Komnas HAM Berharap Presiden Tak Lepas Tangan soal Nasib 56 Pegawai KPK
Komnas HAM berharap Presiden Jokowi bersikap soal nasib pegawai KPK. ”Sesuai undang-undang, tak bisa lepas tangan karena itu bagian dari tanggung jawab Presiden secara hukum,” ujar komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diminta tidak lepas tangan terhadap persoalan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Presiden selaku pembina kepegawaian paling tinggi di negeri ini perlu turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah TWK sebab salah satu masalah utamanya juga terkait kepegawaian.
”Sesuai undang-undang, tidak bisa lepas tangan karena itu bagian dari tanggung jawab Presiden secara hukum,” ujar komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (17/9/2021).
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan jajaran pemimpin redaksi sejumlah media, Presiden Jokowi mengatakan tidak akan turun tangan menyelesaikan polemik ini karena menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ia enggan menjawab pertanyaan mengenai nasib 56 pegawai KPK yang dipecat setelah tidak lolos TWK.
Menurut Jokowi, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (16/9/2021), pihak yang berwenang untuk menjawab persoalan alih status pegawai KPK adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Oleh karena itu, ia tak ingin segala persoalan selalu dilimpahkan atau ditarik-tarik ke dirinya.
”Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang berjalan,” kata Jokowi, Rabu (15/9), kepada sejumlah pemimpin redaksi di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sebelumnya, KPK secara resmi memberhentikan 56 dari 75 pegawainya yang tidak lolos TWK dalam proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pemberhentian tersebut akan berlaku per 30 September mendatang. Saat memaparkan keputusan memberhentikan 50 pegawai KPK, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan, keputusan itu sesuai dengan putusan MK dan MA.
Salah satu pegawai KPK yang tidak lolos TWK, Yudi Purnowo, yang juga Ketua Wadah Pegawai KPK, mengaku hingga kini dirinya belum menerima surat keputusan pemberhentian sebagai pegawai KPK. Namun, berdasarkan informasi, sebagian dari 56 pegawai tersebut telah menerima surat pemberhentian yang ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Choirul Anam mengungkapkan, pihaknya akan menyampaikan rekomendasi Komnas HAM terkait adanya 11 bentuk pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK kepada Presiden. Presiden dinilai menjadi lembaga dengan kewenangan yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hanya Presiden yang secara hukum tepat melaksanakan rekomendasi Komnas HAM.
”Dimensi hukum inilah yang penting dan utama untuk dipahami dalam tata kelola dan sopan santun penyelenggaraan negara, khususnya negara yang berdasarkan hukum sesuai konstitusi,” kata Anam.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, Presiden masih berwenang dan bisa mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan TWK. Temuan dan rekomendasi Komnas HAM tetap dapat dijadikan batu pijakan untuk langkah tersebut.
Komnas HAM sepakat putusan MK dan MA harus dihormati. Namun, jika disandingkan dengan temuan faktual Komnas HAM ataupun rekomendasinya, ketiganya secara hukum berbeda dan tak bisa disandingkan. Bahkan, putusan MK dan MA sama sekali tak berhubungan dengan rekomendasi Komnas HAM.
Temuan dan rekomendasi Komnas HAM juga tidak terpengaruh oleh kedua putusan tersebut. Sebab, sejak awal, Komnas HAM tidak mempersoalkan norma terkait alih status. Putusan MA dan MK juga sama sekali tidak menyentuh temuan faktual Komnas HAM beserta rekomendasinya, serta tidak menjadi bahan pertimbangan dalam putusan badan peradilan tersebut.
Sebelumnya, MK menolak permohonan uji materi UU KPK yang disampaikan Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Muh Yusuf Sahide. Salah satu yang dipersoalkan oleh Sahide adalah norma alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diatur di dalam Pasal 69 B Ayat (1) dan Pasal 69C dikaitkan dengan penggunaan TWK sebagai dasar untuk menentukan seseorang layak diangkat sebagai ASN atau tidak.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan persoalan adanya sejumlah pegawai yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Norma alih status pegawai KPK menjadi ASN konstitusional dan tidak diskriminatif seperti yang didalilkan oleh pemohon.
Sementara itu, MA menolak permohonan uji materi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Peraturan KPK tersebut dinyatakan tidak bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya sehingga tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa desain alih status pegawai KPK menjadi ASN secara substansi sudah sesuai dengan UU No 5/2014 tentang ASN dan aturan pelaksanaannya. Salah satu cara yang diterima sebagai ukuran obyektif untuk pengisian jabatan itu adalah tes wawasan kebangsaan (TWK). Sebab, TWK juga dipakai sebagai syarat seleksi dan pengembangan karier ASN (Kompas.id, 9/9/2021).
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mempertanyakan sikap Presiden yang tidak berkenan untuk mengambil alih dan terjun langsung menyelesaikan persoalan TWK pegawai KPK. Ia membandingkan sikap Jokowi yang menerima 15 orang perwakilan peternak di Istana Negara pada Rabu (15/9) untuk mendengarkan keluh kesah atas kendala yang mereka hadapi.
”Apakah TWK tidak kalah penting dengan persoalan itu. Dibandingkan persoalan peternak, ini sama-sama urgen. Dan, semua menjadi tanggung jawab Presiden,” kata Boyamin.
Boyamin tidak setuju dengan upaya hukum berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemungkinan akan dilakukan oleh ke-56 pegawai KPK yang diberhentikan oleh KPK. Menurut dia, langkah tersebut hanya merupakan akan buang-buang tenaga, waktu, dan pikiran. Sebab, putusan PTUN jika tidak diikuti pun tidak memiliki konsekuensi apa-apa.
UU PTUN mengatur bahwa apabila terdapat putusan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tidak diikuti oleh pejabat TUN terkait, ketua pengadilan dapat mengajukan ketidakpatuhan tersebut ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan.