Menyongsong Hadirnya Satu Data untuk Indonesia
Sinkronisasi data antarkementerian dan lembaga di pusat dan daerah, terutama menyangkut mekanisme perolehan data, hingga pengelolaan data, yang sesuai prinsip statistik, perlu disamakan untuk menyusun SDI.
Data statistik yang berkualitas kian dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang berbasis data yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Program satu data Indonesia menjadi salah satu kunci penting untuk mencapai tujuan itu.
Dua peristiwa penting menandai peran krusial data statistik di Tanah Air. Pertama, terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik, pada 26 September 1960. Setiap tahun, 26 September kemudian diperingati sebagai Hari Statistik Nasional, yang di dalamnya juga diatur tentang kelembagaan organik Biro Pusat Statistik (BPS). Kelembagaan BPS ini juga diatur di dalam UU No 6/1960 tentang Sensus. Dalam perkembangan selanjutnya, pada UU UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, nama formal Biro Pusat Statistik diubah menjadi Badan Pusat Statistik.
Peristiwa penting lainnya dalam penerapan data statistik ialah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Keberadaan peraturan teknis yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Juni 2019 itu kian mengukuhkan arah Indonesia ke depan sebagai negara yang melandaskan setiap pengambilan kebijakannya berbasis data dan kajian (evidence based public policy).
Untuk menuju satu data Indonesia tersebut, BPS mengambil peran penting sebagai pembina data statistik antarkementerian dan lembaga. Selain BPS, Perpres No 39/2019 mengatur kementerian dan lembaga (K/L) lain yang berperan sebagai pembina, yakni Kementerian Keuangan untuk data keuangan, Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data dan informasi geospasial, dan termasuk juga instansi pusat lainnya yang diusulkan dalam Forum Satu Data Indonesia (SDI). Instansi pusat ini dapat meliputi juga Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang mengelola data kependudukan.
Baca juga : Agar Pembangunan Sesuai Karakteristik Wilayah, Pemerintah Padukan Data Geospasial, dan Statistik
Untuk mewujudkan rencana aksi SDI, Kepala BPS Margo Yuwono dalam wawancara daring, Jumat (24/9/2021), di Jakarta, mengatakan, BPS membina dan mengatur bagaimana setiap K/L itu memiliki satu prinsip yang sama dalam penyusunan data. Artinya, bukan berarti semua data diolah oleh BPS, dan dipublikasikan hanya oleh BPS. Namun, setiap K/L mengikuti prinsip-prinsip statistik dalam penyusunan datanya.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi penyusunan data antarkelembagaan dan kementerian yang memiliki pola dan mekanisme masing-masing, yang belum tentu semuanya memenuhi kaidah statistik, sehingga menghasilkan data yang berpotensi berbeda, dan sulit untuk dimaknai.
”Kalau ini bisa dilakukan di masa depan, penggunaan data itu akan lebih tepat karena prinsip statistik itu dipenuhi dalam penyelenggaraannya,” kata Margo.
Dalam praktiknya, BPS meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di setiap K/L agar mereka dapat memahami prinsip-prinsip statistik. BPS juga memiliki pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat) yang membina K/L, baik di pusat maupun daerah.
”Dalam dua tahun terakhir ini, kami secara maraton melakukan pembinaan agar bisa memenuhi SDI itu. Jika prinsip statistik itu dapat dipenuhi, data dari kementerian dan lembaga dapat diintegrasikan ke dalam platform SDI. Tanpa itu, data hanya akan digabungkan, tetapi tidak bisa diintegrasikan,” ucapnya.
Untuk mewujudkan rencana aksi SDI, Kepala BPS Margo Yuwono dalam wawancara daring, Jumat (24/9/2021), di Jakarta, mengatakan, BPS membina dan mengatur bagaimana setiap K/L itu memiliki satu prinsip yang sama dalam penyusunan data.
Sinkronisasi data
Sinkronisasi data antarkementerian dan lembaga di pusat dan daerah, terutama menyangkut mekanisme perolehan data, konsepsi tentang data yang disusun, hingga metode tabulasi, dan pengelolaan data, yang sesuai prinsip statistik, perlu disamakan untuk menyusun SDI. Harapannya, dapat lahir satu data yang solid dan dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan.
Dalam penyesuaian data kependudukan, misalnya, BPS berkoordinasi dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri. Sebagai contoh, hasil sensus penduduk 2020 masih menemukan ketidaksesuaian antara jumlah penduduk yang tercatat di dalam administrasi resmi dengan kondisi riil di lapangan. BPS menemukan 8,68 persen atau sekitar 23,40 juta penduduk yang datanya tidak sesuai antara yang tercatat di kartu keluarga (KK) dan domisilinya. Perbedaan data itu pun disampaikan kepada Ditjen Dukcapil agar dapat dilakukan perubahan data administrasi.
”Ke depan, semua data penduduk itu nanti muaranya ke Ditjen Dukcapil yang melakukan pengelolaan. Adapun BPS dan kementerian lembaga lainnya yang diatur dalam tata kelola data itu turut berkontribusi pada pencapaian SDI. Jadi, hasil sensus penduduk 2020 ini dikembalian ke Dukcapil untuk data balikan dan bahan updating,” kata Ketua Ikatan Statistisi Indonesia ini.
Baca juga : Pandemi Ubah Sensus Penduduk 2020
Margo mengakui, sensus 2020 mesti dilakoni dalam kondisi keterbatasan di tengah pandemi Covid-19. Beberapa variabel pokok dalam sensus terpaksa dikurangi dalam kuesioner, dengan harapan dapat mempersingkat waktu wawancara dengan responden. Hal itu sebagai upaya untuk mengurangi risiko penularan Covid-19 karena interaksi langsung antara petugas BPS dan warga. Beberapa hal, seperti segementasi suku, ras, dan penyebaran wilayah tinggalnya belum terpotret secara detail.
