Musim Paradoks Kebebasan Berekspresi di Negara Demokrasi
Penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada pengkritik Presiden Joko Widodo terus berulang dalam dua bulan terakhir. Padahal, Presiden Jokowi selalu menegaskan bahwa dirinya tidak antikritik.
Presiden Joko Widodo menggunggah foto di akun media sosial Instagram, Facebook, dan Twitter saat bertemu Suroto, peternak ayam petelur dari Blitar, Jawa Timur, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/9/2021). Selain Suroto, Presiden juga mengundang beberapa perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur untuk mendengarkan langsung keluhan-keluhan yang mereka alami agar segera diselesaikan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan.
”Saya tak melihatnya secara langsung, tapi membaca berita tentang Pak Suroto, seorang peternak ayam petelur yang mengeluhkan masalah ’harga jagung yang cenderung naik dan harga telur yang sangat rendah’,” tulisnya di akun Instagram @jokowi.
Sebenarnya tidak perlu tindakan seperti ini (penangkapan) dilakukan, makanya Presiden tadi menunjukkan semacam koreksi, monitoring, dan evaluasi terhadap kerja aparat sampai di bawah.
Perlakuan Jokowi kepada Suroto ini bertolak belakang 180 derajat dengan aparat kepolisian seminggu sebelumnya. Saat kunjungan kerja Presiden ke Blitar (7/9), Suroto yang membentangkan poster bertuliskan ”Pak Jokowi bantu peternak beli jagung dengan harga wajar” justru ditangkap aparat. Perebutan poster dilanjutkan dengan penangkapan peternak itu dilakukan sesaat setelah rombongan Presiden melintas.
”Sebenarnya tidak perlu tindakan seperti ini (penangkapan) dilakukan, makanya Presiden tadi menunjukkan semacam koreksi, monitoring, dan evaluasi terhadap kerja aparat sampai di bawah,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Spanduk Protes Dilarang, Pemerintah Antikritik?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (15/9/2021) malam.
Baca juga : Setelah Membentangkan Poster di Tengah Jalan Saat Presiden Jokowi Lewat...
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir di studio Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno serta, lewat telekonferensi, politisi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati.
Tindakan Jokowi memanggil pengkritiknya ke Istana Negara itu, lanjut Fadjroel, diartikan bahwa Presiden ingin menunjukkan keteladanan kepada semua aparat hingga tingkat paling bawah dalam menangani kritik. Pengkritik semestinya dipanggil untuk diajak berdialog, bukan sebaliknya dengan melakukan penangkapan yang bisa berakibat pada pandangan publik terhadap aparat yang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat.
Namun, tindakan aparat kepada pengkritik ini justru bertolak belakang dengan sejumlah pernyataan Presiden Jokowi. Salah satunya saat Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI, Senin (8/2), Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
”Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi mala-administrasi. Dan, para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan,” kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI.
Baca juga: Peternak Ayam Blitar Tunggu Realisasi Janji Presiden
Dalam catatan Kompas, tindakan-tindakan aparat yang bertolak belakang dengan sikap dan pernyataan Jokowi kerap terjadi dalam dua bulan terakhir. Enam hari seusai kejadian di Blitar, aparat kembali melakukan penangkapan terhadap mahasiswa yang membentangkan poster saat kunjungan Presiden ke Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Senin (13/9).
Mahasiswa itu membentangkan poster di sejumlah titik menuju gerbang UNS sesaat sebelum rombongan Presiden Jokowi melintas di Jalan Ir Sutami. Poster yang dibentangkan, antara lain, ialah bertuliskan ”Pak tolong benahi KPK” dan ”Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu”.
Tak hanya soal poster, pada Agustus lalu, aparat juga menghapus mural di Kota Tangerang, Banten, bergambar wajah orang yang pada bagian mata ditutupi tulisan ”404: Not Found”. Selain menghapus mural, aparat pun sempat mencari pembuat mural tersebut meskipun pada akhirnya perburuan itu dihentikan. Peristiwa itu bahkan sempat menarik perhatian warganet dan membuat kata Jokowi404NotFound menjadi populer di Twitter.
Presiden Jokowi sangat tegas menyatakan tidak antikritik. Bahkan, kritik dianggapnya sebagai jantung dari demokrasi karena menjadi satu kesatuan penting selain dialog.
