Bergabungnya PAN ke barisan partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-Amin menambah kekuatan politik koalisi pemerintah di parlemen. Kini, koalisi pemerintah menguasai 471 kursi di DPR dan MPR.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Wacana amendemen konstitusi untuk menghadirkan haluan negara yang mulai mencuat pasca-Pemilu 2014 terus menguat di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, ada spekulasi, bergabungnya Partai Amanat Nasional dalam barisan partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin merupakan upaya untuk memuluskan rencana amendemen konstitusi.
Spekulasi ini cukup logis mengingat posisi PAN di parlemen dapat menambah kekuatan koalisi pemerintah. Dengan kepemilikan 44 kursi di DPR, bergabungnya PAN dapat menambah kekuatan koalisi menjadi 471 kursi. Jumlah tersebut sama dengan 66,2 persen dari total 711 kursi MPR. Sementara untuk bisa membahas perubahan pasal-pasal dalam UUD, Sidang Paripurna MPR harus dihadiri dua pertiga dari jumlah anggota atau 474 orang. Sementara untuk bisa dibahas, usulan amendemen harus disetujui 50 persen plus 1 atau 357 anggota MPR.
”Saya sudah sampaikan jauh hari, kalau mungkin amendemen di zaman saya Ketua MPR, sekarang hampir mustahil,” kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”PAN Masuk Barisan, Koalisi di Simpang Jalan?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (22/9/2021) malam.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir secara luring Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari serta secara daring Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah dan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan.
Wacana amendemen kelima konstitusi untuk memasukkan haluan negara mulai dibahas pada era Zulkifli sebagai Ketua MPR 2014-2019. Pentingnya MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga menjadi salah satu rekomendasi Rapat Kerja Nasional I PDI-P tahun 2016.
Namun, MPR 2014-2019 gagal merealisasikan amendemen. Dengan demikian, rencana amendemen kemudian diserahkan kepada MPR periode 2019-2024 yang dipimpin Bambang Soesatyo.
Kami memandang hanya satu, perlunya PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara). Itu posisi kita, titik, enggak pakai koma.
Menurut Zulkifli, amendemen konstitusi di masa sekarang lebih sulit dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sebab, kini ada banyak isu yang berkembang mengenai amendemen, seperti penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan penambahan masa jabatan presiden lebih dari lima tahun. Belum lagi perlu menyatukan pandangan para ketua umum parpol yang berbeda-beda. ”Kami memandang hanya satu, perlunya PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara). Itu posisi kita, titik, enggak pakai koma,” ucapnya.
Jembatan perbedaan
Zulkifli menepis spekulasi yang berkembang bahwa masuknya PAN ke barisan pendukung pemerintahan Jokowi-Amin sebagai langkah untuk memuluskan amendemen konstitusi. Menurut dia, PAN memutuskan bergabung karena adanya aspirasi dari kader dan pengurus. Dalam sejumlah pertemuan dengan Jokowi pun tidak ada pembahasan tentang amendemen konstitusi.
PAN, menurut Zulkifli, akan memainkan peran sebagai jembatan antara pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto yang sejak Pemilu Presiden 2014 terbelah. PAN berpandangan, keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik itu perlu segera diselesaikan agar janji kebangsaan bisa kembali diperkuat. ”PAN mendukung Jokowi sejak selesai Pemilu Presiden 2019. Namun, karena banyak kader berbeda pendapat, akhirnya setelah Kongres PAN di Kendari tahun 2020 suara bulat mendukung pemerintahan Jokowi,” tuturnya.
Dilihat dari peta politik di MPR, Qodari meyakini, kekurangan tiga kursi MPR untuk memuluskan amendemen konstitusi bisa ditutup oleh DPD. Sebab, ada beberapa anggota DPD yang berasal dari parpol sehingga bisa diajak untuk bergabung. Apalagi, jika semua parpol pendukung pemerintahan solid menyuarakan amendemen, syarat rapat membahas usulan amendemen dihadiri dua pertiga anggota MPR bisa dicapai.
