Menyoal Gaji KD dan Pertanggungjawaban Reses
Sejak Krisdayanti ungkap pendapatannya sebagai anggota DPR, publik mempertanyakan gaji anggota DPR dan dana reses yang diperoleh. Hal ini mengingatkan kembali efektivitas reses anggota DPR dan praktiknya selama ini.
Dana reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama ini seolah tidak pernah jelas penggunaan dan pertanggungjawabannya kepada publik. Padahal, setiap anggota DPR menerima ratusan juga setiap kali reses berlangsung.
Pengakuan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Krisdayanti, dalam akun Youtube Akbar Faizal Uncensored, 13 September 2021, menyingkap sedikit bagaimana dana reses itu dikelola. Dana itu rupanya langsung mengalir ke rekening pribadi anggota DPR. Setiap tanggal 1 setiap bulannya, ia mendapat Rp 16 juta, dan kembali menerima kiriman Rp 59 juta pada tanggal 5.
Di luar pendapatan itu, anggota legislatif yang berlatar belakang penyanyi itu juga menerima dana aspirasi dan uang kunjungan daerah pemilihan (kundapil). Pelantun lagu ”Menghitung Hari” itu juga menyebutkan dana aspirasi itu sebagai dana wajib untuk anggota DPR, yang disebutnya sebagai uang negara. Ia menerima Rp 450 juta, lima kali dalam setahun, untuk dana aspirasi.
”Dana aspirasi itu memang wajib untuk kita, namanya uang negara. Dana aspirasi kita itu Rp 450 juta, lima kali dalam setahun,” ujarnya.
Baca juga: Siasat Para Politisi Serap Aspirasi Konstituen di Tengah Pembatasan
Adapun untuk uang kunjungan dapil (kundapil), Krisdayanti mendapatkan masing-masing Rp 140 juta, yang diterimanya delapan kali dalam setahun.
Saat menjelaskan gaji dan pendapatannya, Krisdayanti atau KD pun sempat berceletuk kepada Akbar Faizal, yang juga mantan anggota DPR dari Fraksi Nasdem. ”Tertarik ya mau masuk lagi?” sembari tertawa. Akbar pun menimpali, ”Guedeee, ha-ha-ha.”
Hingga Senin (20/9/2021), percakapan berjudul ”NEKAT! KRISDAYANTI BERANI BICARA POLITIK DISINI!” itu ditonton lebih dari 118.000 kali.
Pernyataan penyanyi berjuluk ”KD” itu mengundang polemik karena publik banyak mengira besaran uang itu semua diterima oleh anggota DPR, alias take home pay mereka setiap bulan. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, hal itu tidaklah demikian. Soal dana aspirasi dan dana kundapil itu, lanjut Dasco, diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan di dapil, seperti di masa reses, dan kunjungan ke dapil.
Terlepas dari klarifikasi KD maupun penjelasan pimpinan DPR, pertanyaan selama ini tentang dana reses dan penggunaannya oleh anggota DPR belum terjawab dengan jelas.
Dalam kondisi pandemi, Dasco menambahkan, kebanyakan anggota DPR harus menutupi kebutuhan konstituen dari sumber-sumber lain. ”Karena banyaknya konstituen yang membutuhkan alat kesehatan dan sembako gitu,” ucapnya.
Krisdayanti juga mengklarifikasi pernyataannya dalam akun Youtube tersebut. Ia menyebutkan, dana reses bukanlah bagian dari pendapatan pribadi anggota DPR. Dana itu digunakan dalam reses untuk menyerap aspirasi rakyat di dapil masing-masing. ”Bentuk kegiatan banyak juga merupakan usulan dari masyarakat, mulai dari pertemuan biasa masyarakat dengan anggota DPR sampai kegiatan-kegiatan tertentu yang menjadi kebutuhan masyarakat,” katanya.
Krisdayanti mengatakan, dana reses yang berasal dari rakyat itu pada akhirnya kembali lagi ke rakyat dalam berbagai bentuk kegiatan.
Terlepas dari klarifikasi KD ataupun penjelasan pimpinan DPR, pertanyaan selama ini tentang dana reses dan penggunaannya oleh anggota DPR belum terjawab dengan jelas. Selama ini tidak pernah ada pertanggungjawaban dana reses secara rinci dan transparan kepada publik. Di situs resmi DPR pun demikian halnya.
Baca juga : Pandemi Mengubah Komunikasi Politik
Wajar jika publik mempertanyakan soal besarnya gaji DPR dan dana reses yang mereka terima. Selama ini, kerap kali ada kesenjangan antara apa yang menjadi aspirasi rakyat dan kebijakan DPR. Pertanyaannya, apakah setiap kali reses mereka sungguh menyerap aspirasi? Apakah juga aspirasi itu tergambarkan dalam pembuatan kebijakan mereka? Jika benar mereka menyerap aspirasi, kenapa sejumlah UU yang dihasilkan lembaga perwakilan itu bersama pemerintah kerap menuai penolakan? Sungguhkah dana reses dipakai untuk mendengarkan aspirasi konstituen? Bagaimana alat ukurnya? Atau jangan-jangan dana reses berujung pada pembagian kebutuhan pokok semata?
