Kasus Bupati Kolaka Timur Kembali Perlihatkan Mudahnya Dana Hibah Dikorupsi
Sudah lama LKPP tak setuju jika dana hibah ke pemda diberikan dalam bentuk uang. Penetapan Bupati Kolaka Timur sebagai tersangka korupsi dana hibah dari BNPB harus jadi titik tolak perbaikan sistem pencegahan korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberi hibah tidak bertanggung jawab atas dana hibah yang telah disalurkan kepada pemerintah daerah sebagai penerima hibah. Pertanggungjawaban kegiatan dan anggaran sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Ini menjadikan korupsi semakin tumbuh subur di daerah, apalagi ditambah sistem lelang yang mudah direkayasa.
Pada Rabu (22/9/2021), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Merya Nur serta Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Koltim Anzarullah sebagai tersangka korupsi proyek dana hibah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut penjelasan pihak KPK, keduanya menyepakati pemenang tender dari paket belanja jasa konsultansi perencanaan pembangunan jembatan dan rumah sebelum proyek dilelang melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Tender akan dimenangkan perusahaan milik Anzarullah dan grup Anzarullah dengan imbalan bagi Merya dari Anzarullah fee sebesar 30 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari saat dihubungi di Jakarta, Kamis (23/9/2021), mengatakan, pelaksanaan kegiatan serta pertanggungjawaban kegiatan dan anggaran sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai penerima hibah. BNPB, lanjutnya, sebatas memonitor untuk memastikan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan proposal yang disetujui dan direkomendasikan oleh BNPB.
”Jika kemudian ada penyelewengan atau penyalahgunaan terhadap proses penggunaan anggaran hibah tersebut, ini mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah daerah yang bersangkutan,” ujar Abdul.
Setelah Merya ditangkap, Gubernur Sultra Ali Mazi menunjuk Penjabat Sekretaris Daerah Koltim Iqbal Tonggoasa sebagai pelaksana harian bupati. Penunjukkan ini dilakukan agar birokrasi tetap dapat berjalan efektif.
Abdul menyampaikan, dalam kasus Koltim, dana bantuan senilai Rp 26,9 miliar yang sudah ditetapkan Kementerian Keuangan sebenarnya belum ditransfer ke rekening daerah. Namun, pada prinsipnya, BNPB mengapresiasi langkah cepat KPK dalam penindakan kasus ini. BNPB akan terus memantau proses hukum yang sedang berjalan.
”Kami tentunya mengharapkan ke depan tidak ada lagi oknum yang melakukan penyelewengan bantuan hibah bencana alam di daerah karena masyarakat mungkin sangat memerlukan dukungan anggaran tersebut,” ucap Abdul.
Persekongkolan
Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta mengatakan, sudah lama dirinya tidak sepakat dana hibah diberikan kepada pemda dalam bentuk uang. Ini, menurut dia, malah rawan dikorupsi, apalagi itu merupakan dana hibah konstruksi.
”Kenapa rawan? Karena nilainya besar. Seharusnya, diberikan saja dalam bentuk konstruksi jadi. Ditenderkan dulu oleh siapa pun, misalnya. Minta bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” kata Setya.
Jika dana hibah diserahkan ke pemda, menurut Setya, ini berpotensi memunculkan permainan di tahap sebelum lelang, juga dalam proses lelang. Jadi, ia pun mengakui, LPSE atau e-procurement tak sepenuhnya dapat menutup celah korupsi.
”E-procurement itu, kan, hanya salah satu tools, salah satu alat untuk mencegah (korupsi), tetapi kalau manusianya masih belum berubah, e-procurement masih bisa diakali,” tutur Setya.
Permainan di tahapan sebelum lelang juga terjadi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Hulu Sungai Utara Maliki, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, diduga telah lebih dulu bersekongkol dengan calon pemenang tender. Ini dengan kesepakatan pemberian fee 15 persen dari calon tersebut.
Setya menjelaskan, korupsi dalam pengadaan ini bisa terjadi akibat tiga hal, yakni persekongkolan vertikal, horizontal, dan gabungan. Vertikal berarti di antara pejabat pemerintahan. Horizontal adalah peserta dan pemilik pekerjaan. Kemudian, gabungan merupakan persengkongkolan di antara pejabat pemerintahan dan peserta atau pemilik pekerjaan.
”Kalau sudah terjadi gabungan, itu susah. Jadi, peserta dan pemilik pekerjaan itu sudah berkomplot, sudah mendesain dari awal, dari perencanaan sehingga walaupun pakai e-procurement cuma formalitas. Padahal, dokumen tendernya sudah diarahkan ke si A, si B. Kemudian, pokjanya (kelompok kerja) sudah diintervensi harus menangkan si A si B. Jadilah itu harus ada setoran sehingga ditangkap tangan KPK,” papar Setya.
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra Azmi Syahputra, berpendapat, seharusnya pemberi hibah memiliki sistem pengendalian pelaporan yang terukur, bukan malah lepas tanggung jawab. Misal, laporan itu dilakukan hari per hari, memiliki target capaian, serta perkembangan pekerjaan di lapangan, baik secara adminsitrasi maupun keuangan.
”Jadi, sistem pengendalian ini enggak berjalan. Padahal, sistem pengendalian itu kuncinya untuk mengedepankan koordinasi, keterpaduan, serta transparansi pada publik. Apalagi, ini adalah uang bencana. Dengan demikian, dengan sistem pengendalian ini, ada tanggung jawab renteng dan beban tanggung jawab moral antara pemberi hibah dan penerima hibah,” tutur Azmi, yang juga Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha).
Secara terpisah, pegiat antikorupsi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, menilai, kembali tertangkapnya kepala daerah di Sultra menjadi wajah buruk pemerintahan di wilayah ini. Sebab, meski telah berulang kali terjerat operasi KPK, kepala daerah seperti tidak jera, bahkan leluasa melakukan tindak korupsi.
Ia melanjutkan, pihak KPK juga perlu menjelaskan terkait kasus ini secara terang benderang. Sebab, wilayah Koltim bukan merupakan daerah yang kaya sumber daya alam, seperti beberapa daerah lainnya di Sultra, yang turut menjerat beberapa kepala daerah.