Presiden Jokowi Tak Mungkin Khianati Amanat Reformasi
Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman kembali menegaskan, kabar Presiden Jokowi ingin menjabat tiga periode atau memperpanjang masa jabatannya adalah kabar bohong. Presiden tak mungkin mengkhianati amanat reformasi.
JAKARTA, KOMPAS — Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman menuturkan, isu atau wacana bahwa seolah-olah Presiden Joko Widodo ingin menjabat sebagai presiden tiga periode atau bahkan ingin memperpanjang masa jabatan sebenarnya adalah isu lama. Isu tersebut sudah dimulai hampir dua tahun lalu, beberapa saat setelah Presiden Jokowi dilantik sebagai presiden untuk periode kedua.
”Beliau selalu mengatakan, ’Mas Fadjroel, seperti Mas Fadjroel adalah pejuang reformasi, saya adalah orang yang dilahirkan dari reformasi. Menjadi wali kota karena reformasi, menjadi gubernur karena reformasi, menjadi presiden karena reformasi. Tidak mungkin saya mengkhianati reformasi dan demokrasi’. Ini yang harus saya nyatakan pertama dalam kuliah umum ini,” kata Fadjroel, Rabu (22/9/2021).
Ia mengatakan hal tersebut saat memberikan kuliah umum bertajuk ”Bagaimana Demokrasi di Tangan Jokowi” yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, secara daring, Rabu. Kegiatan tersebut ditayangkan pula melalui kanal Youtube UWKS Media Center.
Fadjroel mengatakan, dalam dua minggu terakhir dirinya disibukkan dengan wawancara di berbagai media, termasuk televisi dan media daring, hanya untuk menjelaskan apakah Presiden Jokowi setuju memperpanjang masa jabatan atau setuju dengan presiden tiga periode tersebut.
”Dan, saya harus mengungkapkan sekali lagi. Ketika di awal-awal saya diangkat sebagai juru bicara Presiden, itulah juga yang saya bicarakan dengan Presiden. (Hal ini) karena orang-orang (waktu itu) sudah mulai, sebenarnya, untuk membuat isu atau membuat semacam wacana yang berkembang, seolah-olah Presiden Joko Widodo ingin menjabat presiden tiga periode bahkan ingin memperpanjang masa jabatannya,” tutur Fadjroel.
Baca juga : Usulan Presiden Tiga Periode Dianggap Ahistoris dan Menjerumuskan
Ia menyebutkan, Presiden Joko Widodo tegak lurus, setia penuh terhadap UUD 1945 atau konstitusi yang diperjuangkan oleh mahasiswa Indonesia atau rakyat Indonesia. Presiden Jokowi pun setia terhadap agenda Reformasi 1998.
”Nah, masterpiece gerakan Reformasi 1998 itu adalah Pasal 7 (UUD 1945). Inilah yang kita perjuangkan habis-habisan, yaitu presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” ujarnya.
Fadjroel menuturkan, agenda tersebut sebenarnya sudah dirintis sebelumnya melalui gerakan pada tahun 1966, 1974, 1978, 1989, sampai 1998. Ia pun berdiskusi dengan Presiden Jokowi. Fadjroel menyampaikan, sekarang ada beragam pendapat yang ingin mendorong atau mengubah agar presiden menjabat tiga periode dan memperpanjang masa jabatannya, maka hal itu berarti mengkhianati agenda gerakan Reformasi 1998 dan juga melanggar UUD 1945 amendemen pertama.
Baca juga : PDI Perjuangan Menolak Presiden Tiga Periode
Padahal, perjuangan panjang tersebut bukan sekadar melalui kata-kata. Dalam perjuangan itu ada orang-orang yang dipenjara, hilang, bahkan mati ditembak. ”Presiden Joko Widodo bilang, ’Oh, saya setia. Saya tegak lurus dengan UUD 1945 dan setia dengan Pasal 7 UUD 1945’,” ucap Fadjroel.
Ia mengatakan, pada 15 Maret 2021 Presiden Jokowi berbicara di media massa. ”Beliau mengatakan begini, ’Sikap saya tidak berubah. Tidak ada niat menjadi presiden tiga periode. Tidak ada niat, tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama-sama’,” ujarnya.
