MK sebenarnya juga sudah menyinggung tentang pilihan model keserentakkan pemilu yang dapat dipilih oleh pembentuk undang-undang di dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam menentukan model keserentakan tersebut, MK juga sudah memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan pembentuk undang-undang. Rambu-rambu yang menurut Titi menjadi prasyarat utama menentukan keserentakan pemilu, antara lain, pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga ada pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas.
”Tingkat suara tidak sah yang tinggi tentu bukanlah batas penalaran yang wajar, apalagi kita bisa merujuk standar internasional invalid vote atau suara tidak sah yang wajar adalah kurang dari 4 persen,” ujarnya.
Rambu-rambu kedua, memperhitungkan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan haknya sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Menurut Titi, perwujudan kedaulatan rakyat terkendala dengan kompleksitas pemilu yang berdampak pada tingginya suara tidak sah.
Baca juga: Pemilu Serentak 2024 Memerlukan Rp 119 Triliun
Pembuat undang-undang disarankan agar mengeluarkan pemilu DPRD dan hanya menerapkan pemilu serentak untuk pemilihan presiden, serta pemilihan anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, kerumitan dan kompleksitas pemilu tidak akan menjadi persoalan yang terlalu berat dalam pemilu Indonesia sehingga pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terselenggara.
Dalam hal ini, tambah Titi, adil tidak hanya dimaknai untuk peserta pemilu, tetapi juga bagi penyelenggara pemilihan di lapangan dan juga para pemilih.
Pembuat undang-undang disarankan agar mengeluarkan pemilu DPRD dan hanya menerapkan pemilu serentak untuk pemilihan presiden, serta pemilihan anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, kerumitan dan kompleksitas pemilu tidak akan menjadi persoalan yang terlalu berat dalam pemilu Indonesia.
Namun, lain halnya dengan DPR yang diwakili oleh Supriansa. Ia meminta agar MK menolak permohonan untuk mengeluarkan pemilihan anggota DPRD dari model keserentakan pemilu yang akan dilaksanakan pada 2024. Ia mengutip putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah menyatakan bahwa model keserentakan pemilu merupakan kewenangan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk menentukan. Model keserentakan pemilu merupakan kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy.
Untuk itu, menurut dia, apabila para pemohon mengusulkan adanya perubahan norma di dalam pelaksanaan pemilu, seharusnya hal tersebut disampaikan kepada pemerintah dan DPR sebagai masukan.