Perbaiki Manajemen Lembaga Pemasyarakatan di Masa Datang
Kebakaran di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, harus jadi pelajaran di masa datang. Anggota Ombudsman Jemsly Hutabarat mengatakan, ke depan perlu tingkatkan SDM, tata kelola, dan infrastruktur.
JAKARTA, KOMPAS — Peristiwa kebakaran di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, harus menjadi pembelajaran untuk perbaikan lembaga pemasyarakatan. Perbaikan harus dilakukan mulai dari sumber daya manusia, tata kelola, hingga infrastruktur.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Jemsly Hutabarat, mengatakan, untuk mengatasi persoalan yang ada di lembaga pemasyarakatan perlu perbaikan pada sumber daya manusia, proses atau tata kelola, dan infrastruktur atau fasilitas.
Ia menjelaskan, sumber daya manusia menyangkut petugas dan manajerial terkait dengan jumlah petugas yang mengelola atau melayani. ”Rasio antara petugas dan WBP (warga binaan pemasyarakatan) harus memadai dan kualifikasi atau kompetensi atau pengalaman harus sesuai dalam menangani keadaan darurat,” kata Jemsly saat dihubungi di Jakarta, Senin (13/9/2021).
Baca Juga: Polisi Temukan Unsur Kelalaian dalam Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang
Jemsly mengatakan, proses atau tata kelola menyesuaikan prosedur operasional standar yang sudah dibuat dengan keadaan yang terjadi. Demikian juga tata kelola dalam penanganan sebelum, saat, dan setelah terjadi kedaruratan atau bencana.
Rasio antara petugas dan WBP (warga binaan pemasyarakatan) harus memadai dan kualifikasi atau kompetensi atau pengalaman harus sesuai dalam menangani keadaan darurat. (Jemsly Hutabarat)
Rasio WBP dengan luas atau fasilitas lembaga pemasyarakatan harus sesuai. Ketika terjadi rasio berlebih sehingga menyebabkan kelebihan penghuni, perlu digunakan teknologi dan pengaturan pengelolaan WBP di setiap lembaga pemasyarakatan. Misalnya, ketika terjadi kelebihan penghuni, perlu diatur agar cepat bereaksi saat ada kejadian yang tidak diinginkan. Lembaga pemasyarakatan dapat menggunakan teknologi yang mengatur pembukaan kunci rumah tahanan secara serentak. Cara ini dilakukan dengan menerapkan sistem keamanan yang berlapis sehingga hanya dapat dilakukan orang tertentu.
Selain itu, kata Jemsly, juga perlu diatur persediaan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Ia menegaskan, perlu ada kejelasan mana yang bisa masuk di lembaga pemasyarakatan. ”Lapas mengarah kepada pembinaan atau penghukuman? Dengan demikian, dapat didefinisikan dengan jelas, mana yang masuk lapas dan mana yang langsung mendapatkan pembinaan atau rehabilitasi,” katanya.
Menurut Jemsly, dukungan anggaran dalam penyesuaian fasilitas lapas juga diperlukan. Sebab, banyak lapas yang sudah tua sehingga perlu direnovasi. Sejumlah fasilitas juga harus diperbaiki, seperti kabel yang dapat digunakan pada saat daya listrik meningkat.
”Ultimum Remedium”
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, belajar dari peristiwa kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Kemenkumham melalui Ditjen Lapas harus melakukan audit dan pengecekan ke setiap fasilitas lapas se-Indonesia termasuk fasilitas keselamatan, pengamanan, dan instalasi listrik. Selain itu, perlu juga membangun sistem mitigasi bencana.
Menurut Taufik, kelebihan penghuni merupakan masalah yang turut berkontribusi terhadap tidak berjalannya sistem di pemasyarakatan. Mengatasi masalah kelebihan penghuni tidak bisa hanya dibebankan kepada Kemenkumham, tetapi harus melibatkan semua pihak dalam sistem pemidanaan terpadu, mulai dari kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), kejaksaan, hingga badan peradilan.
Selain itu, kata Taufik, paradigma masyarakat terhadap sistem pemidanaan juga harus diubah. Masyarakat cenderung melihat pidana dan pemidanaan sebagai jawaban dari segala masalah, padahal tidak demikian.
”Pidana harusnya menjadi ultimum remedium (hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum). Karena itu, kita harus mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif),” kata Taufik.
Pidana harusnya menjadi ultimum remedium (hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum). Karena itu, kita harus mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif).
Ia menambahkan, begitu pula sistem pemasyarakatan. Publik mesti diberikan pemahaman bahwa sistem pemasyarakatan modern sudah berubah. Tidak lagi penghukuman sebagai atributif, tetapi sistem pemasyarakatan sudah menjadi sistem yang korektif, rehabilitatif, dan restoratif.