”Dalam kasus mural sudah diingatkan oleh Presiden, jangan reaktif, jangan reaktif, jangan reaktif. Dialog, dialog, dialog. Jadi, menurut saya, pesannya sudah jelas. Jangan reaktif karena mereka dilindungi oleh UUD 1945 dan UU, lakukan dialog dengan mereka. Jangan sampai pemerintah kemudian dianggap melakukan tindakan represif,” kata Fadjroel.
Menurut dia, Presiden Jokowi sangat tegas menyatakan tidak antikritik. Bahkan, kritik dianggapnya sebagai jantung dari demokrasi karena menjadi satu kesatuan penting selain dialog. Apalagi, kritik dan penyampaian pendapat dilindungi oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
”Jangan takut mengkritik, jangan takut berunjuk rasa, karena Presiden Jokowi tegak lurus pada konstitusi, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Baca juga : Kau Hapus, Mural Pun Kubuat Kembali
Namun, menurut Mardani, cara Presiden menangani pengkritik dengan memanggilnya berdialog ke Istana Negara belum menyelesaikan akar masalah dan cenderung mengarah pada pencitraan. Sebab, langkah Presiden ini tidak menjamin penangkapan terhadap pengkritik tidak berulang.
Presiden, lanjutnya, mestinya membenahi masalah di aparat penegak hukum agar bisa menjaga iklim demokrasi. Dengan demikian, masyarakat yang memberikan kritik tidak ketakutan setelah melakukan aksinya dengan nyaman. ”Kalau itu terjadi, itu warisan yang sangat mahal dari Jokowi untuk kita semua,” ucapnya.
Menurut Asfinawati, ada kecenderungan seakan-akan masyarakat tidak bisa mengkritik Presiden Jokowi. Itu karena dalam beberapa kasus, pengkritik sering kali ditangkap oleh aparat. Padahal, tidak semua narasi yang disuarakan oleh masyarakat yang ditangkap itu adalah kritik, tetapi permintaan tolong rakyat kepada presidennya akibat kondisi yang dialami.
”Kalau diundang ke Istana ada langkah maju, pengakuan bahwa ada kesalahan sebelumnya. Tapi tidak cukup dengan itu, yang paling penting adalah kebijakan,” katanya.
Ia mengingatkan, perbedaan besar iklim demokrasi pada era Orde Baru dan non-Orde Baru adalah kebebasan menyampakan pendapat. Tindakan represif tidak boleh dilakukan jika era Presiden Jokowi tidak ingin dianggap seperti Orde Baru. Oleh sebab itu, Presiden sangat penting menjaga iklim kebebasan berpendapat agar bisa tetap terjaga di negara demokrasi.
”Polisi tergantung atasannya. Artinya, perintah atasan itu penting bagi polisi dan Presdien punya wewenang langsung untuk memerintah bagaimana kultur penegakan hukum dan kebebasan sipil demokrasi bisa hidup di Indonesia,” ujar Asfinawati.
Baca juga : Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun
Adi menilai, tindakan yang dilakukan oleh Jokowi dengan mengundang pengkritik ke Istana Negara seakan menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap demokrasi. Namun, itu dinilai tidak cukup karena tindakan represif yang dilakukan oleh aparat beberapa waktu terakhir telah melukai demokrasi.
Kondisi ini pun tecermin dalam survei yang dilakukan oleh Parameter Politik pada Juni lalu yang menunjukkan sekitar 45 persen publik menilai kualitas demokrasi Indonesia menurun. Rata-rata ukurannya adalah ketakutan masyarakat memberikan kritik kepada pemerintah karena tidak ada jaminan bahwa pengkritik aman dari ancaman penangkapan dan pelaporan kepada polisi.
Tindakan yang dilakukan oleh Jokowi dengan mengundang pengkritik ke Istana Negara seakan menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap demokrasi. Namun, itu dinilai tidak cukup karena tindakan represif yang dilakukan oleh aparat beberapa waktu terakhir telah melukai demokrasi.
Menurut dia, Presiden mesti mengevaluasi kinerja kepolisian yang dinilainya gagal melakukan reformasi karena pola-pola dalam menangani pengkritik cenderung tidak dialogis. Beberapa kali pengkritik justru ditangkap meskipun pada akhirnya dilepaskan. Padahal, Presiden Jokowi berulang kali menyatakan dirinya tidak antikritik.
”Sikap-sikap seperti itu paradoks dengan apa yang ingin disampaikan Jokowi. Jangan-jangan bukan hanya reformasi kepolisian yang gagal, jangan-jangan kepolisian tidak pernah mendengar pidato Presiden di mana-mana yang selalu bilang dirinya tidak antikritik,” ujar Adi.