ICJR: Beban Lapas Bisa Dikurangi dengan Kebijakan Khusus
Beban terbesar lapas dan rutan selama ini adalah napi narkotika, terutama jika dibandingkan dengan kasus pidana lainnya. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyatakan, kebijakan khusus pemerintah bisa kurangi bebannya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Narapidana narkotika selama ini memang menjadi beban terbesar lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, terutama jika dibandingkan dengan kasus pidana lainnya. Pemerintah didesak untuk memberikan grasi dan amnesti massal kepada napi yang memenuhi kriteria untuk mengurangi beban hunian lapas.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) yang diperoleh melalui Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), jumlah napi dan tahanan narkoba jumlahnya paling banyak. Per 12 Juli 2021, jumlah napi dan tahanan narkoba mencapai 136.694 jiwa. Adapun, jumlah napi dan tahanan untuk kasus pencurian hanya sebanyak 28.599 jiwa atau sekitar 21 persen dari jumlah tahanan narkoba. Jumlah napi dan tahanan kasus pencurian, berada di peringkat kedua setelah kasus narkoba. Di peringkat ketiga, ada kasus perlindungan anak dengan total mencapai 22.171 jiwa.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati saat dihubungi, Selasa (14/9/2021), mengatakan, UU Narkotika memang telah menjadi biang permasalahan over kapasitas rumah tahanan dan lapas di Indonesia. UU Narkotika memuat banyak pasal karet untuk memenjarakan pengguna narkotika. Ini berkontribusi pada besarnya jumlah tahanan dan napi sehingga penjara melebihi daya tamping (overcrowding).
Berdasarkan data Ditjenpas, kapasitas lapas dan rutan di seluruh Indonesia hanya 135.561 orang. Adapun, jumlah warga binaan per Agustus 2021 mencapai 266.514 orang. Artinya, lapas kelebihan penghuni hingga 97 persen. Dari 33 kantor wilayah, hanya kanwil DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara yang Unit Pengelola Teknis (UPT) Pemasyarakatannya tidak kelebihan penghuni. Bahkan, tujuh lapas dan rutan sudah kelebihan kapasitas hingga lima kali lipat kapasitas normal, (Kompas, 10 September 2021).
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly harus berani mengambil tindakan cepat dan strategis untuk mengatasi persoalan ini. Tindakan cepat dan strategis itu di antaranya adalah pemberian amnesti dan atau grasi dari presiden kepada narapidana narkotika. Gagasan ini sebenarnya pernah dilontarkan Yasonna pada 2019, tetapi belum terealisasi.
Pemberian grasi dan atau amnesti massal itu bisa diberikan kepada pengguna narkoba yang terjerat pasal penguasaan, pembelian, dan kepemilikan yang seharusnya hanya untuk peredaran gelap. Warga binaan yang dijerat pasal 111, 112, 114, dan pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, harus dinilai kondisi penggunaan narkotikanya. Selain itu, napi dan tahanan juga bisa dikaji latar belakang kasusnya. Apabila ada indikasi penggunakan dan kepemilikan untuk kepentingan pribadi, dapat memenuhi syarat untuk dikeluarkan dari lapas.
“Narapidana juga bisa dikeluarkan dengan kebijakan asimilasi di rumah atau lembaga di luar lapas. Kebijakan ini sudah dijalankan oleh Ditjen Pemasyarakatan,” kata Maidina.
“Narapidana juga bisa dikeluarkan dengan kebijakan asimilasi di rumah atau lembaga di luar lapas. Kebijakan ini sudah dijalankan oleh Ditjen Pemasyarakatan”
Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, Maidina berpandangan, mereka dapat diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman. Selama ini penghukuman untuk pengguna narkotika terbukti tidak efektif untuk memutus mata rantai peredaran narkoba. Rehabilitasi bisa dilakukan di komunitas tertentu dengan metode rawat jalan sesuai dengan penilaian kesehatan. Pelaksanaan rehabilitasi tidak perlu berbasis penempatan di lembaga negara yang jumlahnya masih minim.
Di luar itu, ICJR juga berharap pemerintah dapat mengarusutamakan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan bagi pengguna narkotika baik yang membutuhkan rehabilitasi atau tidak. Ini diatur dalam pasal 14a dan 14c Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 dan Pedoman Kejaksaan Nomor 11/2021. Ketiga aturan itu menjelaskan bahwa jaksa dan hakim dapat memberikan tuntutan dan putusan pidana bersyarat dengan masa percobaan sehingga pidana penjara tidak perlu dijalani.
“Hukuman penjara bisa diubah dengan syarat pembimbingan dan pengawasan oleh jaksa berkoordinasi dengan balai pemasyarakatan. Langkah-langkah cepat dan strategsi perlu segera diambil oleh pemerintah agar kualitas pelayanan di lapas dan rutan lebih manusiawi,” kata Maidina.
Revisi UU Narkotika
Seiring dengan kebijakan strategis itu, ICJR juga mendorong agar revisi UU Narkotika dipercepat untuk menjamin perlindungan dan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika. Selama ini, pasal karet dalam UU Narkotika mengakibatkan pengguna kerap dijerat dengan pasal yang seharusnya ditujukan hanya untuk peredaran gelap atau bandar. Sehingga dibutuhkan penghapusan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan apabila penggunaan dan penguasaan narkoba untuk kepentingan penggunaan pribadi. Pemidanaan juga bisa diubah menjadi sanksi administratif di luar pidana seperti kerja sosial, denda, dan lainnya.
“Setelah UU Narkotika direvisi, pemerintah juga harus berpikir untuk menyediakan fasilitas rehabilitasi untuk pengguna. Saat ini, fasilitas itu baik yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan masih jauh dari kebutuhan”
“Kebijakan narkotika ke depan harus jauh dari watak pemenjaraan seperti ini. Pengguna narkoba harus diletakkan pada persoalan kesehatan sehingga mereka bisa mengakses layanan kesehatan dan beban sistem peradilan pidana bisa dikurangi,” ujar Maidina.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, dibutuhkan langkah cepat untuk mengatasi persoalan overkapasitas di lapas. Di tingkat regulasi, pemerintah dan DPR dituntut untuk segera merevisi UU Narkotika. Sehingga seluruh aparat penegak hukum tidak lagi punya celah untuk mengirimkan para pengguna narkotika ke penjara. Selama polisi, jaksa, atau hakim masih memiliki celah untuk mengirimkan pengguna narkoba ke penjara, situasi lapas akan sama. Kondisi lapas kelebihan kapasitas sehingga pelayanan yang diberikan negara kepada warga binaan tidak layak. Baik dari sisi nutrisi, pelayanan air bersih, kelistrikan, hingga fasilitas-fasilitas mendasar lainnya.
“Setelah UU Narkotika direvisi, pemerintah juga harus berpikir untuk menyediakan fasilitas rehabilitasi untuk pengguna. Saat ini, fasilitas itu baik yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan masih jauh dari kebutuhan,” kata Adrianus.
Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, kondisi overkapasitas lapas harus segera diatasi agar kejadian seperti kebakaran di Lapas I Tangerang yang memakan 46 korban jiwa tidak terulang. Kewenangan untuk mengurangi jumlah penghuni rutan dan lapas tidak semata-mata berada di tangan Kemenkumham. Ada aparat penegak hukum dan pengadilan yang juga mengirimkan tahanan dan napi ke rutan dan lapas.
Saat ini, kebijakan yang dilakukan oleh Kemenkumham adalah memberikan hak pembebasan bersyarat seperti remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, dan sebagainya. Syaratnya adalah napi berkelakuan baik dan tidak melakukan tindakan indisipliner.
“Kami juga sudah memberikan program asimilasi di rumah selama pandemi Covid-19 yang berpengaruh sampai 30 persen mengurangi hunian lapas. Akan lebih baik, jika ada kebijakan terpadu untuk benar-benar mengurangi hunian lapas terutama dari perkara narkoba. Jika setelah asesmen para pengguna narkoba bisa direhabilitasi, kami yakin ini dapat mengurangi beban hunian rutan dan lapas secara signifikan,” kata Rika.