Baca juga : Masa Reses Diperpanjang, Optimalkan Reses untuk Fungsi Legislasi
Persoalan reses menjadi penting terlepas dari viralnya ucapan KD di akun medsos itu. KD setidaknya melakukan satu hal penting dengan mengingatkan kembali semua pihak tentang efektivitas reses oleh anggota DPR, dan praktiknya selama ini. Sebab, reses sejatinya menggambarkan peran paling inti dari hakikat menjadi anggota legislatif, yakni mewakili konstituen dengan mendengarkan aspirasi mereka.
Faktanya, kecenderungan kegiatan reses ini lebih banyak diisi dengan pemberian bantuan. Sejumlah anggota DPR mengakui, mereka kesulitan di tengah pandemi ini karena warga mengeluhkan kesulitan beras atau kesulitan hidup di saat pandemi.
”Kalau dulu tidak ada orang yang bilang enggak punya beras. Sekarang, orang bilang enggak punya beras. Bukannya tidak mau membantu, melainkan peran anggota DPR serba sulit dalam kondisi seperti ini. Tidak mudah menjelaskan hal seperti ini kepada rakyat,” ucap seorang anggota Dewan.
Tata kelola dana reses ini pun dipertanyakan karena masuk melalui rekening yang sama dengan gaji anggota DPR. Padahal, dana reses itu, seperti dikatakan Krisdayanti, adalah uang negara.
Penjelasan semacam itu justru menemukan rasionalitasnya bagi kritisme publik. Sensitivitas anggota DPR dipertanyakan, mengapa saat rakyat sulit membeli beras, anggota DPR malah mengumbar gajinya.
Memberikan bahan kebutuhan pokok atau mengadakan vaksinasi massal di saat reses, terutama di kala pandemi, tentu bukan sesuatu yang buruk. Namun, bukankah harus tetap ada pertanggungjawaban moral dan politik dalam penyerapan aspirasi rakyat?
Perjelas pertanggungjawaban
Problem pertanggungjawaban reses itu juga yang disoroti Direktur eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Tata kelola dana reses ini pun dipertanyakan karena masuk melalui rekening yang sama dengan gaji anggota DPR. Padahal, dana reses itu, seperti dikatakan Krisdayanti, adalah uang negara. Sebagai uang negara, faktanya uang itu masuk ke rekening pribadi masing-masing anggota Dewan sehingga transparansi dan akuntabilitas penggunaannya dipertanyakan.
Baca juga : Siasat Para Politisi Serap Aspirasi Konstituen di Tengah Pembatasan
”Kenapa tidak, misalnya, dana reses itu ditransfer ke rekening DPR, dan lalu penggunaannya berbasis klaim atau reimbursement. Dengan demikian, arus uang masuk dan keluar serta pengaturan dana reses itu lebih jelas dan transparan,” kata Roy.
Pilihan lainnya, tata kelola dana reses yang lebih transparan itu bisa saja dilakukan dengan menyalurkan dana melalui rumah aspirasi anggota Dewan yang didata di Kesekretariatan Jenderal DPR. Andaikata reses, anggota Dewan dapat menggunakan dana itu dengan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh rumah aspirasi kepada DPR.
Karena kerja reses harus dapat dipertanggungjawabkan, parameter dalam kerja-kerja di saat reses juga mestinya dapat diukur. Minimal, ada panduan khusus yang diterbitkan oleh institusi DPR mengenai reses sehingga ada waktu bagi anggota untuk mendengarkan aspirasi rakyat di setiap kegiatan mereka. Sejauh mana aspirasi itu dicatat oleh anggota Dewan juga mesti diuji kembali dengan tindakan mereka di gedung DPR. Apakah aspirasi itu disalurkan kepada kementerian/lembaga terkait, ataukah pemerintah daerah setempat seandainya itu merupakan problem lokasl.
”Konstituen juga berhak mempertanyakan sejauh mana aspirasi mereka didengar dan ditindaklanjuti oleh anggota DPR. Anggota DPR semestinya memang banyak mendengar, dan tidak banyak berbicara saat reses,” kata Roy.
Pertanggungjawaban dana reses serta rincian aspirasi rakyat idealnya dapat pula diunggah di situs DPR. Sayangnya, sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban reses yang diunggah DPR di situsnya.
Mengenai pertanggungjawaban dana reses, Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan, semua dana reses yang diterima oleh anggota DPR diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam pelaksanaan audit itu, diminta juga bukti tertulis dan bukti lainnya dalam pemakaian dana reses, seperti foto dan video, di setiap titik tempat mereka bertemu konstituen. Sesuai ketentuan, setiap kali reses mereka menyerap aspirasi setidaknya di 20 titik di dapil.
”Ada juga ketika diperiksa oleh BPK, yang tidak lengkap bukti-buktinya dipertanyakan. Jadi, dana itu memang bukan penghasilan anggota DPR, melainkan dana untuk menyerap aspirasi konstituen. Posisi kesekjenan ialah memastikan dana ini digunakan dengan tertib administrasi, adapun untuk keputusan politiknya semua di tangan Bamus,” katanya.
Polemik buka-bukaan gaji KD yang menghebohkan publik baru-baru ini menyiratkan perlunya tata kelola dana reses yang lebih akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan politis kepada konstituen. Sudah saatnya tata kelola dana reses menjadi perhatian pimpinan DPR agar benar-benar dapat mendudukkan wakil rakyat sebagai penyambung lidah rakyat....