Sebelumnya, lanjut Fadjroel, pada 2 Desember 2019, Presiden Jokowi pun telah bicara. ”Beliau mengatakan, ’Posisi saya jelas, tidak setuju dengan usul masa jabatan presiden tiga periode. Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode; pertama, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin mencari muka, padahal saya punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan saya’,” katanya.
Semua suara miring tentang Presiden Jokowi yang ingin tiga periode atau ingin memperpanjang masa jabatan adalah pernyataan bohong. Itu adalah pernyataan yang mengkhianati sikap kami sebagai orang yang berjuang untuk reformasi dan juga untuk demokrasi.
Fadjroel menuturkan, Jokowi adalah figur yang lima kali dipilih oleh rakyatnya, baik dipilih sebagai Wali Kota Solo sebanyak dua kali, dipilih sebagai Gubernur DKI Jakarta satu kali, dan dipilih sebagai Presiden RI dua kali. Jokowi lima kali diterima oleh rakyat dan menang oleh karena adanya reformasi.
Menurut Fadjroel, pada sosok Jokowi, kita bertemu dengan seorang rakyat biasa.
”Di masa 32 tahun Orde Baru, Anda tidak akan bisa menemukan seorang wali kota atau gubernur atau presiden yang berasal dari pinggir kali, yang hanya anak seorang tukang jualan bambu. Itulah yang merupakan kebanggaan saya bahwa demokrasi itu betul-betul dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” katanya.
Melalui pemaparan tersebut, menurut Fadjroel, dirinya ingin meyakinkan bahwa semua suara miring tentang Presiden Jokowi yang ingin tiga periode atau ingin memperpanjang masa jabatan adalah pernyataan bohong. ”Itu adalah pernyataan yang mengkhianati sikap kami sebagai orang yang berjuang untuk reformasi dan juga untuk demokrasi,” ujarnya.
Tahapan demokrasi
Pada kuliah umum tersebut, Fadjroel juga menyampaikan, pembicaraan mengenai demokrasi jangan hanya terpaku pada demokrasi politik. Hal yang dinilai juga mesti dibicarakan adalah demokrasi terkait ekonomi, sosial, budaya, dan demokratisasi di bidang hukum. Kompleksitas permasalahan pasca-Orde Baru menjadi pekerjaan tidak mudah yang harus dijawab sampai pada era Presiden Joko Widodo.
Fadjroel membagi dalam tiga tahapan untuk memudahkan dalam memahami proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Periode tahun 1967-1998 disebutnya fase antidemokrasi. Pada periode ini Pancasila bukan menjadi ideologi yang terbuka, melainkan menjadi ideologi yang tertutup.
”Dan, hanya diinterpretasikan oleh satu orang, yaitu, kita sebut, presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. Jadi, apa pun yang tidak sesuai dengan apa yang dia interpretasikan terhadap ideologi Pancasila, maka itu akan menjadi musuh-musuhnya secara politik,” kata Fadjroel.
Baca juga : Saat ”Panca Main” Jadi Alat Kenalkan Pancasila kepada Anak-anak
Pada fase antidemokrasi, Fadjroel menuturkan, susunan masyarakat politik terbagi dalam tiga partai. Masyarakat ekonomi hanya dikuasai sekelompok atau segelintir orang. Masyarakat sipil terbelenggu, tidak ada kebebasan.
”Bahkan mahasiswa pun (untuk) membentuk organisasi, kan, tidak boleh. Dewan Mahasiswa-nya dibubarkan. Buruh tidak boleh (membentuk organisasi), hanya ada satu (organisasi) yang tunggal. Wartawan juga tidak boleh membuat sendiri organisasi, hanya satu, tunggal, pada waktu itu PWI. Kemudian (organisasi) pemuda, hanya tunggal juga di bawah KNPI, tidak boleh ada lagi yang lain-lain,” tuturnya.
Fadjroel menyebutkan, aparat negara saat itu semuanya tunduk terhadap Orde Baru-isme. ”Dan hukum adalah hukum yang tidak sesuai dengan apa yang dicanangkan pada waktu kemerdekaan, di mana Republik Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Hukum hanya mengabdi kepada kekuasaan pada waktu itu. Praktis, semuanya, ideologi dilakukan secara indoktrinasi,” katanya.
