Insiden Kapal China di Natuna Utara, Hak Berdaulat di ZEE Terusik
Pemerintah RI perlu meminta penjelasan China terkait kehadiran kapal perusak dan lima kapal lain milik China di Zona Ekonomi Eksklusif RI, di Laut Natuna Utara. Patroli perlu ditingkatkan untuk menjaga hak berdaulat RI.
Oleh
PANDU WIYOGA/EDNA C Pattisina/Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran kapal perusak China, Kunming-172, di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, di Laut Natuna Utara, Senin (13/9/2021), dinilai sebagai ancaman terhadap hak berdaulat RI. Ini karena perilaku kapal perang itu terlihat intimidatif. Ditambah lagi, kehadirannya telah membuat resah nelayan Natuna. Karena itu, Pemerintah RI perlu meminta penjelasan dari China selain meningkatkan pengawasan di Natuna Utara.
Seperti diberitakan Kompas, Kamis (16/9/2021), pada Senin lalu, sekelompok nelayan Natuna melaporkan bertemu enam kapal China, salah satunya kapal perusak Kunming-172, pada koordinat 6.17237 Lintang Utara dan 109.01578 Bujur Timur di Laut Natuna Utara yang masih berada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Dalam video yang beredar, terdengar pula para nelayan mengomentari helikopter yang terbang rendah dekat kapal di posisi paling depan.
Di wilayah ZEE, negara pantai pemilik ZEE memiliki hak mengolah sumber daya alam atau disebut hak berdaulat. Adapun kapal-kapal asing tetap bisa melintas atau disebut hak lintas damai.
Akan tetapi, menurut Ketua Centre for Chinese Studies-Indonesia Rene L Pattiradjawane, intensi damai tak terlihat dari kapal-kapal China itu jika melihat dari foto dan video yang beredar. ”Kalau dilihat dari foto dan video, meriam di kapal China tidak disarungkan. Ini menunjukkan ada semacam intimidasi yang hendak disampaikan,” kata Rene, Kamis.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah diplomatis yang tegas. Langkah itu, misalnya, dengan memanggil Duta Besar China untuk Indonesia guna memberikan penjelasan terkait perilaku kapal-kapal China itu. ”Kemenhan (Kementerian Pertahanan) juga perlu meningkatkan level kewaspadaannya. Tindakan China ini adalah ancaman terhadap hak berdaulat Indonesia di ZEE,” ucapnya.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, bukan hanya kali ini nelayan bertemu kapal perang China. Sekitar satu bulan lalu, nelayan juga bertemu kapal perang China lain dengan nomor lambung 171. ”Kami takut karena sehari-hari kerja kami di laut itu,” ujarnya.
Catatan Kompas, akhir Agustus lalu, kapal survei China, Haiyang Dizhi-10, juga berulang terpantau satelit melintas zig-zag di Laut Natuna Utara dengan dikawal sejumlah kapal penjaga pantai China. Pihak Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 9 September lalu menduga, peningkatan aktivitas kapal-kapal China itu dipicu memanasnya tensi antara China dan Amerika Serikat di Laut China Selatan.
Sudah tak terlihat
Menyikapi laporan kehadiran enam kapal China di Laut Natuna Utara, Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono mengatakan, dari pantauan TNI AL pada Rabu (15/9/2021) dan Kamis, tak terlihat ada kapal-kapal perang di daerah yang disebutkan nelayan. Tak ditemukan pula kapal-kapal ikan asing pencari ikan di ZEE Indonesia.
Meski demikian, Komando Armada (Koarmada) I TNI AL telah menyiagakan lima kapal perang dan satu pesawat udara untuk berpatroli di Laut Natuna Utara.
”Dari lima KRI, kami atur sedemikian rupa sehingga bisa selalu ada tiga atau empat KRI yang siaga di laut. Dengan begitu, kami dapat memantau kapal-kapal yang kemungkinan akan memasuki perairan Indonesia,” ujar Panglima Koarmada I TNI AL Laksamana Muda Arsyad Abdullah.
Kelima kapal perang tersebut akan menjaga wilayah kedaulatan RI di laut teritorial atau perairan hingga 12 mil dari garis pangkal. Namun, tak tertutup kemungkinan kapal perang Indonesia akan ditugaskan untuk berpatroli sampai ZEE guna memastikan hak berdaulat RI tak terusik.
”Apabila ada kapal (asing) yang melaksanakan eksplorasi atau eksploitasi, harus kami tindak lanjuti,” ujarnya.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Teuku Faizasyah, mengatakan, Kemenlu masih menunggu penjelasan dari lembaga terkait, seperti Bakamla, sebelum membahas langkah yang akan diambil.
Pakar kemaritiman Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, secara terpisah, mengatakan, permintaan penjelasan dari China mengenai kehadiran kapal perangnya di ZEE Indonesia merupakan hal yang wajar dan memang perlu dilakukan Pemerintah RI.
Tak hanya dari Pemerintah China, menurut Andi, perlu ada pula penjelasan dari Pemerintah AS terkait keberadaan kapal induk USS Carl Vinson di Laut Natuna Utara, beberapa waktu lalu.
Hal lain yang tak kalah penting, lanjut Arie, patroli perlu ditingkatkan, termasuk di wilayah ZEE. Sebab, pelanggaran hak berdaulat kerap terjadi, seperti pemanfaatan sumber daya alam oleh kapal asing, gangguan pada upaya negara pemilik ZEE untuk memanfaatkan sumber daya alam di ZEE, serta penelitian tanpa izin.