Pekan Ini, Ombudsman Layangkan Rekomendasi Terkait TWK KPK untuk Presiden
Ombudsman RI menegaskan putusan MK dan MA terkait TWK KPK tak bertentangan dengan temuan Ombudsman. Tindakan korektif yang diminta Ombudsman karena malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK harus tetap dijalankan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tak akan menghentikan langkah Ombudsman Republik Indonesia untuk memproses lebih lanjut temuan malaadministrasi berlapis dalam tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Pekan ini, Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi untuk Presiden Joko Widodo agar mengambil alih penetapan hasil tes.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, Selasa (14/9/2021), pihaknya telah membaca dan mencermati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Putusan MK menguji konstitusionalitas aturan terkait alih status di Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Adapun putusan MA menguji legalitas Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN.
”Kedua putusan memberi kekuatan secara konstitusional dan legal di mana kebijakan untuk peralihan pegawai KPK menjadi ASN adalah sesuatu yang kuat dasar hukumnya. Ini ranah di sisi norma dan kebijakan. Kita sangat menghargai putusan kedua lembaga peradilan itu,” tambahnya.
Namun, ia menekankan, pemeriksaan Ombudsman atas proses pelaksanaan alih status pegawai KPK, khususnya tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, untuk melihat dari sisi pelaksanaan kebijakan. Ombudsman memeriksa prosesnya apakah sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dan tak terjadi malaadministrasi. ”Jadi, sama sekali tak bertentangan dengan putusan MK dan MA,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia berharap kepada KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang melakukan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK seperti temuan Ombudsman, tetap melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman. Salah satunya KPK diminta mengalihkan status 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
Robert juga menekankan, proses lanjutan dari temuan malaadministrasi itu akan tetap dilanjutkan oleh Ombudsman. Ombudsman tak akan menuruti imbauan dari pihak tertentu agar tak perlu melanjutkan proses tersebut. ”Sama sekali tidak seperti itu posisinya dan tidak akan kami ambil posisi itu,” ujarnya.
Sesuai amanat Undang-Undang Pelayanan Publik, lanjut Robert, yang jadi proses di lembaga peradilan, termasuk MA dan MK, sama sekali tidak bisa menjadi alasan bagi pihak terlapor, dalam hal ini KPK dan BKN atau pihak terkait, untuk menunda apalagi menghentikan kewajiban menjalankan rekomendasi dari Ombudsman.
Proses lanjutan dimaksud, penyusunan rekomendasi yang akan ditujukan pada Presiden. Pekan ini juga rekomendasi rencananya sudah dilayangkan ke Presiden. Rekomendasi terpaksa diterbitkan karena KPK tak mengindahkan tindakan korektif yang diminta oleh Ombudsman.
”Kami sampaikan rekomendasi kepada atasan KPK dan BKN, yakni Presiden, sekaligus Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam hal pembinaan kepegawaian,” ujar Robert.
Ia berharap, rekomendasi Ombudsman akan diperhatikan oleh Presiden sehingga saran-saran perbaikan yang sudah tertuang di laporan akhir hasil pemeriksaan dan akan diperkuat dalam rekomendasi, menjadi dasar bagi Presiden untuk mengambil alih proses penetapan hasil TWK. ”Dan mudah-mudahan sesuai harapan ORI, sebelum 30 Oktober ini, keputusan dari Presiden sudah keluar,” jelasnya.
KPK tak bisa berlindung
Secara terpisah, sejumlah pakar hukum yang dihubungi Kompas, juga menilai putusan MK dan MA tak bisa dijadikan alasan bagi KPK ataupun BKN untuk tidak melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman. Begitu pula rekomendasi Komnas HAM yang menemukan banyak pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat, putusan MK terkait dengan uji norma UU KPK. Putusan tersebut tidak terkait dengan pelaksanaan TWK. Demikian pula putusan MA tidak terkait dengan implementasi TWK, melainkan uji formal dan uji material terhadap Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Putusan kedua lembaga tinggi negara tersebut hanya terkait pada norma. Sementara yang dipermasalahkan adalah pelaksanaan TWK, mulai dari motivasi, pelaksanaan, materi atau pertanyaan yang tujuannya sudah ditentukan.
”Jadi, KPK tidak bisa berlindung di balik putusan MK dan MA karena kedua putusan tersebut tidak terkait dengan malaadministrasi dan pelanggaran hak asasi terkait implementasi TWK. Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi administrasi negara berkewajiban melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM,” kata Atip.
Hal senada dikatakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. Menurut Feri, putusan MK dan MA terkait dengan keabsahan norma, bukan keabsahan prosedural dari pelaksanaan norma tersebut.
”Baik MK maupun MA sama sekali tidak menyinggung dan tidak berwenang menguji mengenai cacat prosedur atau penyalahgunaan prosedur oleh pimpinan yang menggunakan TWK sehingga putusan MA dan MK tidak bertentangan dengan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM,” kata Feri.
Sedangkan, lanjut Feri, proses alih status tersebut dipandang sebagai cacat prosedural, bukan cacat norma. Kecacatan tersebut karena bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan asas pemerintahan yang benar.
Menurut Feri, dengan cacat prosedural atau penyelenggaraan tersebut, sudah semestinya Presiden mengangkat para pegawai tersebut sebagai ASN. Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan, dan memindah ASN berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
”Presiden sebagai pimpinan tertinggi aparatur sipil negara bisa mengambil sikap untuk mengangkat pegawai KPK. Alternatif lain, pimpinan KPK melakukan TWK ulang yang sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan asas umum pemerintahan yang baik,” ujar Feri.
Kompas telah mencoba menghubungi Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait sikap Ombudsman dan pandangan sejumlah pakar hukum itu, tetapi tak direspons. Namun, sebelumnya, ia menganggap putusan MK dan MA telah menepis tudingan malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK. Ia pun berharap putusan MK dan MA itu menjadi akhir dari perdebatan TWK KPK. Adapun Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana menilai putusan MK dan MA menggugurkan temuan dan tindakan korektif yang diminta Ombudsman.