KPU Pertimbangkan Semua Opsi Hari Pemungutan Suara Pemilu 2024
Semua usulan terkait hari pemungutan suara Pemilu 2024 akan disimulasikan oleh KPU. Hingga kini, waktu pemungutan suara belum disepakati oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum mempertimbangkan semua opsi dan usulan terkait dengan hari pemungutan suara Pemilu 2024. Semua akan disimulasikan untuk melihat kendala yang mungkin muncul serta solusi yang dapat diambil untuk mengatasi persoalan itu.
Sebagaimana hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan penyelenggara pemilu, 16 September 2021, pemerintah belum setuju dengan skenario tahapan Pemilu 2024 yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, skenario tahapan itu sudah pernah dibahas dan disepakati dalam rapat konsinyering antara pimpinan Komisi II DPR, para ketua kelompok fraksi (kapoksi) di Komisi II, dan perwakilan pemerintah, serta penyelenggara pemilu lainnya, Juni 2021.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
KPU memaparkan, hari-H pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 21 Februari 2024, sedangkan hari-H pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024. Namun, pemerintah yang diwakili oleh Mendagri Tito Karnavian mengusulkan skenario baru, yakni hari-H Pemilu 2024 pada 24 April, 8 Mei, atau 15 Mei. Usulan pemerintah itu diklaim untuk menghindari risiko suasana politik memanas lebih awal, sehingga pemerintah bisa fokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional pada 2022 sebelum menghadapi tahapan pemilu pada 2023 dan 2024 (Kompas, 17/9/2021).
Rapat juga menyepakati agar tahapan pemilu itu segera disepakati sebelum DPR memasuki masa reses, 8 Oktober 2021. Untuk menuju kepada kesepakatan itu, tim kerja akan kembali melakukan konsinyering. Mendagri juga menjanjikan untuk melakukan koordinasi internal dengan kementerian dan lembaga terkait menyangkut tahapan pemilu tersebut. Namun, sampai sepekan sejak rapat digelar belum ada jadwal pembahasan tahapan pemilu melalui konsinyering.
Baca juga: Pemerintah Inginkan Tahapan Pemilu 2024 Lebih Efisien
Dalam menyikapi berbagai masukan mengenai hari-H pemilu, Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya masih menimbang semua opsi. ”Kami sedang melakukan exercise kembali terkait dengan hasil RDP, 16 September lalu,” ucapnya di Jakarta, Rabu (22/9/2021).
Namun, ketika ditanyai lebih lanjut kemungkinan KPU memundurkan hari-H pemilu dengan mengikuti desain atau skenario pemerintah, ataukah tetap pada usulan awal, Ilham belum memastikan.
Secara terpisah, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menambahkan, semua usulan dan masukan terkait dengan rancangan tahapan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilu, dan Pilkada Serentak 2024 perlu menjadi perhatian. Selain itu, KPU akan juga menindaklanjuti apa yang telah menjadi kesimpulan dalam RDP, 16 September.
”Saat ini KPU tengah melakukan persiapan-persiapan dan pembahasan tentang hal itu sebagai bahan pada saat pembahasan lebih lanjut. Nanti hasilnya akan dijadikan acuan sekaligus melihat secara utuh terhadap semua aspek, baik sisi plus maupun minusnya,” katanya.
Dengan cara demikian, lanjut Raka, diharapkan akan dapat diputuskan opsi terbaik. Termasuk jika ada kendala-kendala akan dicarikan solusinya. Semua opsi tanggal hari-H akan dipertimbangkan oleh KPU, dan dilihat dari perspektif regulasi maupun aspek teknis penyelenggaraan tahapan.
Raka menegaskan, mengingat kompleksitas tata kelola pemilu dan pilkada ke depan, prinsip kehati-hatian, kecermatan, serta pertimbangan terhadap semua aspek yang akan berkorelasi dengan penyelenggaraan menjadi penting. ”Harapannya pada saat telah diputuskan nantinya akan dapat diimplementasikan secara efektif dan dapat menjamin peningkatan kualitas pemilu dan pilkada ke depan,” katanya.
Dorong percepatan
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, sampai dengan awal Oktober 2021, jadwal Komisi II masih cukup padat. Namun, ia memastikan konsinyering akan segera dilakukan. ”Kemungkinan akan dilakukan pada awal Oktober 2021 karena pada 7 Oktober DPR memasuki masa reses,” ucapnya, Rabu.
Luqman mengatakan, kecepatan dalam penetapan tahapan itu sangat penting untuk menutup spekulasi yang selama ini berkembang tentang rencana amendemen konstitusi, yang dikaitkan dengan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, serta penundaan Pemilu 2024. Dengan tidak segeranya tahapan itu diputuskan, spekulasi itu akan terus berkembang.
”Yang paling penting ialah mengakhiri spekulasi ini, dan memastikan kepada semua warga bangsa bahwa tidak ada keinginan sekelompok orang di lingkungan istana untuk menunda dan meniadakan pemilu agar masyarakat dan bangsa tenang. Karena, spekulasi itu mengganggu kehidupan masyarakat kita,” ujarnya.
Penetapan tahapan yang cepat itu juga penting untuk memastikan KPU punya waktu untuk menyiapkan anggaran dan tahapan pemilu. Sebab, bagaimanapun ada hal-hal yang harus disiapkan lebih awal untuk mengatasi potensi kendala dan masih belum tuntasnya pandemi Covid-19. ”Tidak bisa sprint, dalam waktu singkat disiapkan karena harus menyisakan kemungkinan Covid-19 masih seperti ini di tahun mendatang. Tujuannya agar pesta rakyat ini bisa berjalan lancar di 2024,” ucap Luqman.
