Misteri Hari Lahir KPU
KPU tengah mencari hari lahir lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Ada sejumlah opsi yang ditawarkan. Namun, penting pula bagi KPU mencari alasan yang lebih filosofis untuk mencegah nada ”nyinyir” atas niat KPU itu.
Negeri ini telah menggelar 12 kali pemilihan umum yang bersifat nasional, yaitu sejak 1955 hingga 2019, dan tak terhitung lagi pemilu lokal di lebih dari 500 daerah. Ironisnya, lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, hingga saat ini kebingungan untuk memperingati hari lahirnya. Tidak ada selebrasi hari ulang tahun yang dirasakan oleh pimpinan dan pegawai KPU.
Orang bisa berdebat, apa sih pentingnya hari lahir? Bukankah itu hanya seremoni-seremoni yang justru menghambur-hamburkan anggaran? Apalagi kalau dirayakan secara besar-besaran yang melibatkan KPU pusat, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, dana yang dikeluarkan kian membengkak.
Namun, tak adanya hari lahir juga bisa berarti tidak adanya momentum untuk mengingat kembali tujuan awal KPU dibentuk, mengevaluasi perjalanan lembaga penyelenggara pemilihan tersebut apakah masih sesuai koridor ataukah sudah jauh melenceng. Ferry Daud Liando, pengajar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), menilai, perlu alasan yang bersifat lebih filosofis untuk mencegah nada ”nyinyir” terhadap upaya mencari hari lahir KPU.
”Kita perlu mengingat sejarah mengapa KPU dibentuk. Bagaimana kondisi awal negara sebelum KPU ada. Kemudian, juga apa cita-cita awal KPU. Tiap tahun, itu harus kita peringati, kita evaluasi. Kenapa? Karena politik itu sangat dinamis, gampang berubah-ubah. Undang-undang pun gampang diubah. Bisa jadi suatu saat cita-cita awal KPU itu hilang karena lebih banyak didominasi kepentingan politik. Oleh karena itulah, harus ada momentum untuk memeringati KPU, momentum untuk saling mengoreksi apakah KPU hari ini masih sejalan dengan cita-cita ketika dibentuk,” kata Ferry dalam diskusi terfokus ”Mencari Hari Lahir KPU” yang digelar secara daring, Kamis (16/9/2021).
Baca juga: Komisi Pemilihan Umum
Lain lagi dengan sejarawan Anhar Gonggong yang berbicara sebagai narasumber dalam kesempatan yang sama. Ia menarik penetapan hari lahir KPU tersebut lebih jauh, masuk ke dalam jati diri sebagai bangsa yang merdeka. Anhar menegaskan, sejak awal, para founding fathers sudah memikirkan dan memiliki suatu rancang bangun sebuah negara yang demokratis.
”Saya tidak akan berpolemik mengenai tanggal berapa (hari lahir KPU), tapi saya ingin menunjukkan bahwa pemimpin kita itu sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin negara yang baru merdeka lainnya. Pemimpin kita itu, sejak awal memang dalam pikirannya, sudah mau membangun bangsa yang merdeka, mendirikan negara merdeka dengan satu rancang pikir yang demokratis. Itu bisa dilihat dari berbagai perdebatan, juga antara Soekarno dan Hatta,” kata Anhar.
Melaksanakan pemilu memang menjadi mimpi besar para founding fathers sejak awal kemerdekaan. Dikutip dari Ikhtisar Buku: Lahirnya Penyelenggara Pemilu, catatan sejarah menunjukkan, pembahasan mengenai pemilu telah dilakukan sejak sehari setelah Indonesia merdeka, tepatnya saat membahas Pasal IV Ketentuan Peralihan UUD 1945. Cita-cita menggelar pemilu juga ditunjukkan dengan sejumlah maklumat, pernyataan, dan pengaturan seputar pemilu pertama yang disampaikan pemerintah sepanjang tahun 1945 hingga 1946.
Gagalnya BPS
Pada masa awal-awal kemerdekaan, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat sudah mengemuka yang kemudian diatur di dalam regulasi pertama setingkat undang-undang, yaitu UU No 12/1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional Pusat (KNP). KNP saat ini dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. UU tersebut mengatur, KNP yang beranggotakan 200 orang tersebut direkrut dengan tiga pola, yaitu 110 orang melalui pemilu, 60 orang wakil perkumpulan politik, dan 30 orang ditunjuk oleh Presiden.