Taufik menuturkan, saat ini DPR sedang mendorong tiga rancangan undang-undang untuk dapat segera dibahas dengan memuat pembenahan sistem peradilan pidana, di antaranya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan (RUU PAS), dan RUU Narkotika.
Sistem pidana terpadu
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun berpandangan, masalah kelebihan penghuni hingga minimnya mitigasi kebakaran di lapas bisa dicegah jika sistem peradilan pidana terpadu dijalankan. Hal itu sudah diatur dalam Pasal 280 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam pasal itu, kata Gayus, diatur tentang kewajiban pengadilan pemutus perkara awal untuk menunjuk dua hakim pengawas dan pengamat. Dua hakim itu diminta untuk mengawasi orang-orang yang telah dihukum penjara melalui putusan pengadilan. Mereka bertugas untuk mengawasi apakah penghukuman terhadap pelaku tindak pidana sudah sesuai dengan standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perlakuan yang manusiawi dan sesuai konsep HAM.
Selain diatur di KUHAP, hakim pengawas dan pengamat (wasmat) juga diamanatkan dalam konvensi PBB tentang perlakuan kepada pelaku kejahatan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
”Jadi kalau orang dihukum enam tahun, ada tiga tim hakim wasmat (pengawas dan pengamat) yang ditugaskan dari pengadilan untuk melakukan pengawasan dan pengamatan perlakuan negara pada para pelaku kejahatan,” kata Gayus.
Menurut Gayus, kekuasaan kehakiman merupakan pilar keempat dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Hakim memiliki kewajiban yang setara dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan. Jika sistem hakim pengawas ini dijalankan, dia optimistis kejadian seperti kelebihan penghuni lapas dapat dicegah. Sebab, hakim berkewajiban untuk memperingatkan Menkumham hingga kepala lapas untuk memberikan hukuman yang manusiawi. Sayangnya, meskipun sudah diatur di KUHAP dan ratifikasi konvensi internasional, sistem ini belum dijalankan Mahkamah Agung.
”Saya mendorong agar sistem peradilan pidana terpadu ini dilakukan oleh MA. Agar masalah kelebihan penghuni, pelayanan yang tidak manusiawi, bisa diantisipasi,” kata Gayus.
Peristiwa kebakaran ini menjadi peringatan bahwa mengurus lapas juga harus mempertimbangkan rasa kemanusiaan. Narapidana juga harus memperoleh hak perlindungan keselamatan. (Mantan narapidana politik Orde Baru, Petrus Hariyanto)
Mantan narapidana politik Orde Baru, Petrus Hariyanto, meminta Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mundur atau Menkumham memberhentikannya. Peristiwa kebakaran ini menjadi peringatan bahwa mengurus lapas juga harus mempertimbangkan rasa kemanusiaan. Narapidana juga harus memperoleh hak perlindungan keselamatan.
Baca Juga: Polisi Panggil Kepala Lapas Kelas I Tangerang untuk Diperiksa
Ia menegaskan, tata kelola lapas harus dibenahi. Pengalamannya ketika di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada masa Orde Baru, bila terjadi kebakaran, narapidana akan terpanggang hidup-hidup di dalam sel. Sebab, tidak ada alat pemadam kebakaran yang memadai di dalam lapas. Petugas yang berjaga di malam hari hanya dua orang.
Petrus mengungkapkan, apabila terjadi kebakaran, sipir tidak mampu mengeluarkan narapidana yang digembok dari luar. ”Juga tidak pernah ada SOP (prosedur operasional standar) jika terjadi kebakaran harus bagaimana. Sangat menyedihkan,” tuturnya.
Ia menuturkan, di dalam lapas tidak semuanya disebut penjahat, seperti sopir yang menabrak karena lalai, bukan membunuh. Banyak juga kejahatan kecil karena kondisi ekonomi. Menurut Petrus, seharusnya mereka dibina. Ia mengingatkan, lapas tidak boleh kelebihan penghuni dan tata bangunan penjara harus memenuhi syarat. Narapidana harus diperlakukan sebagai manusia.
Sebelumnya, Kepala Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti menyampaikan, Kemenkumham telah mengupayakan sejumlah hal agar persoalan penghuni yang melebihi kapasitas lapas ini tak berkepanjangan. Misalnya, pembangunan lapas, pemberian remisi, hingga pemberian asimilasi. Hal itu diklaim berhasil mengurangi hunian lapas berkisar 20-30 persen (Kompas.id, 13/9/2021). (PDS/DEA)