PP No 99/2012 yang Tak Diinginkan Sejak Lahir
PP Nomor 99 Tahun 2012 yang memperketat remisi bagi koruptor belum sepenuhnya berdampak. Obral remisi bagi koruptor masih terjadi. Sebagian yang tidak menikmatinya terus berupaya membawa klausul remisi ke MK.
Bekas advokat senior, OC Kaligis, yang kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas I A Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, tak berhenti mencari cara untuk dapat mempersingkat masa pidananya. Upaya paling mutakhir yang dilakukan Kaligis adalah menguji konstitusionalitas norma pemberian remisi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi.
Ia mencari keadilan ke MK karena selama menjalani masa pidana tidak pernah mendapatkan haknya untuk mendapatkan pemotongan hukuman. Ada peraturan pemerintah (PP) yang menghalangi Kaligis memerolehnya, yaitu PP No 99/2012 yang mensyaratkan seorang narapidana harus menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya, untuk bisa dihadiahi pemotongan masa pidana.
Upaya yang paling mutakhir yang dilakukan Kaligis adalah menguji konstitusionalitas norma pemberian remisi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Kaligis dihukum karena terbukti menyuap majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan (Tripeni, Amir Fauzi, dan Dermawan Ginting). Ia dihukum 10 tahun penjara melalui putusan kasasi MA, tetapi kemudian dikurangi hukumannya menjadi 7 tahun penjara oleh putusan Peninjauan Kembali pada Desember 2017. Tetap tidak puas dengan putusan tersebut, Kaligis mengajukan PK kedua.
”Saya rasa saya ini penghuni paling tua di Sukamiskin. Semua sudah bebas. Hakimnya tidak pernah minta duit sama saya. Saya tidak tahu mengenai kejadian itu, katakanlah mengenai uang THR. Saya merasakan ketidakadilan, PK (peninjauan kembali) kedua saya saja sudah 19 kali disetujui oleh pengadilan negeri, tetapi tidak diputus oleh Mahkamah Agung. Karenanya, jalan satu-satunya bagi saya mencari keadilan melalui Mahkamah Konstitusi karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 14 dengan jelas menyatakan apa hak-hak saya,” kata OC Kaligis dalam persidangan akhir Agustus lalu.
Rasa diperlakukan tidak adil tersebut barang kali semakin menjadi-jadi ketika menghadapi kenyataan bahwa sebanyak 214 narapidana kasus korupsi menerima remisi umum atau potongan hukuman pada peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu. Narapidana kasus korupsi yang termasuk mendapatkan remisi adalah Joko S Tjandra, terpidana kasus cessie Bank Bali yang sempat menghebohkan Tanah Air dengan upayanya menyuap jenderal polisi dan jaksa untuk menghilangkan namanya dari daftar pencarian orang (DPO) dan upaya pengajuan fatwa bebas ke MA.
Kaligis meminta MK untuk menyatakan Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU Pemasyarakatan yang menjadi dasar pemberian remisi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang dimaknai pemberian remisi berlaku secara diskriminatif. Diskriminasi tersebut antara lain dijabarkan Kaligis dengan adanya syarat menjadi JC seperti diatur dalam aturan turunan PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
”Bagaimana mungkin saya menjadi justice collaborator untuk hal yang sama sekali tidak saya ketahui?” kata OC Kaligis di hadapan tiga majelis panel MK yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Baca Juga: Pemberian Remisi Sejumlah Koruptor Janggal
Uji materi UU Pemasyarakatan sebenarnya bukan kali pertama dilakukan Kaligis. Sebelumnya, pada 2017, Kaligis bersama-sama dengan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno, dan bekas Gubernur Papua Barnabas Suebu menguji pasal remisi di dalam UU Pemasyarakatan. Namun, upaya tersebut kandas karena MK menolak permohonan mereka.
Pasang surut PP No 99/2012
Upaya untuk menghapus pengetatan syarat pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan hak-hak lain sebenarnya sudah muncul bahkan sejak PP No 99/2012 diterbitkan. Begitu diterbitkan, Juli 2013, sejumlah napi korupsi dengan didampingi pakar hukum tata negara yang juga eks Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra menguji PP tersebut ke MA. Disebutkan bahwa syarat harus menjadi JC untuk memeroleh remisi mengada-ada. Namun, langkah ini kandas di MA.
