Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memastikan PDI-P dan Presiden Jokowi tak menginginkan jabatan kepala negara ditambah masanya atau bisa diduduki tiga periode. ”PDI Perjuangan sejak awal taat konstitusi,” katanya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menegaskan sikapnya menolak isu yang menyertai wacana amendemen konstitusi, yakni perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Partai pemenang dua kali pemilu itu menegaskan sikapnya mendukung amandemen terbatas terhadap konstitusi hanya untuk mengadakan haluan negara.
Sikap itu diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Sabtu (18/9/2021), di Jakarta. Hasto memastikan PDI-P dan Presiden Joko Widodo tidak menginginkan jabatan kepala negara ditambah masanya atau bisa diduduki tiga periode.
”PDI Perjuangan sejak awal taat pada konstitusi dan Pak Jokowi sudah menegaskan berulang kali. Karena ketika Bapak Jokowi dilantik sebagai presiden, salah satu sumpahnya di jabatan itu menegaskan untuk taat kepada perintah konstitusi dan menjalankan konstitusi dengan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Maka, tidak ada gagasan dari PDI Perjuangan tentang jabatan presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan,” papar Hasto.
Politikus asal Yogyakarta itu menilai konstitusi negara sudah memuat seluruh landasan falsafah kehidupan berbangsa. Di dalamnya diatur tata pemerintahan yang baik agar seluruh sendi-sendi kehidupan dalam mengelola negara tetap mengabdikan diri kepada kepentingan Tanah Air.
Hasto menilai Presiden Jokowi merupakan sosok pemimpin yang merakyat, mampu bekerja dengan baik, berprestasi, dan visioner. Namun, pekerjaan rumah PDI-P disebutnya bukan mengenai sosok, melainkan melanjutkan estafet pembangunan yang akan ditinggalkan Presiden Jokowi kelak.
Hasto mengatakan, partainya ingin meletakkan pembangunan yang dilakukan di era Presiden Jokowi bisa menjadi haluan negara. PDI-P juga mengesampingkan adanya pembahasan calon presiden di internal partai.
Presiden Jokowi merupakan sosok pemimpin yang merakyat, mampu bekerja dengan baik, berprestasi, dan visioner. Namun, pekerjaan rumah PDI-P bukan mengenai sosok, melainkan melanjutkan estafet pembangunan yang akan ditinggalkan Presiden Jokowi kelak.
”Kita punya jejak sejarah pada abad ketujuh, yaitu pembangunan Candi Borobudur. Itu dibangun seratus tahun. Kami pun menginginkan pembangunan negara berkelanjutan. Kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak bisa. Sekarang karena kita tidak punya haluan, maka ganti kepemimpinan, berganti juga kebijakannya,” tutur Hasto.
Hasto menuturkan, partainya saat ini fokus pada kaderisasi dan bekerja untuk rakyat. Ketika tiba waktunya bagi PDI-P untuk menentukan siapa calon presiden atau calon wakil presiden yang diusung, seluruh kader akan menyerahkannya kepada ketua umum, Megawati Soekarnoputri.
Namun, Hasto memastikan partainya tidak akan menjadikan elektabilitas seseorang sebagai alat ukur. Hasto mengingat pesan Megawati bahwa menjadi presiden itu mudah, tetapi menjadi pemimpin yang sangat sulit.
”Untuk menjadi presiden, banyak faktornya. Bagi Bu Mega hal tersebut juga dilakukan dengan kontemplasi, memohon petunjuk Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT. Karena itulah, tradisi itu dijalani Bu Mega. Dalam kongres juga disebutkan itu hak prerogatif Bu Mega sehingga pada waktunya pasti diumumkan calonnya,” ujarnya.
Masih problematik
Gagasan untuk mengadakan kembali haluan negara melalui amandemen konstitusi pun dinilai masih problematik. Sejumlah partai masih berbeda pendapat soal perlunya amandemen konstitusi. Ketua Fraksi Nasdem di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Basari mengatakan, untuk melihat urgensi amandemen UUD 1945 untuk mengatur Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) harus dilihat dalam dua kacamata, yakni proses dan materi.
