Kritik yang dibalas dengan gugatan pidana membuat masa depan dan iklim demokrasi jadi mengkhawatirkan. Demokrasi yang sehat meniscayakan ”checks and balances” serta pelibatan publik dalam pengambilan keputusan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NORBERTUS ARYA DWIANGGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi massa dan partai politik di luar koalisi pemerintah mengkhawatirkan masa depan dan iklim demokrasi di Indonesia, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi yang cenderung dibungkam dengan ancaman pemidanaan. Menurut mereka, pejabat publik seharusnya tidak antikritik dan tidak menanggapi hasil riset dengan laporan pidana.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat dihubungi, Jumat (24/9/2021), mengatakan, dengan fenomena pelaporan aktivis oleh pejabat publik itu, banyak pihak khawatir dengan masa depan dan iklim demokrasi di Indonesia. Hal itu terutama terkait keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan menyampaikan pendapat di ruang publik yang tak lagi kondusif.
Pemerintah dan pejabat publik cenderung antikritik. Padahal, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, dirinya bukanlah orang yang antikritik. Seharusnya sikap ini diikuti pejabat di bawahnya, termasuk aparat penegak hukum. Aparat diminta untuk tidak bersikap berlebihan dalam menghadapi kritik.
”Demokrasi yang sehat meniscayakan checks and balances serta pelibatan publik dalam pengambilan keputusan dan proses legislasi. Saat ini, pendekatan kekuasaan dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan terlihat begitu mengemuka,” kata Mu’ti.
Pandangan tersebut disampaikan terkait dengan sikap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang melaporkan sejumlah aktivis hak asasi manusia karena dianggap mencemarkan nama baik dan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada 10 September lalu, Moeldoko melaporkan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga dan Miftachul Choir, ke Bareskrim Polri. Pengaduan itu terkait dengan riset ICW mengenai perburuan rente dalam peredaran Invermectin serta ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Adapun Luhut mengadukan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya pada 22 September lalu. Haris dan Fatia diadukan karena menyebut Luhut terlibat dalam proyek rencana eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Keterlibatan Luhut itu disampaikan dalam publikasi penelitian di kanal Youtube Haris Azhar.
Merespons aduan tersebut, Fatia mewakili beberapa aktivis HAM yang dilaporkan ke kepolisian meminta perlindungan ke Komisi Nasional HAM pada Kamis (23/9/2021). Fatia juga memohon agar Komnas HAM melegitimasi mereka sebagai pembela HAM. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata (Kompas, 24/9/2021).
Demokrasi yang sehat meniscayakan kritik yang konstruktif dan nilai-nilai yang melandasi sikap saling menghormati, legawa, dan kesatria.
Kritik dibutuhkan
Lebih lanjut Mu’ti menyampaikan bahwa pihaknya berharap semua pihak bersikap terbuka. ”Demokrasi yang sehat meniscayakan kritik yang konstruktif dan nilai-nilai yang melandasi sikap saling menghormati, legawa, dan kesatria,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Komunikasi Strategis Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, boleh dikatakan situasi demokrasi di Indonesia sedang darurat. Sebab, publikasi hasil riset dari aktivis pun dilaporkan ke kepolisian oleh pejabat publik. Padahal, penelitian suatu isu dengan menggunakan metodologi ilmiah serta menyajikan data dan fakta terukur seharusnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi. Membantah penelitian dengan metodologi ilmiah itu seharusnya juga dilakukan dengan data dan fakta yang terukur.
”Bukan malah berusaha diberangus atau dibungkam dengan cara melaporkan ke kepolisian,” kata Herzaky.
Senada dengan Mu’ti, Herzaky juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi kerap menyatakan bahwa dirinya bukanlah sosok yang antikritik. Dalam beberapa kesempatan, dia malah minta dikritik. Seharusnya sikap ini diikuti pejabat publik di bawah Presiden. Sebab, kritik diperlukan untuk menjaga kinerja pemerintah ada di jalur yang tepat serta memberikan manfaat seluas-luasnya dan sebesar-besarnya untuk rakyat.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera menyampaikan, ketika seseorang menduduki jabatan tertentu, standar moral dan kadar lapang dadanya mesti lebih tinggi. ”Pelaporan adalah hak asasi tiap individu mendapatkan keadilan. Tetapi, persepsi publik dapat lain. Ini (dinilai) bagian dari tekanan pada kebebasan berpendapat,” katanya.
Mardani memandang data yang disodorkan kalangan masyarakat sipil itu tidak perlu sampai diadukan ke kepolisian yang justru bisa dipersepsikan ancaman terhadap demokrasi. Sebaliknya, diselesaikan dengan saling klarifikasi.
”Kapolri pun telah mendorong pendekatan keadilan restoratif terhadap persoalan yang dapat diselesaikan dengan musyawarah, bukan dengan penegakan hukum,” ucapnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, berpandangan, riset dari masyarakat sipil adalah bagian dari eksaminasi kebijakan yang harus sama-sama diuji kebenarannya. ”Ini seharusnya tidak disikapi dengan ancaman pemidanaan,” ujarnya.
Dewasa berdemokrasi
Aparat, lanjut Hibnu, seharusnya juga tidak menyikapi laporan para pejabat publik itu dengan proses hukum. Kepolisian dapat mengupayakan mediasi kepada pelapor dan terlapor, sesuai janji Kapolri untuk mengutamakan penegakan hukum keadilan restoratif. Hibnu pun meyakini, tidak ada unsur pidana dalam publikasi hasil riset tersebut. Jika memang ada kesalahan dalam penyampaian, seharusnya hal itu disikapi dengan cara klarifikasi terbuka.
”Pejabat publik harus lebih dewasa dalam berdemokrasi,” kata Hibnu.
Jika ditemukan bahwa penelitian yang dipublikasikan aktivis adalah fakta untuk melindungi kepentingan umum, itu bukan termasuk delik pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP ataupun UU ITE.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menyampaikan, jika melihat fenomena pelaporan pejabat publik terhadap aktivis HAM dan antikorupsi, aparat penegak hukum seharusnya lebih teliti, hati-hati, dan obyektif dalam menanganinya. Aduan harus disisir secara detail. Jika ditemukan bahwa penelitian yang dipublikasikan aktivis adalah fakta untuk melindungi kepentingan umum, itu bukan termasuk delik pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP ataupun UU ITE.
Bagi aktivis pembela HAM, kerja-kerja mereka juga dilindungi UU HAM sehingga tidak mudah untuk dipidanakan sepanjang data yang disampaikan benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
”Kalau riset gunanya demi keselamatan negara, meluruskan penyelenggara negara, maka itu adalah kepentingan umum. Fungsi aktivis membantu negara atau pemerintah untuk meluruskan kebenaran untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dipidana,” kata Azmi.