Opsi untuk memundurkan tahapan Pemilu 2024 masih memungkinkan untuk dilakukan oleh KPU. Namun, hal ini harus diikuti dengan cepatnya penyelesaian sengketa pemilu agar tahapan Pilkada Serentak 2024 tak terganggu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih terbuka peluang dan potensi bagi Komisi Pemilihan Umum memundurkan tahapan Pemilu 2024. Usulan pemerintah untuk mengadakan pemilu pada April atau Mei 2024 dinilai masih rasional dilakukan sepanjang ada upaya untuk juga mengatasi kepadatan dalam sengketa hasil pemilu yang biasanya memerlukan waktu.
Sebelumnya, dalam rapat kerja (raker) Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan penyelenggara pemilu, Kamis (16/9/201), di Jakarta, belum dicapai kesepakatan mengenai tanggal penyelenggaraan Pemilu 2024. Sesuai hasil rapat tim kerja bersama pimpinan Komisi II dengan perwakilan kelompok fraksi, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, KPU mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan 21 Februari 2024. Adapun pemungutan suara Pilkada 2024 dilakukan 27 November 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, pemerintah mengusulkan hari pemungutan suara mundur menjadi 24 April, 8 Mei, atau 15 Mei. Pemilu di tiga alternatif waktu itu, menurut Tito, menghindari risiko suasana politik memanas lebih awal di 2022 karena tahapan akan dimulai pada 2023. Hal ini memberikan kesempatan bagi pemerintah fokus menangani pandemi dan memulihkan ekonomi nasional di 2022 sebelum menghadapi tahapan pemilu di 2023 dan 2024.
Dengan Pemilu 2024 diadakan pada April atau Mei dan dengan mengecualikan lima bulan tahapan prapemilu yang diusulkan KPU, masa tahapan Pemilu 2024 menjadi sekitar 20 bulan. Panjang tahapan ini masih sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 176 Ayat (4) UU Pemilu mengatur tahapan Pemilu dimulai setidak-tidaknya 18 bulan sebelum pemungutan suara. Sebelumnya, KPU mengusulkan tahapan pemilu 25 bulan karena pemilu dilakukan di tahun yang sama dengan pilkada serentak.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz, Jumat (17/9/2021), di Jakarta, mengatakan, opsi memundurkan tahapan pemilu itu masih memungkinkan untuk dilakukan oleh KPU. Artinya, masa tahapan pemilu sama dengan Pemilu 2019. Bedanya, kini akan ada Pilkada 2024.
”Selama ini kekhawatirannya ada banyak persoalan terkait dengan sengketa hasil pemilu, sementara hasil pemilu itu akan dipakai untuk menentukan pencalonan kepala daerah 2024. Artinya, dibutuhkan segera hasil pemilu yang final dan mengikat. Sepanjang hasil final itu bisa cepat diketahui, penyelenggaraan Pilkada 2024 tidak akan terganggu, serta jeda waktu antara Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 mencukupi, termasuk untuk menyediakan waktu bagi pemilu presiden putaran kedua,” kata August.
Untuk bisa mendapatkan hasil pemilu yang final dan mengikat itu, proses sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) harus cepat diselesaikan. Pengalaman Pemilu 2019, sengketa itu kerap kali berlarut-larut sehingga hasil yang final dan mengikat tidak kunjung diperoleh. Jika kondisi itu terulang pada Pemilu 2024, kendala itu dikhawatirkan akan menyebabkan persoalan dalam menentukan hasil pemilu yang akan dijadikan dasar dalam menentukan pencalonan kepala daerah 2024.
Menurut August, untuk mengantisipasi hal itu, upaya konsultasi perlu dilakukan antara pemerintah dan Komisi II DPR, termasuk penyelenggara pemilu dengan unsur yudikatif.
”Sifatnya konsultasi, bukan mengintervensi yudikatif. Sebab, yang akan dibangun kesepahaman mengenai tahapan pemilu sehingga hasil pemilu bisa cepat final dan mengikat. Jangan sampai terulang seperti pengalaman Pemilu 2019, di mana hasil itu digugat berkali-kali dan tidak segera final,” ucapnya.
Soal kesepahaman hasil pemilu yang final ini, Tito dalam raker dengan Komisi II dan penyelenggara pemilu juga mengemukakan hal senada. Menurut dia, perlu ada solusi agar proses di MK dan PTUN serta MA tidak berulang sehingga tidak selesai-selesai.
”Misalnya, sudah pemungutan suara ulang (PSU), tetapi digugat lagi sehingga tidak segera ada hasil final. Kejadian ini seperti ditemui di Boven Digul, Yalimo, dan Kalimantan Selatan. Tanpa bermaksud mengurangi hak konstitusional warga, tetapi perlu dicarikan cara yang cepat, murah, dan efisien untuk menemukan pemimpin yang memiliki legitimasi,” kata Tito.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan, pimpinan Komisi II perlu berkoordinasi mengundang lembaga-lembaga pengadilan, baik yang sifatnya administratif maupun pidana, supaya ada kesepahaman mengenai persoalan penyelesaian sengketa. ”Supaya ada kompabilitas dengan pemilihan yang berkala dan ajek,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Syamsurizal mengatakan, penyediaan waktu untuk sengketa pemilu perlu dipertimbangkan oleh KPU.
”Patut dipikirkan agar penyelesaian sengketa hasil pemilu itu tidak melebihi batas waktu yang kita harapkan. Sebab, kalau waktunya terlalu mepet, parpol juga akan kesulitan untuk menentukan calon kepala daerah yang baik dan sesuai harapan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, beberapa faktor menimbulkan panjangnya masa tahapan pemilu. Salah satunya ialah karena beberapa aturan mengenai tahapan itu diatur terlalu detail di UU Pemilu. Hal ini membuatkan penyelenggara pemilu tidak dapat berkutik dalam menentukan panjang masa tahapan.
Sebagai contoh, UU Pemilu mengatur pendaftaran parpol dilakukan 14 bulan sebelum hari pemungutan suara, pendaftaran calon anggota legislatif sembilan bulan sebelum pemungutan suara, dan pendaftaran calon presiden delapan bulan sebelum pemungutan suara. Batasan waktu yang disebutkan secara eksplisit itu membuat mau tidak mau tahapan pemilu akan panjang.
”Ketika ada keinginan untuk memperpendek tahapan, hal itu sulit dilakukan karena sudah dikunci di UU. Ke depannya, hal ini semestinya menjadi pertimbangan dalam revisi atau perbaikan UU Pemilu. Misalnya, apakah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) sehingga ada ruang gerak bagi KPU menentukan tahapan,” katanya.