Untuk melaksanakan pemilihan terhadap 110 anggota KNP itu, pemerintah membentuk Badan Pembaruan Susunan (BPS). Selain itu, BPS bertugas untuk mengadministrasikan 60 anggota KNP yang merupakan perwakilan perkumpulan politik dan 30 orang hasil penunjukan presiden.
BPS pusat beranggotakan 11 orang, kemudian membentuk cabang di 33 daerah di Indonesia setingkat karesidenan dan provinsi. Organisasi BPS ini didukung oleh sekretariat yang disebut sebagai Kantor Pusat Pemilihan (KPP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1946.
Dengan dukungan anggaran yang ada, BPS telah berupaya melaksanakan tugas sesuai UU No 12/1946 menyelenggarakan pemilu. Formulir model B-F termasuk di dalamnya surat suara, sudah dicetak. Namun, kondisi keamanan nasional dan dinamika perekonomian belum memungkinkan pemilu KNP dilaksanakan.
Melihat kondisi ini, pemerintah menerbitkan peraturan presiden untuk menyempurnakan susunan KNP pusat dengan menambah jumlah anggota menjadi 561 orang. Pembaruan KNP dilakukan berdasarkan pengusulan dari partai politik dan golongan besar.
Tugas melaksanakan pemilu kemudian diserahkan kepada KPP yang keberadaannya sebenarnya merupakan kelanjutan dari BPS yang gagal menggelar pemilu perdana. Melalui Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1949, sekretariat BPS dialihkan menjadi sekretariat KPP serta seluruh pegawai dan aset BPS menjadi pegawai dan aset KPP. KPP pun gagal menyelenggarakan pemilu.
Pemilu nasional pertama baru digelar oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang juga merupakan penyelenggara Pemilu 1955. Ketika itu, pemilu dilakukan untuk memilih DPR dan konstituante. Selanjutnya, pemilu nasional berikutnya dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang menyelenggarakan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. LPU menempati kantor di Jalan Imam Bonjol 29, Jakarta, sejak 1982 hingga saat ini.
Setelah amendemen ketiga UUD 1945 yang memerintahkan dibentuknya KPU yang independen, mandiri, dan bersifat nasional, Pemilu 2004 hingga kini diselenggarakan oleh KPU.
Salah satu komisioner KPU, Viryan Azis, yang mempelajari tentang sejarah pemilu dan penyelenggara pemilu secara mendalam, mengungkapkan, ada perdebatan apakah BPS dapat dimasukkan sebagai lembaga penyelenggara pemilu ataukah tidak karena tidak ada pemilihan yang berhasil diselenggarakan.
Baca juga: Pemilu 1955, Pembelajaran dari Era Partai Ideologis
Tak ada pemilu pada 1946. Namun, apabila merujuk pada regulasi (UU No 12/1946 yang mengamanatkan dilaksanakannya pemilu), kelembagaan, dan pekerjaannya, Viryan sepakat untuk memasukkan BPS yang anggotanya dilantik pada 16 September 1946 sebagai penyelenggara pemilu pertama.
BPS, menurut Viryan, ketika itu pun sudah memikirkan hal-hal teknis pemilu, seperti mekanisme pemilihan, penentuan daerah pemilihan yang didasarkan pada data cacah jiwa tahun 1930, termasuk pembuatan formulir-formulir yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemungutan suara. Hanya saja, pemilu gagal dilaksanakan karena situasi keamanan yang tidak kondusif pada saat itu.
Begitu pula dengan KPP yang gagal melaksanakan pemilu, tetapi menjadi tonggak cikal bakal PPI, penyelenggara pemilu pertama tahun 1955. Keberadaan KPP pun secara tegas disebutkan di dalam Pasal 138 UU No 7/1953 tentang Badan Penyelenggara Pemilu sebelum PPI.
