Kepentingan Umum Rawan Dijadikan Tameng untuk Membuka Data Pribadi
Aturan mengenai data pribadi yang bisa dibuka untuk kepentingan umum di RUU Perlindungan Data Pribadi harus disertai syarat dan prosedur yang detail. Jika tidak, aturan itu bisa disalahgunakan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diharapkan mengatur secara detail pengecualian data-data yang tergolong kepentingan umum agar tidak mudah disalahgunakan. Tafsir atas kepentingan umum dalam rancangan undang-undang itu dinilai multitafsir sehingga rawan menjadi tameng untuk membuka data pribadi warga negara.
Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Informasi Pusat Cecep Suryadi mengatakan, tafsir mengenai kepentingan umum dalam perlindungan data pribadi (PDP) perlu diatur secara jelas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) PDP. Sebab, saat ini frasa kepentingan umum bisa dimaknai beragam, tergantung kepentingan masing-masing lembaga. Oleh sebab itu, perlu ada satu pihak yang berwenang memberikan tafsir atas kepentingan umum saat akan membuka data pribadi warga yang dikecualikan.
”Harus ada aturan detail yang membatasi kepentingan umum agar jangan sampai makna kepentingan umum dijadikan tameng untuk membuka data pribadi seseorang,” ujar Cecep saat webinar bertajuk ”Perlindungan Data Pribadi dan Kepentingan Umum, di Mana Titik Keseimbangannya?” yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jumat (24/9/2021).
Selain Cecep, hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar, Peneliti ElsamShevierra Danmadiyah, dosen Fakultas Hukum Unika Atmajaya Jakarta Sih Yuliana Wahyuningtyas, serta Redaktur Suara.com Arfi Bambani.
Dalam RUU PDP yang saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah, data pribadi yang dirahasiakan ada yang dikecualikan dan bisa dibuka untuk kepentingan umum. Pasal 16 RUU PDP menyebut, kepentingan umum itu, antara lain, terkait pertahanan dan keamanan nasional; proses penegakan hukum; penyelenggaraan negara, pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas keuangan; serta agregat data yang pemrosesannya ditujukan guna kepentingan statistik dan penelitian ilmiah dalam rangka penyelenggaraan negara.
Wahyudi mengatakan, kepentingan umum menjadi satu hal yang masih memicu perdebatan. Atas dasar kepentingan umum, pemerintah memang bisa membuka data pribadi warga, tetapi ia menilai batasan-batasannya masih belum jelas. Bahkan, data yang diberikan warga ke satu institusi kemungkinan dibagikan ke institusi lain atas dasar kepentingan umum tersebut.
”Meski boleh digunakan atas dasar kepentingan umum, bukan jadi alasan untuk transfer data ke institusi lain,” katanya.
Oleh sebab itu, perlu diatur secara detail mengenai syarat dan prosedur dalam membuka data pribadi demi kepentingan umum. Selain itu, UU juga perlu mengatur mekanisme dan prosedur tata cara membuka data, serta ada pihak yang menjadi penengah ketika ada sengketa yang melibatkan dua pihak sekaligus.
Shevierra mengatakan, pemaknaan atas kepentingan umum masih sangat luas dan bergantung kasus yang dialami. Bahkan, aturan mengenai kepentingan umum ada di beberapa peraturan, seperti pertanahan dan pers yang pemaknaannya bisa beragam. Maka, diperlukan pembatasan untuk mengecualikan tindakan yang diambil dalam membuka data pribadi warga negara.
Saat pandemi Covid-19, misalnya, pemerintah mengumpulkan data pribadi warga melalui aplikasi. Namun, ketika data yang disimpan itu bocor, justru bertolak belakang dengan kepentingan umum yang jsutru merugikan pemilik data.
”Perlu secara jelas mengidentifikasi tindakan yang dipandang perlu dilakukan untuk penerapan pengecualian atau pembatasan terhadap hak atas perlindungan data pribadi serta menentukan siapa yang akan melakukan proses penyeimbangan tersebut berikut ruang lingkup kewenangannya,” tutur Shevierra.
Dalam dunia pers, kata Arfi, masih ada perdebatan antara data pribadi yang tergolong dalam kepentingan umum sehingga perlu membuka data pribadi seseorang. Ia mencontohkan, dalam kasus perselingkuhan pejabat, ada kelompok yang menganggap itu merupakan kepentingan umum sehingga layak diberitakan, tetapi sebagian menganggap bukan termasuk kepentingan umum sehingga tidak bisa membuka data ke masyarakat.
Yuliana menilai, ada potensi konflik dan penyalahgunaan hak ketika klausul kepentingan umum tidak diatur secara jelas. Instrumen untuk menentukan kepentingan umum harus jelas sehingga penerapannya bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, perlu diatur syarat-syarat untuk ketentuan tentang pengecualian data pibadi untuk kepentingan umum. Menurut dia, perlu ada regulasi khusus agar pembatasan, terutama yang terkait hak asasi manusia, tidak didasarkan pada diskresi. Selain itu, data yang dikecualikan juga harus spesifik dan terbatas. Kepentingan umum yang dimaksud juga harus terukur melalui parameter yang jelas.
”Perlu ada regulasi khusus yang mengatur perlindungan untuk hak yang dibatasi,” ucapnya.