Dari sisi proses, Fraksi Nasdem masih belum melihat urgensi untuk melakukan amandemen terbatas. ”Memang betul MPR telah melakukan kajian mengenai PPHN ini sejak dari periode yang lalu dan hasilnya sudah ada. Sudah beberapa kali juga dibicarakan dengan beberapa pihak, dengan kampus dengan tokoh-tokoh dan sebagainya. Namun, hasil kajian itu harus diuji publik lebih dulu. Karena uji publiknya belum ada kesimpulan, kami masih melihat amendemen itu belum urgen,” tuturnya.
Taufik mengatakan, amendemen konstitusi itu harus dilakukan dengan legitimasi moral yang kuat. Oleh karenanya, hal itu mesti dilakukan dengan melakukan konsultasi publik yang masif. Pada kenyataannya sekarang amendemen itu belum menjadi diskursus publik sehingga belum tampak urgensinya. Kalaupun konsultasi publik dilakukan saat ini, menurut Taufik, momentumnya juga kurang tepat karena kondisi pandemi.
Adapun mengenai materi amendemen itu sendiri, Taufik mengonfirmasi bahwa di MPR sendiri memang belum pernah ada diskusi soal perpanjangan masa jabatan presiden. ”Soal perpanjangan periode atau masa jabatan itu tidak pernah ada. Kami di dalam MPR tidak pernah membicarakan itu. Yang dibicarakan betul hanya soal PPHN,” ucapnya.
Amendemen konstitusi itu harus dilakukan dengan legitimasi moral yang kuat. Oleh karenanya, hal itu mesti dilakukan dengan melakukan konsultasi publik yang masif. Pada kenyataannya sekarang amendemen itu belum menjadi diskursus publik sehingga belum tampak urgensinya.
Ada dua pendapat yang berkembang terkait dengan upaya membentuk haluan negara ini. Pertama, ada yang setuju agar hal itu dilakukan dengan mengamendemen konstitusi. Kedua, ada yang berpandangan hal itu cukup diatur di dalam UU.
Taufik juga tidak membantah ada kekhawatiran ketika amendemen konstitusi dilakukan akan membuka ”kotak pandora”, atau membuka potensi pasal-pasal lain diubah. Sebab, ketika satu pasal diubah, hal itu akan berdampak pada pasal-pasal lainnya. ”Pasal-pasal di dalam konstitusi itu saling berkait,” ujarnya.
Misalnya, ketika MPR diberi kewenangan membentuk haluan negara, pertanyaan yang muncul ialah apakah hal itu akan menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Bagaimana pula, kata dia, jika dianggap tidak melaksanakan haluan negara itu, apakah bisa dianggap melanggar konstitusi sehingga bisa dimakzulkan.
”Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Badan Pengkajian MPR masih perlu mengkaji supaya pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat ini bisa dijawab,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, salah satu hasil rekomendasi MPR 2014-2019 ialah agar MPR melalui badan pengkajian mengkaji secara mendalam pokok-pokok haluan negara. Kajian itu dilakukan terkait dengan substansi dan bentuk hukumnya.
Di dalam rekomendasi itu juga dijelaskan pokok-pokok haluan negara ini bentuk hukumnya bisa Ketetapan (Tap) MPR, atau juga UU. Bentuk UU ini diusulkan oleh Fraksi Partai Golkar, Demokrat, dan PKS.
Oleh karena itu, Djarot menegaskan, Badan Pengkajian MPR tetap fokus mengkaji secara mendalam substansi dari haluan negara tersebut. Isu yang menyebutkan MPR berupaya memperpanjang masa jabatan presiden dinilai Djarot mengada-ada. Apalagi, ketika spekulasi itu menjadi kian gaduh seusai Ketua MPR Bambang Soesatyo membacakan pidato dalam Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2021, dan Hari Konstitusi, 18 Agustus 2021.
”Isu itu sudah digoreng-goreng sampai gosong, direbus, digoreng, dibolak-balik. Ada yang main akrobat-akrobat begitu, ngerembet ke mana-mana, sampai masa jabatan presiden bisa tidak tiga periode. Sekali lagi, kami tidak pernah mengkaji secara mendalam tentang keberadaan pasal-pasal di luar haluan negara ini,” tuturnya.