Mengenai dimasukkannya BPS sebagai penyelenggara pemilu pertama, Ferry Liando tak sependapat. Menurut dia, BPS merupakan perangkat pemerintah untuk mengisi kekosongan KNP. Menurut dia, BPS hanyalah pelaksana teknis pengisian kekosongan (semacam PAW), merupakan subordinat pemerintah, dan belum terinstitusionalisasi dengan baik. Hal tersebut berbeda dengan teori bahwa penyelenggara pemilu yang baik haruslah memegang prinsip independen dan mandiri.
Lantas, kapan waktu yang cocok sebagai hari lahir KPU?
Ferry Liando mengusulkan beberapa alternatif, yaitu pertama, saat KPU dikonstitusionalisasi sejak perubahan ketiga UUD 1945 diundangkan pada 9 November 2001. Opsi kedua, sejak UU Pemilu diundangkan 19 April 2007. Adapun opsi ketiga, sejak surat keputusan pengangkatan anggota KPU pertama diterbitkan. Opsi terakhir, dilantiknya anggota KPU pertama.
”Jadi, rujukannya setelah dikonstitusionalisasikan. Bukan berarti tidak menghormati sejarah. Tapi, kita juga harus memperhatikan KPU pertama itu yang mana. Penyelenggara yang betul-betul penyelenggara itu mulai kapan? Kalau saya, setelah UUD 1945 diamendemen untuk ketiga kalinya. Kalau sebelum-sebelumnya, mereka hanya perangkat-perangkat pemerintah. Bayangkan dulu, ketua penyelenggaranya adalah gubernur atau mendagri. Kan, tidak masuk akal,” kata Ferry.
Jangan tinggalkan sejarah
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Valina Singka Subekti mengingatkan pentingnya pendekatan hakiki atau makna dalam menentukan hari lahir KPU.
Bisa saja hari lahir KPU ditentukan dengan pendekatan letterlejk (harfiah) kapan istilah KPU digunakan, tetapi hal tersebut akan menghilangkan jejak sejarah. Sebab, jika membaca sejarah, keinginan untuk menyelenggarakan pemilu sudah ada sejak dikeluarkannya Maklumat X tahun 1945 oleh Bung Hatta yang ingin mendirikan partai politik. Tujuan pendirian parpol adalah untuk menyelenggarakan pemilu yang diagendakan pada 1946.
”Tampaknya BPS dipersiapkan untuk menjadi penyelenggara pemilu yang modern. Sekarang tinggal bagaimana meletakkannya. Tetapi, ini bagian dari sejarah perjalanan demokrasi kita. Tidak bisa dipisahkan dengan penyelenggara pemilu. Saya sepakat penetapan hari lahir KPU harus dilakukan dengan semangat untuk meluruskan sejarah,” kata anggota KPU periode 2004-2007 ini.
Pilihan menetapkan hari lahir KPU, apakah pada 1946 ataukah 1955 (ketika pemilu nasional pertama benar-benar dilaksanakan), bagi Anhar Gonggong, diserahkan pada KPU. Jika melihat perwujudannya, maka tahun 1955 merupakan pilihan yang tepat. Namun, apabila landasan berpikir pelaksanaan pemilu, hal itu sudah ada sejak 1946. ”Terserah Anda mau pilih yang mana,” katanya.
Namun, Anhar menolak tegas jika landasan pemilu diletakkan setelah amendemen ketiga UUD 1945 di mana penyebutan KPU secara harfiah dilakukan pertama kali.
”Saya tahu bahwa dalam amendemen disebutkan nama KPU. Oke. Tapi, konteksnya berbeda. Saya merasa bahwa konteks pemikiran bahwa negara ini akan dibangun sebagai negara modern dan demokratis adanya pada tahun 1946. Bukan pada tahun amendemen,” kata Anhar.
Baca juga: Rekam Jejak Surat Suara Pemilu
Terlepas dari kapan penetapan hari lahir KPU, keberadaannya memang penting sebagai titik di mana semua pihak memikir ulang, mengevaluasi penyelenggaraan pemilu yang telah berjalan. Termasuk, untuk menjawab mengapa pemilu sudah berkali-kali dilaksanakan, tetapi belum bisa optimal dalam mewujudkan suatu pemilihan yang jujur dan adil.
Atau minimal momen ketika KPU bisa memotong tumpeng memperingati hari lahirnya di bumi Nusantara.