RUU Pemasyarakatan Diharapkan Jadi Pintu Masuk Perbaikan Sistem Peradilan Pidana
Setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat pada tahun 2019, RUU Pemasyarakatan akan segera dibahas kembali pada tahun ini. Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU Pemasyarakatan dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 diharapkan bisa mengubah konsep peradilan pidana ke arah keadilan restoratif dan menjadikan pemasyarakatan sebagai upaya korektif untuk para warga binaan. Namun, beberapa ketentuan yang selama ini menjadi keberatan masyarakat sipil, seperti pengaturan yang memudahkan pemberian remisi kepada narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika, serta kejahatan luar biasa lainnya, diharapkan dapat dieliminasi.
Dalam draf terakhir RUU Pemasyarakatan, ketentuan mengenai remisi yang berlaku umum dan tanpa pengecualian itu masih ditemui. Dalam Pasal 10 disebutkan, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak atas remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10 tersebut tidak mengecualikan atau memberikan syarat terhadap jenis tindak pidana khusus, termasuk yang tergolong kejahatan luar biasa, seperti korupsi, bandar narkotika, terorisme, dan kejahatan lingkungan. Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, terdapat pengaturan yang ketat dalam pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana khusus atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bagi pelaku tipidsus, misalnya, mereka baru mendapatkan remisi jika mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan kejahatannya (justice collaborator). Kekhususan dan pengecualian itu tidak disebutkan dalam draf RUU Pemasyarakatan.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengatakan, pengecualian dalam pemberian hak napi itu tidak sesuai dengan konsep pemasyarakatan. Pemasyarakatan seharusnya dipahami sebagai upaya untuk mengembalikan pelaku kejahatan ke masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik. Dalam prosesnya, warga binaan akan melalui pembinaan intensif, dan ketika menunjukkan perkembangan positif, sudah sewajarnya mereka mendapatkan apresiasi atau penghargaan (reward) berupa remisi atau pengurangan masa hukuman.
”Pemberian remisi itu pun harus bersifat umum, tidak boleh dikecualikan. Filosofinya dalam pemenjaraan atau pemasyarakatan itu, kan, agar orang yang dipenjara itu menjadi orang yang lebih baik. Ketika dia sudah menjadi baik, harus ada reward, kan. Misalnya, dalam tindak pidana korupsi, yang paling penting itu, kan, pengembalian keuangan negara. Untuk apa orang dihukum 20 tahun, tetapi uangnya tidak kembali,” ujarnya.
Ketentuan dalam PP No 99/2012, menurut Trimedya, justru menyalahi filosofi dan prinsip pemasyarakatan itu. Kalaupun ada syarat yang mesti dibuat dalam pemberian asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat serta hak-hak lain, itu seharusnya berkaitan dengan upaya mencegah remisi dan hak-hak warga binaan itu dijadikan komoditas transaksional. ”Seharusnya kalau mau dibuat batasan ialah untuk mencegah remisi itu jadi komoditas yang transaksional. Maka, dibuatlah pembatasan agar orang bisa memperoleh remisi dengan syarat-syarat tertentu. Namun, bukan berarti menyulitkan atau menutup potensi napi memperoleh hak-hak mereka,” ucapnya.
Secara terpisah, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, RUU Pemasyarakatan pada periode lalu sebetulnya sudah diputuskan dalam pembahasan tingkat pertama. Artinya, Komisi III DPR yang mewakili DPR dan pemerintah yang diwakili Menkumham sudah sepakat. Penolakan terhadap RUU Pemasyarakatan ketika itu sebenarnya lebih pada RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Jadi, ya, memang aneh bin ajaib di Senayan ini. Yang ditolak, kan, sebetulnya lebih banyak revisi Undang-Undang KPK, dan RKUHP ada 16 isu, tetapi RUU KPK sudah jadi undang-undang. Sementara yang ini (RUU Pemasyarakatan) ditolak sedikit-sedikit saja malah enggak jadi,” katanya.