Upaya untuk menghapus pengetatan syarat pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan hak-hak lain sebenarnya sudah muncul bahkan sejak PP No 99/2012 diterbitkan.
Di tahun yang sama, Wakil Ketua DPR saat itu, Priyo Budi Santoso, mengirimkan surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan konsern yang sama, yaitu pemberlakuan PP No 99/2012. Surat yang sempat menjadi perbincangan publik itu disebutkan dilakukan untuk meneruskan aspirasi publik. Pengetatan aturan itu pun disebut menjadi salah satu pemicu kerusuhan di LP Tanjung Gusta, tetapi pemerintah pun tegas menyatakan PP tersebut tetap berlaku.
Ketika rezim berganti, pada Maret 2015 Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan tengah mengkaji aturan pengetatan remisi napi korupsi (PP No 99/2012). Revisi terutama ditujukan pada perlunya pertimbangan instansi penegak hukum yang menangani perkara (Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) jika remisi hendak diberikan. Menurut Menkumham saat itu, pertimbangan untuk memberikan remisi cukup ada di tangan Menkumham.
Yasonna beralasan, ada diskriminasi dalam pelaksanaan pemberian remisi dalam praktiknya. Napi korupsi yang perkaranya ditangani Kejaksaan dan kepolisian dapat menerima remisi, sementara narapidana yang perkaranya ditangani KPK tak dapat remisi. Dalam kondisi itu, pada 2015, menkumham menyetuju pemberian remisi kepada 1.938 napi korupsi. Sebanyak 1.421 orang napi korupsi di antaranya mendapat surat keterangan menjadi JC.
Tahun 2016 dan 2017 pun tak lepas dari wacana revisi PP No 99/2019. Komisi III DPR dan Menkumham dalam rapat 11 April 2016 sepakat untuk melonggarkan syarat menjadi JC dalam pemerbarian remisi. Revisi PP No 99/2012 disiapkan, tetapi mendapatkan penolakan publik. Tahun 2019, revisi UU Pemasyarakatan untuk mencabut ketentuan PP No 99/2012 mencuat. Pemerintah dan DPR sepakat untuk melaksanakan revisi itu.
Sebenarnya seberapa signifikan dampak potongan hukuman terhadap masa pidana seorang narapidana? Ada sebuah ungkapan, waktu menjadi terlalu lambat bagi orang yang menunggu, terlalu lama bagi yang orang yang berduka, terlalu singkat bagi orang yang gembira. Dalam konteks ini, potongan hukuman satu hari pun terasa berharga bagi para narapidana yang sedang menunggu pembebasannya.
Sebut saja, artis Syaipul Jamil yang baru saja bebas setelah mendapatkan remisi dengan total 30 bulan yang digunakan untuk mengurangi masa pidana yang dijatuhkan selama 8 tahun penjara. Ia yang seharusnya bebas pada 2024 (jika mengacu pada putusan hakim), bisa keluar penjara lebih cepat, yakni pada 2 September 2021.
Baca Juga: Bebasnya Nazaruddin Sisakan Polemik KPK dan Ditjen Pemasyarakatan
Remisi hingga 30 bulan memang menjadi sangat mungkin mengingat banyaknya jenis remisi yang dapat diperoleh seorang napi jika berkelakuan baik atau minimal tidak pernah tercatat melakukan pelanggaran. Jenis-jenis itu meliputi; remisi umum (diberikan setiap peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus), remisi khusus (diberikan setiap hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana yang bersangkutan), remisi kemanusiaan (untuk napi anak atau yang berusia di atas 70 tahun atau sakit berkepanjangan), remisi tambahan (diberikan jika napi memberikan sumbangsih kepada negara), dan remisi kejadian luar biasa (remisi yang diberikan saat terjadi bencana alam), remisi dasawarsa (remisi yang diberikan setiap 10 tahun HUT Kemerdekaan RI), serta remisi perubahan jenis pidana (misal napi dihukum seumur hidup kemudian diubah menjadi pidana sementara berdasarkan keputusan presiden).