Baca juga : Pendekatan Kreatif Efektif untuk Tanamkan Pancasila kepada Generasi Muda
Ada perjuangan di tahun 1998 untuk meruntuhkan sistem antidemokrasi. Namun, kemudian ada masalah di fase transisi dan konsolidasi demokrasi. Waktu itu ada kesimpulan bahwa persoalan ideologi sudah selesai sehingga Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dibubarkan.
”P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pun tidak dilakukan dengan alasan demokrasi sudah kita rebut lalu ideologi Pancasila sudah selesai atau sudah diterima oleh masyarakat. Tetapi, sampai tahun 2017, Pancasila sebagai ideologi terbuka ditantang oleh propaganda anti-Pancasila,” kata Fadjroel.
Fadjroel mengatakan, ada sejumlah ormas yang mengambil ideologinya dari transnasional ingin menghancurkan Pancasila, UUD 1945, Merah Putih, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Akhirnya, pada tahun 2017, pada masa Presiden Joko Widodo, dibentuklah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) dan kemudian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
”Nanti, insya Allah, segera ada regulasi, undang-undang, tentang pemantapan ideologi Pancasila. Nah, (hal) ini kita lakukan karena kita berhadapan dengan propaganda anti-Pancasila,” kata Fadjroel.
Baca juga : Pertahankan Pancasila dari Gempuran Ideologi Transnasional
Kemudian, pada 2019, salah satu ormas yang ingin mengganti Pancasila, ingin mengganti Merah Putih, UUD 1945, pun akhirnya dilarang. ”(Langkah) ini prestasi besar di masa Presiden Joko Widodo karena ideologi kita ingin diganti oleh ideologi transnasional. Nah, ini enggak pernah dihitung orang nih, tentang perjuangan demokrasi dari Presiden Joko Widodo,” katanya.
Menurut Fadjroel, orang cuma mau melihat soal mural, soal Suroto, tapi tidak pernah melihat upaya mati-matian Presiden Joko Widodo yang ingin menegakkan ideologi Pancasila. ”Mendirikan BPIP. Dan, termasuk melarang dua ormas karena mereka bertentangan dengan ideologi Pancasila,” katanya.
Fadjroel mengklaim, saat ini masyarakat politik membaik dengan jumlah partai 40-50 partai. Ekonomi juga diklaim mulai membaik. Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, buruh, dan lainnya pun boleh memiliki beragam organisasi. Hal ini karena negara harus melindungi hak-hak sosial dan politik mereka.
Baca juga : Diperlukan Ikhtiar Menanamkan ”Cip” Pancasila di Benak Generasi Muda
”Kemudian, dari tahun 2019 sampai 2024, di masa periode kedua, kita sudah menegakkan ideologi Pancasila, mendirikan BPIP. Kita juga sekarang sedang menyelesaikan undang-undang tentang ideologi Pancasila dan segera akan ada lagi semacam pendidikan kembali nilai-nilai Pancasila dari PAUD (pendidikan anak usia dini) sampai dengan universitas dan bahkan juga ke seluruh masyarakat. (Hal ini) karena ideologi Pancasila-lah yang bisa sebagai guiding principles yang bisa menjamin kehidupan demokrasi kita,” tutur Fadjroel.
Saat memberi pengantar terkait kuliah umum tersebut, moderator Abdus Sair mengatakan, belakangan ada anggapan demokrasi di Indonesia mundur. ”Salah satu kutipan yang perlu saya catat bahwa The Economist Intelligent Unit merilis bahwa demokrasi Indonesia berada di urutan ke-64 dari 176 negara,” ucapnya.
Posisi Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. ”Para ahli, sarjana, media itu mengatakan bahwa ini penyebabnya banyak. Salah satunya adalah tekanan terhadap kebebasan sipil, maraknya penangkapan terhadap para aktivis, intimidasi yang menyerang mahasiswa dan akademisi, dan suara kritis terhadap pemerintah kerap diserang di ranah digital. Ini perspektif media, para sarjana. Tetapi kita memang harus adil bahwa sumber informasi itu harus dari berbagai kanal,” kata Abdus Sair.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Sucahyo Tri Budiono, dalam sambutannya, mengajak para mahasiswa agar jangan hanya menjadi mahasiswa. ”Anda jangan hanya menjadi mahasiswa, mahasiswa an sich. Tetapi jadilah mahasiswa yang plus. Artinya, selain kita menjadi mahasiswa, kita juga menjadi aktivis yang peduli terhadap keadaan bangsa dan negara,” katanya.