Dalam pembahasan RUU Pemasyarakatan, menurut Arsul, memang ada perdebatan soal PP No 99/2012. Sebagai sebuah produk hukum, PP itu tujuannya baik. Akan tetapi, kajian empirik DPR menunjukkan ada diskriminasi hak hukum, terutama kepada napi kasus korupsi. ”Kalau kasus korupsinya datang dari KPK, maka warga binaan meskipun sudah jadi orang baik, sudah taubatan nasuha singkatnya dalam bahasa Islam, susah untuk mendapatkan hak-haknya sebagai terpidana atau warga binaan pemasyarakatan (WBP). Jadi, dia seperti orang yang tidak terampuni dosanya. Dia enggak mendapat remisi, apalagi pembebasan bersyarat, dan segala macam hak lainnya, kecuali disetujui oleh KPK,” ujarnya.
Persoalannya, lanjut Arsul, tindak pidana korupsi tidak hanya berasal dari KPK karena ada yang berasal dari penyidikan kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya. Namun, perlakuannya dipandang berbeda dalam pemberian status justice collaborator.
”Saya kemudian riset. Ternyata saya cari-cari di Amerika dan Uni Eropa itu tidak ada ketentuan yang membolehkan penyidik atau penyelidik bisa ikut campur menentukan nasib seorang terpidana. Tidak ada sistem peradilan pidana di mana pun yang menyebutkan penyidik, apakah itu polisi, kejaksaan, atau KPK, ikut campur menentukan nasib terpidana,” katanya.
Menurut Arsul, jangan sampai kebencian publik terhadap tindak pidana korupsi membuat napi korupsi tidak dapat menerima hak-haknya sebagai warga binaan, sekalipun dia sudah memenuhi semua syaratnya.
”Tetapi, kan, kalau begini selalu dianggap tidak pro pada pemberantasan tindak pidana korupsi. Anggota DPR seperti saya pasti akan dibilang begitu. Tetapi, ketika ditanya di mana ada model seperti Indonesia (penyidik menentukan hukuman terpidana), itu ada di negara lain, masyarakat sipil tidak bisa menjawab,” katanya.
Untuk memberikan efek jera kepada koruptor, menurut dia, yang harus didorong ialah pemberatan pada vonis hakim. Akan tetapi, bukan berarti napi tidak mendapatkan hak-haknya. ”Yang harus didorong ialah pemberatan vonisnya, misalnya dihukum 20 tahun. Tetapi, begitu orang divonis, dan dia memenuhi syarat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai terpidana, hak itu harua diberikan,” ujarnya.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval mengatakan, draf RUU Pemasyarakatan itu relatif sudah siap diundangkan. RUU itu pun dipandang penting untuk mendorong reformasi tata kelola pemasyarakatan, khususnya di lapas. Sebab, RUU itu memberikan hak-hak napi dan mengatur secara teknis bagaimana tata kelola lapas itu mesti dilakukan.
”Soal penghapusan PP No 99/2012 sebagaimana dikhawatirkan sebenarnya tidak ada. Sebab, ada pasal peralihan di Pasal 94 yang menyebutkan semua PP yang mengatur semua hak napi itu masih berlaku selama belum ada peraturan pelaksana dari RUU yang nantinya disahkan jadi UU itu,” ujarnya.
Kendati demikian, Ali sepakat apabila memang perlu ada pengetatan remisi bagi jenis tindak pidana tertentu yang dianggap sebagai tindak pidana atau kejahatan luar biasa. Namun, pengetatan atau pembatasan hak itu mestinya tidak diatur dalam peraturan pemerintah atau eksekutif, tetapi melalui putusan pengadilan.
”Jadi, hakimlah yang menentukan, misalnya, pelaku kejahatan ini tidak mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat karena alasan tertentu. Bukan eksekutif yang menentukan. Seperti halnya di Amerika Serikat, hakim yang menentukan apakah seorang terpidana itu bisa menerima pembebasan bersyarat ataukah tidak. Jadi, bukan eksekutif yang menentukan,” kata Ali.