Kehadiran kapal-kapal perang China, termasuk kapal perusak Kunming-172, di Laut Natuna Utara perlu dilihat sebagai eskalasi dari aktivitas Angkatan Laut AS dan sekutunya di Laut China Selatan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran kapal perang China di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, diperkirakan akan berkepanjangan karena menjadi bentuk penegasan China atas klaimnya di Laut China Selatan.
Di tengah kontestasi regional, pemerintah perlu menjamin rasa aman nelayan di Laut Natuna Utara yang merupakan zona ekonomi eksklusif RI di mana Indonesia berhak mengeksploitasi sumber daya alamnya.
Hal ini disampaikan guru besar hubungan internasional Hikmahanto Juwana saat dihubungi, Jumat (17/9/2021), terkait kehadiran kapal-kapal perang China di Laut Natuna Utara, beberapa hari lalu.
Hikmahanto menggarisbawahi, wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) merupakan laut lepas. Kapal asal Amerika Serikat juga sering lewat. Kapal milik TNI AL juga kerap berada di ZEE untuk menegakkan hukum terhadap pencurian ikan, bukan mempertahankan kedaulatan. ”Idealnya Bakamla hadir untuk memberi rasa aman kepada para nelayan kita,” kata Hikmahanto.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengakui keterbatasan Bakamla untuk selalu hadir 24 jam, tujuh hari dalam seminggu, di laut-laut Indonesia. Ia mengonfirmasi keterangan nelayan Natuna bahwa pada saat para nelayan berpapasan dengan kapal perang China, tidak ada kapal Bakamla ataupun TNI AL.
Sebelumnya, dalam rapat Bakamla dengan Komisi I DPR, 13 September 2021 lalu, Sekretaris Utama Bakamla S Irawan mengatakan, kondisi sarana-prasarana Bakamla masih jauh dari ideal karena baru tersedia 10 kapal patroli berbagai jenis yang tentu tidak mencukupi untuk mengamankan seluruh wilayah Indonesia.
Selain kapal patroli, Bakamla membutuhkan pengamatan udara, seperti pesawat dan drone. Pengamatan udara ini penting untuk melakukan identifikasi terhadap setiap kontak permukaan dalam rangka mengoptimalkan penggunaan kapal patroli. Ini dibutuhkan untuk menerapkan strategi fleet in being atau armada siaga Bakamla dalam mengamankan wilayah prioritas, salah satunya di Laut Natuna Utara.
Antisipasi eskalasi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Muhamad Arif, mengatakan, kehadiran kapal-kapal perang China, termasuk kapal perusak Kunming-172, perlu dilihat sebagai eskalasi dari aktivitas Angkatan Laut AS dan sekutunya di Laut China Selatan.
Ia mencontohkan, ada kapal induk USS Carl Vinson yang digelar AS dilengkapi dengan pesawat tempur F35 dan Osprey paling canggih. ”Jadi, secara umum ada eskalasi yang perlu diantisipasi Indonesia,” kata Arif.
Arif juga melihat ada konsistensi dari peningkatan pendekatan strategi wilayah abu-abu yang dilakukan China. Tadinya menggunakan kapal-kapal penjaga pantai, kini China tidak segan-segan memanjat tangga eskalasi jika merasa terancam. Hal ini perlu diantisipasi Indonesia.
Untuk mengantisipasi eskalasi yang terjadi, Aan Kurnia mengatakan, simbol-simbol negara memang harus hadir. Namun, untuk menjaga hak berdaulat tidak cukup hanya dengan simbol-simbol dan diplomasi, tetapi juga aktivitas ekonomi yang nyata. ”Bakamla akan mengajukan konsep tentang nelayan nasional Indonesia. Mereka tugasnya mencari ikan, tetapi sudah ikut bela negara dan ada gaji oleh negara. Aktivitas mereka di daerah abu-abu Natuna,” kata Aan.