Demikian pula mengenai pergerakan pertumbuhan penduduk yang pindah dari desa ke kota atau sebaliknya, masih harus didalami, karena BPS masih menajamkan kembali definisi kota dan desa dengan parameter yang baru.
Hasil sensus penduduk 2020 (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk 270,20 juta jiwa. Jumlah penduduk hasil SP2020 itu bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan hasil SP2010. Dengan luas daratan Indonesia sebesar 1,9 juta km persegi, kepadatan penduduk Indonesia 141 jiwa per km persegi. Laju pertumbuhan penduduk per tahun selama 2010-2020 rata-rata 1,25 persen, melambat dibandingkan periode 2000-2010 yang sebesar 1,49 persen.
Pendekatan merangkul
Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Harmawanti Marhaeni yang dihubungi terpisah mengatakan, upaya untuk membangun kesepahaman dengan berbagai K/L untuk menuju SDI tidaklah mudah. Pendekatan yang merangkul semua penanggung jawab sektoral lebih dikedepankan untuk membangun kesepahaman mengenai SDI.
BPS, misalnya, melakukan beberapa kali focus group discussion (FGD), termasuk di tengah pandemi, dengan berbagai K/L untuk membawa mereka pada pemahaman tentang SDI. Di tahap-tahap awal, mereka umumnya mengira SDI adalah platform untuk menaruh semua data mereka. Sementara yang dimaksudkan dalam rencana aksi SDI tidaklah demikian.
Baca juga : FAO Jadikan Metode Statistik Pertanian Indonesia Percontohan
Satu data statistik dimaksudkan agar data itu haruslah memenuhi prinsip statistik, baik dalam cara perolehan, dan pengolahannya, sehingga data itu menjadi dapat dipertanggungjawabkan. ”Misalnya, data korban bencana yang diolah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), boleh jadi berbeda dengan Kementerian Sosial (Kemensos). Mungkin ada perbedaan konsep tentang korban, dan siapa yang dapat disebut sebagai korban. Inilah yang berusaha disinkronisasi agar merujuk pada definisi yang sama,” katanya.
BPS juga menjadi inisiator dalam memuat kerangka kerja untuk satu data statistik dengan topik tertentu. Saat ini, misalnya, BPS tengah membuat kerangka kerja penyusunan satu data statistik bencana, satu data statistik kriminalitas, satu data statistik migrasi internasional, satu data statistik kependudukan, dan satu data statistik desa.
Namun, data itu tetap dikumpulkan oleh setiap K/L, sementara BPS memainkan peran untuk meningkatkan kapasitas SDM peneliti di setiap K/L yang melakukan pendataan. Untuk memandu prinsip penyusunan data di K/L, BPS juga mengacu pada panduan internasional yang diatur oleh United Nations Statistical Commission (UNSC). UNSC telah memiliki panduan penyusunan data statistik di berbagai bidang, antara lain ketenagakerjaan, kemiskinan, populasi, kriminal, dan politik.
BPS juga menjadi inisiator dalam memuat kerangka kerja untuk satu data statistik dengan topik tertentu. Saat ini, misalnya, BPS tengah membuat kerangka kerja penyusunan satu data statistik bencana, satu data statistik kriminalitas, satu data statistik migrasi internasional, satu data statistik kependudukan, dan satu data statistik desa. Sejumlah K/L terkait dilibatkan dalam kerangka kerja itu, mulai dari kementerian desa, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kemensos, BNPB, dan kemendagri.
Setelah kerangka kerja itu terpenuhi, harapannya muncul satu data statistik dengan topik-topik teretntu yang dapat dirujuk oleh pembuat kebijakan. Data statistik itu kemudian akan diunggah dalam dashboard atau portal SDI yang juga tengah disiapkan oleh pemerintah.
Bagi pembuat kebijakan, rujukan data yang solid dan valid sangat penting, terutama untuk memastikan kebijakannya tepat sasaran. Selain itu, menurut Harmawanti, perencanaan pembangunan amat bergantung pada pijakan data yang kuat.
Atasi problem data
Problem data yang berulang dapat menimbulkan kerumitan, terutama jika menyangkut data kependudukan dalam proses politik, seperti pemilu. Anggota KPU, Viryan Azis, mengatakan, setiap kali pemilu, persoalan daftar pemilih tetap (DPT) selalu berulang. Penyusunan DPT yang berbasis pada data penduduk potensial pemilihan (DP4) yang berkesinambungan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan DPT pemilu.
”Di masa depan, data kependudukan itu haruslah selalu dimutakhirkan secara berkelanjutan dan periodik. Selain itu, diperlukan DP4 digital,” katanya.
Dihubungi terpisah, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung, mengatakan, dalam upaya menjadikan data sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan, BPS harus pula mulai menyediakan data yang berbasis customer oriented. Artinya, ketersediaan data itu harus sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan.
”Dengan demikian, kebutuhan data yang diharapkan oleh sektor publik maupun privat dapat dipenuhi. Misalnya, bagi investor yang ingin menanamkan investasinya di suatu daerah, mereka pasti ingin tahu potensi daerah tersebut, dan data stastistik pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Hal penting lainnya, menurut Lisman, untuk mendukung SDI yang dicanangkan pemerintah, BPS dan K/L penyedia data lainnya mesti memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi, misalnya melalui metode pengumpulan big data. Dengan kemajuan TI, data dapat dengan mudah dikumpulkan.
Publik berharap BPS di masa depan dapat mewujudkan ”statistik berkualitas untuk Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh” sebagaimana tema Hari Statistik Nasional tahun ini.