Hal lain yang harus dijaga ialah keajegan dalam pengambilan keputusan mengenai tanggal pemilu. Sebab, menurut Luqman, sebelumnya pemerintah yang diwakili Kemendagri telah menyetujui hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 21 Februari 2024 di dalam rapat tim kerja bersama. Namun, sikap itu berubah saat rapat pada 16 September ketika ada pertimbangan keamanan, kondusivitas politik, dan anggaran, yang dikemukakan oleh pemerintah. Pertimbangan semacam itu tidak dimunculkan dalam rapat tim kerja bersama.
Beda pendapat
Setelah ada pemaparan Mendagri, perbedaan sikap pun kembali muncul di Komisi II. Sejumlah anggota menilai, rancangan KPU sudah merupakan tahapan yang ideal. Sebab, jika pemilu diadakan pada Februari 2024, masih akan ada cukup waktu bagi KPU untuk menghadapi sengketa hasil pemilu dan memberikan kesempatan bagi partai politik untuk menyiapkan koalisi ataupun calon-calon kepala daerah yang lebih berkualitas. Di sisi lain, ada cukup waktu bagi calon perseorangan untuk menyiapkan diri karena verifikasi calon perseorangan dilakukan lebih awal daripada calon dari parpol.
”Kalau dilakukan April atau Mei, waktunya terlalu mepet bagi parpol untuk menyiapkan cakada (calon kepala daerah). Ujung-ujungnya, kalau mepet, pemilihan cakada itu akan rentan menjadi transaksional. Siapa punya uang, dia akan diberikan rekomendasi parpol. Itu antara lain karena parpol tidak punya cukup waktu untuk fit and proper test cakada,” kata Luqman.
Untuk menjaga kualitas tahapan Pemilu dan Pilkada 2024, Luqman berharap ada cukup waktu bagi penyelenggara pemilu ataupun parpol untuk menyiapkan segalanya. Sebab, pemilu bukan peristiwa biasa, melainkan forum tertinggi perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui pemilu itulah pemerintahan dibentuk.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, secepat mungkin konsinyering tim kerja bersama akan dilakukan. Ia memperkirakan akhir September ini sudah dapat dimulai pembahasan kembali secara intensif mengenai tahapan pemilu.
Dalam menyusun rancangan tahapan, menurut Saan, perlu juga diperhatikan soal efektivitas pemerintahan. Jika pemilu dilakukan pada Februari 2024, akan ada jeda 8 bulan sampai dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Biasanya pelantikan presiden dan wapres terpilih dilakukan pada Oktober tahun yang sama.
”Efektivitas pemerintahan yang ada sekarang akan terganggu karena ketika sudah ada hasil pemilu, pasti ada pergerakan tim sukses untuk menyiapkan masa transisi pemerintahan, misalnya proyeksi menteri-menteri dan posisi lainnya. Padahal, pemerintahan yang sekarang masih ada,” ujarnya.
Untuk mencegah hal itu terjadi, berbeda dengan Luqman, Saan lebih cenderung menyetujui pemilu dilakukan pada April atau Mei sebagaimana usulan pemerintah. Untuk mengatasi kemungkinan sengketa hasil pemilu yang berlarut-larut, sejumlah simulasi dan opsi akan dilakukan. Misalnya, dengan membuat nota kesepahamana antara pemerintah dan penyelenggara pemilu dengan Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan batasan waktu penyelesaian perkara sengketa pemilu. Dengan demikian, dapat diketahui berapa lama suatu perkara itu harus tuntas di yudikatif.
”Itu nanti akan dibicarakan di dalam konsinyering, apakah akan dibuat semacam MOU atau konsensus dengan yudikatif,” katanya.
Saan menampik kekhawatiran jika kesepahaman dengan yudikatif itu akan mengintervensi independensi pengadilan dalam memutuskan sengketa hasil pemilu. Sebab, yang diatur hanyalah batas waktu penyelesaiannya dengan mempertimbangkan urgensi pemilu sebagai agenda ketatanegaraan. ”Kita tidak akan atur substansi putusan, tetapi lebih ke batasan waktu penyelesaian dan prosedurnya sehingga bisa ada kepastian waktu dan tidak berlarut-larut,” ucapnya.
Kepastian tentang hasil pemilu itu akan sangat berkaitan dengan kelancaran tahapan pilkada sebab pencalonan pilkada oleh parpol yang dimulai pada Agustus 2024 akan berbasis pada hasil Pemilu 2024. Jika kepastian hasil pemilu tidak segera diperoleh karena sengketa pemilu yang berlarut-larut, pencalonan kepala daerah berpotensi terganggu.
Baca juga : Rasionalisasi Anggaran Pemilu Ditempuh, KPU Masih Butuh Rp 5,6 Triliun
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, dalam penyusunan tahapan Pemilu 2024 sebaiknya memperhatikan dengan detail tahapan Pilkada 2024. Sebab, hasil Pileg 2024 itu akan dijadikan basis pencalonan kepala daerah oleh parpol. Waktu penyelesaian sengketa pemilu mesti juga dihitung agar tidak mengganggu tahapan pilkada.
”Kalau mau ada semacam kesepahaman dengan MA atau MK soal penyelesaian sengketa, mesti diingat pula kalau itu akan kembali pada hukum acara setiap lembaga pengadilan,” katanya.