Dalam melakukan amendemen konstitusi, menurut Qodari, perlu ada titik temu. PPHN atau isu-isu lain, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, bisa muncul selama disepakati para pemimpin parpol dan anggota DPR. Selama wacana masih bergulir, titik temu masih sangat dinamis. Bahkan, bisa saja amendemen dilakukan tidak sebatas memberi tempat untuk PPHN.
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pun telah mengingatkan untuk tidak melanjutkan amendemen konstitusi jika pasal yang diubah tidak hanya terkait PPHN.
Dalam kasus polarisasi akibat pemilu presiden, ia menilai solusinya adalah menyatukan Jokowi-Prabowo sebagai capres-cawapres. Namun, solusi ini tentu harus melalui amendemen konstitusi karena saat ini masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode. ”Saya bicara mengenai menghilangkan polarisasi, memasukkan kembali jin dan hantu politik identitas ke dalam botolnya yang telanjur keluar kemarin. Jadi, ini untuk kebaikan bangsa,” kata Qodari.
Cukup diatur UU
Amendemen konstitusi, menurut Syarief, berpotensi memunculkan banyak persoalan yang bisa mengubah sistem ketatanegaraan. Selain soal periodisasi jabatan presiden, amendemen kali ini bisa digunakan DPD untuk memperkuat kembali kedudukannya agar setara dengan DPR. Amendemen konstitusi juga bisa menimbulkan pergeseran sistem ketatanegaraan karena PPHN akan mengikat presiden.
Demokrat, lanjutnya, sepakat bahwa PPHN dibutuhkan. Namun, jika penetapan PPHN menjadi kewenangan MPR sehingga perlu amendemen konstitusi, Demokrat menolaknya. Sebab, PPHN bisa diatur dalam undang-undang seperti yang berlaku selama ini, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Pandangan ini dilatarbelakangi keberhasilan UU SPPN selama 17 tahun terakhir bisa dijalankan dengan baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi. Kedua presiden itu dinilai mampu menjaga haluan pembangunan negara dengan cukup signifikan. Oleh sebab itu, Demokrat menyarankan penguatan UU SPPN dibandingkan dengan mengubah konstitusi.
Berbeda dengan Syarief, Basarah berpandangan, UU SPPN tidak cukup untuk memastikan keberlanjutan pembangunan. Sebab, SPPN hanya bersandar pada visi, misi, dan program capres-cawares terpilih. Dengan demikian, program pembangunan akan berganti ketika ada pergantian kepemimpinan.
Basarah menegaskan, wacana amendemen konstitusi sudah lama digulirkan, yakni sejak Ketua MPR dijabat Taufiq Kiemas pada 2009-2013. Bahkan, pada masa Ketua MPR Zulkifli, ia ditugasi sebagai panitia ad hoc pengkajian PPHN.
F-PDIP di MPR juga membantah tuduhan masuknya PAN dalam partai pendukung pemerintahan sebagai upaya mempermudah amendemen konstitusi dan memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode.
”Sebenarnya kami ber-10 (pimpinan MPR) berkomitmen ingin meninggalkan legacy (warisan) yang baik bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Dengan perkembangan wacana amendemen konstitusi yang melebar ke berbagai isu, lanjut Basarah, PDI-P bisa jadi menarik diri, tidak memaksakan pembahasan periode ini. Sebab, kongres PDI-P telah memutuskan rekomendasi amendemen hanya terbatas pada peta jalan pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang melalui PPHN. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pun telah mengingatkan untuk tidak melanjutkan amendemen konstitusi jika pasal yang diubah tidak hanya terkait PPHN.
PDI-P, lanjut Basarah, tak ingin membuka kotak pandora yang akhirnya membuat UUD 1945 dijadikan permainan oleh elite ataupun kelompok politik yang berkepentingan.