Antara remisi dan vonis ringan
UU Pemasyarakatan, khususnya terkait dengan klausul mengenai hak-hak narapidana, seperti remisi atau pemotongan hukuman, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan lainnya, menjadi norma yang sering dibawa ke MK. Setidaknya, sudah ada empat kali diminta menguji UU tersebut, khususnya sejak PP No 99/2012 diberlakukan. Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995 yang menyebutkan ”narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)” menjadi norma yang selalu dipersoalkan.
UU Pemasyarakatan, khususnya terkait dengan klausul mengenai hak-hak narapidana, seperti remisi atau pemotongan hukuman, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan lainnya, menjadi norma yang sering dibawa ke MK.
Dari sejumlah putusan yang dirunut, yaitu untuk nomor perkara 54/PUU-XV/2017, 82/PUU-XV/2017 dan 90/PUU-XVI/2018, MK berpandangan bahwa remisi termasuk hak hukum (legal rights) yang diberikan negara kepada narapidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hak-hak narapidana tersebut, termasuk remisi, bukan tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, bagi MK, jangankan terhadap hak hukum, bahkan hak yang tergolong hak asasi pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan undang-undang.
MK juga menyatakan, pemerintah berwenang mengatur syarat-syarat pemberian remisi melalui instrumen peraturan pemerintah. Bagaimana syarat-syarat tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam PP, MK menyatakan bahwa hal itu di luar yurisdiksi MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskannya.
Meskipun demikian, MK memberikan catatan tentang sebuah aturan yang dapat dikategorikan diskriminatif. Dalam beberapa kali putusannya, MK menyatakan sebuah norma dikatakan mengandung materi/muatan diskriminatif apabila norma UU tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang/kelompok orang dengan sekelompok orang lain semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Namun, menurut MK, rumusan Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995 sudah sangat jelas. Sebab, isinya hanya memuat rincian hak-hak narapidana sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain yang tersurat dalam rumusan tersebut, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif. Pasal itu, secara teknik perundang-undangan pun, telah memenuhi asas kejelasan rumusan ataupun asas kejelasan tujuan. Norma tersebut telah memerinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi pemasyarakatan.
Meskipun sudah ditegaskan beberapa kali di dalam putusannya, hal itu tak menyurutkan upaya untuk menguji kembali norma Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995. Itulah yang saat ini dilakukan oleh Kaligis, yang kembali mempersoalkan pengaturan tentang remisi di dalam PP No 99/2012 diskriminatif.
Politik hukum pemidanaan memang sudah berubah. Pemenjaraan bukan lagi dipandang sebagai upaya untuk balas dendam, melainkan untuk pembinaan. Pemidanaan menjadi upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan untuk tercapainya masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Itulah salah satu dasar mengapa penjara kita kemudian disebut sebagai lembaga pemasyarakatan. Istilah tersebut pertama kali dikenalkan oleh Sahardjo, menteri kehakiman pada zaman Orde Lama, pada 5 Juli 1963 dan dibakukan menjadi pengganti kepenjaraan pada 27 April 1964. Dengan ditandainya penggantian nama tersebut, tujuan pemidanaan dijalankan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Remisi menjadi salah satu instrumen untuk memberikan reward kepada narapidana yang sudah berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan yang dilakukan lembaga pemasyarakatan. Meskipun ukuran berkelakuan baik barulah tidak tercatat di dalam buku register F (catatan pelanggaran) lembaga pemasyarakatan.
Baca Juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Permudah Napi Korupsi Bebas Bersyarat
Yang menjadi persoalan adalah sebagian publik merasa bahwa pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut mencederai rasa keadilan. Apalagi, dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata vonis yang diberikan kepada koruptor hanya 3 tahun (tahun 2020). Padahal, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan hukuman maksimal hingga 20 tahun untuk pelanggaran terhadap Pasal 2 dan Pasal 3, bahkan hukuman seumur hidup untuk korupsi yang dilakukan di masa bencana.
Dalam kondisi ini, menjadi wajar jika publik masih memprotes ketika Kementerian Hukum dan HAM memberikan potongan hukuman kepada terpidana korupsi yang sebelumnya telah dijatuhi hukuman ringan oleh hakim. Lain halnya jika pelaku korupsi telah divonis maksimal, potongan hukuman bagi napi berkelakuan baik barang kali dapat dipertimbangkan.
Namun, semuanya kembali berpulang pada pedang Dewi Keadilan yang kini ada di tangan para wakil Tuhan.