Sudah Disetujui Presiden, RUU Perampasan Aset Gagal Masuk Prolegnas Prioritas
Tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021 dinilai menunjukkan masih lemahnya komitmen pembuat UU untuk memperkuat regulasi pemberantasan korupsi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagalnya Rancangan Undang Undang atau RUU Perampasan Aset untuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 disayangkan sejumlah pakar hukum dan pegiat antikorupsi. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan komitmen dengan menyetujui RUU Perampasan Aset bisa dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Di sisi lain, pemerintah tengah berupaya memulihkan keuangan negara dengan mengejar utang dari obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya lebih dari Rp 100 triliun.
Dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (16/9/2021), pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengusulkan lima RUU untuk masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021. Namun, dari lima usulan itu hanya tiga yang disetujui.
Tiga RUU itu ialah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Perampasan Aset dan RUU Badan Pemeriksa Keuangan ditolak. Namun, RUU Perampasan Aset masih ada di daftar prolegnas lima tahunan 2020-2024.
Kegagalan ini kembali menunjukkan RUU Perampasan Aset belum menjadi prioritas. Draf RUU Perampasan Aset selesai disusun sejak tahun 2012. Namun, RUU itu tidak pernah masuk Prolegnas tahunan. Kali ini, RUU Perampasan Aset sudah mendapatkan persetujuan prinsip dari Presiden untuk diajukan dalam revisi Prolegnas 2021 (Kompas.id, 29/8/2021).
Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, saat dihubungi pada Kamis (16/9/2021), mengatakan, tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam perubahan prolegnas menunjukkan masih lemahnya komitmen pembuat UU untuk memperkuat regulasi pemberantasan korupsi. Jika disahkan, RUU Perampasan Aset akan lebih kuat dibandingkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sebab, menurut dia, fokus utama RUU tersebut adalah mengembalikan aset negara dengan obyek hukum aset, bukan pelaku. RUU ini dapat digunakan untuk merampas aset yang tidak seimbang dengan penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah. Bahkan, aset dalam perkara pidana yang tidak dapat disidangkan atau diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi asetnya belum dirampas untuk memulihkan kerugian negara, juga tetap bisa dirampas.
”Melihat dari proses RUU ini, sepertinya pemerintah sudah mendorong supaya bisa masuk Prolegnas dan segera dibahas bersama DPR. Namun, ternyata masih ada ketakutan dari DPR. Mungkin mereka takut ini bisa jadi seperti senjata makan tuan seperti UU KPK dulu,” kata Hibnu.
Sebelumnya, pada April 2021, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, setelah bertemu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), RUU Perampasan Aset dibutuhkan untuk mengoptimalkan proses penagihan utang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 110,45 triliun.
Regulasi itu diperlukan karena memungkinkan penegak hukum untuk mengejar harta kekayaan penjahat ekonomi sebelum, selama, dan setelah proses persidangan. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mendorong agar RUU Perampasan Aset segera selesai.
Komitmen rendah
Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola mengatakan, dalam konteks penyelesaian hak tagih utang dana BLBI, tidak masuknya RUU Perampasan Aset ke perubahan Prolegnas Prioritas 2021 menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR tidak benar-benar serius mengembalikan aset BLBI. Tanpa payung hukum itu, kerja Satgas BLBI akan terbatas karena bergantung pada itikad baik obligor atau debitor untuk melunasi utangnya.
Jika disahkan, RUU Perampasan Aset dapat mempercepat pengembalian aset negara terutama yang berada di luar negeri. RUU tersebut memungkinkan pengadilan untuk memerintahkan penagihan melalui mekanisme perdata tanpa melihat pelakunya. Fokus utama adalah pada asetnya. Dengan kondisi sekarang, Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara sangat terbatas untuk melacak aset, terutama yang disimpan di luar negeri.
”Pemerintah memutuskan untuk menagih hak utang dana BLBI kepada sejumlah obligor dan debitor. Namun, Satgas BLBI yang dibentuk tidak diberi alat perang yang efektif. Ini tentu akan menghambat satgas bekerja dengan optimal memulihkan aset negara,” kata Alvin.
Kehadiran UU Perampasan Aset juga sudah sering disuarakan. Termasuk beberapa waktu belakangan saat Satuan Tugas (Satgas) BLBI mengejar aset obligor dan debitor dana BLBI. Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, Jumat (27/8/2021), misalnya, mendorong pengesahan segera RUU itu agar ada dasar hukum yang lebih kuat untuk bisa merampas aset-aset yang terkait BLBI.