Kemenkumham: Asimilasi Telah Mengurangi Kapasitas Hunian Lapas
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, sejak Covid-19, Menkumham telah mengeluarkan dua peraturan untuk mengurangi ”over” kapasitas lapas. Hingga kini ada 103.624 napi dilepaskan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama masa pandemi Covid-19, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah melepaskan 103.624 narapidana melalui program asimilasi. Implementasi peraturan menteri tersebut diharapkan dapat mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang kelebihan penghuni.
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti saat dihubungi, Rabu (15/9/2021), mengatakan, sejak pandemi Covid-19, Menteri Hukum dan HAM telah mengeluarkan dua peraturan untuk mengurangi tingkat hunian yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan. Aturan itu di antaranya Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Kemudian, Peraturan Menkumham Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penularan Covid-19. Permenkumham No 32/2021 kemudian direvisi menjadi Permenkumham No 24/2021, yang secara umum isinya mengatur hal yang sama.
Menurut Rika, sejak Maret 2020, jumlah narapidana yang diasimilasikan di rumah melalui payung hukum Permenkumham No 10/2020 sebanyak 69.006 orang. Adapun asimilasi berdasarkan peraturan setelahnya tahun 2021 mencapai 21.248 orang. Terakhir, sebanyak 13.370 narapidana juga diberikan hak asimilasi.
Untuk itu, total sejak Maret-September 2021, jumlah narapidana yang mendapat asimilasi sebanyak 103.624 orang. Syarat pemberian asimilasi di antaranya adalah narapidana berkelakuan baik, telah menjalani setengah masa pidana, dan tidak melakukan tindakan indisipliner. Selama asimilasi, narapidana menjalani hukuman di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan dari balai pemasyarakatan dan kelompok masyarakat.
”Kebijakan selama pandemi itu telah berpengaruh untuk mengurangi hunian lapas. Akan lebih baik lagi jika ada kebijakan terpadu untuk benar-benar mengurangi hunian lapas, terutama dari kasus narkoba. Jika setelah asesmen para pengguna narkoba bisa direhabilitasi, kami yakin ini dapat mengurangi beban hunian rutan dan lapas secara signifikan,” kata Rika.
Kebijakan selama pandemi itu telah berpengaruh untuk mengurangi hunian lapas. Akan lebih baik lagi jika ada kebijakan terpadu untuk benar-benar mengurangi hunian lapas, terutama dari kasus narkoba. Jika setelah asesmen para pengguna narkoba bisa direhabilitasi, kami yakin ini dapat mengurangi beban hunian rutan dan lapas secara signifikan.
Sebelumnya diberitakan, narapidana dan tahanan narkotika selama ini memang menjadi beban terbesar lapas dan rutan, terutama jika dibandingkan dengan kasus pidana lainnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang diperoleh melalui Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), jumlah napi dan tahanan narkoba paling banyak. Per 12 Juli 2021, jumlah napi dan tahanan narkoba mencapai 136.694 jiwa. Adapun jumlah napi dan tahanan untuk kasus pencurian hanya 28.599 jiwa atau sekitar 21 persen dari jumlah tahanan narkoba. Jumlah napi dan tahanan kasus pencurian itu berada di peringkat kedua. Di peringkat ketiga, kasus perlindungan anak yang berjumlah 22.171 jiwa.
Sementara dari data Ditjen Pemasyarakatan, kapasitas lapas dan rutan di Indonesia hanya 135.561 orang. Adapun jumlah warga binaan per Agustus 2021 mencapai 266.514 orang. Artinya, lapas kelebihan penghuni hingga 97 persen. Dari 33 kantor wilayah, hanya kanwil DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara yang unit pengelola teknis pemasyarakatannya tak kelebihan penghuni. Bahkan, tujuh lapas dan rutan tercatat kelebihan hingga lima kali lipat (Kompas, 10/9/2021).
Rika Aprianti mengakui, jumlah hunian lapas dan rumah tahanan dari kasus narkotika memang paling besar. Jumlahnya mencapai 52 persen dari kapasitas lapas dan rutan. Untuk mengurangi hunian lapas, Kemenkumham terus akan melakukan program asimilasi rumah. Kebijakan itu akan mengikuti program tanggap darurat secara nasional. Sebab, Kemenkumham memiliki kewajiban untuk mencegah penularan Covid-19 di lingkungan rutan dan lapas.
Pesimistis
ICJR mendorong agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Khusus pada Materi Narkotika. Pasal 34A PP ini membatasi pemberian remisi bagi warga binaan pemasyarakatan yang dihukum di atas lima tahun penjara.
Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan, dirinya pesimistis Permenkumham No 24/2021 akan efektif mengurangi tingkat hunian yang melebihi kapasitas lapas, terutama dari narapidana kasus narkoba. Itu karena aturan tersebut hanya mengatur asimilasi untuk narapidana narkoba yang dihukum penjara maksimal 5 tahun. Mereka yang dihukum penjara maksimal lebih dari 5 tahun dikecualikan dan tidak berhak mendapat asimiliasi. Padahal, realitasnya, banyak pengguna narkoba yang terkena hukuman di atas 5 tahun penjara karena pasal di UU No 35/2009 tentang Narkotika adalah pasal karet yang multitafsir.
Oleh karena itu, ICJR mendorong agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Khusus pada Materi Narkotika. Pasal 34A PP ini membatasi pemberian remisi bagi warga binaan pemasyarakatan yang dihukum di atas 5 tahun penjara. Mereka dapat diremisi atau diasimilasi dengan syarat yang terlalu sulit dipenuhi, seperti harus menjadi pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan (justice collaborator).
”Padahal, seperti diketahui, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika sering digunakan untuk menjerat pengguna dengan pasal yang seharusnya hanya ditujukan untuk peredaran gelap atau bandar. Menkumham seharusnya dapat mengoordinasikan dengan presiden untuk merevisi PP tersebut dengan berfokus pada akar masalah overcrowding lapas,” kata Maidina.