Kebakaran Lapas Tangerang Dinilai akibat Kelalaian Negara
Aturan dan kebijakan pemidanaan dinilai sangat punitif sehingga membuat lapas kelebihan penghuni. Padahal, banyak pelanggaran bisa diselesaikan tanpa harus dihukum di penjara.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, yang memakan korban 45 warga binaan pada Rabu (8/9/2021), dianggap sebagai dampak dari kelalaian negara yang tak segera menuntaskan persoalan lembaga pemasyarakatan.
Padahal, persoalan telah diketahui negara bertahun-tahun, mulai dari kelebihan penghuni, standar bangunan yang tidak aman, hingga aturan hukum yang cenderung punitif atau menghukum.
Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, dalam diskusi daring bertajuk ”Tragedi Lapas Tangerang: Di Mana Tanggung Jawab Negara?”, Minggu (12/9/2021), mengatakan, penyebab kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, yang memakan korban puluhan warga binaan, sistemik dan hal ini diketahui dan diakui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly.
Hal itu antara lain jumlah penghuni yang melebihi kapasitas. Kedua, kondisi bangunan yang tidak aman. Yasonna menyampaikan, sejak dibangun pada 1972, instalasi listrik di Lapas Tangerang tak pernah diperbaiki. Dugaan sementara, kebakaran dipicu hubungan pendek arus listrik.
”Ini bencana kemanusiaan. Negara sudah tahu masalahnya, negara melihat, tetapi dibiarkan,” ujar Hussein. Karena itu, negara dituntut bertanggung jawab. ”Harus ada evaluasi menyeluruh,” katanya.
Untuk menyelesaikan persoalan kelebihan penghuni lapas, misalnya, aturan pemidanaan harus diubah. Ia melihat hukum pidana di Indonesia cenderung punitif ketimbang berfokus pada rehabilitasi dan asimilasi.
Sebagai contoh, dari total 155 pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 36 pasal yang menerapkan hukuman penjara dan denda.
”Padahal, di banyak negara demokrasi dan menjunjung HAM, pemakai narkotika akan dianggap korban. Ini jadi problem yang harus diselesaikan bersama,” ucap Hussein.
Harapan perubahan pada aturan pemidanaan, menurut dia, belum terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kini disusun pemerintah. Ia justru melihat adanya penambahan pasal-pasal yang berperspektif pemidanaan. Padahal, sejumlah pelanggaran bisa diselesaikan dengan penerapan keadilan restoratif atau alternatif pidana, seperti kerja sosial dan denda.
Ketua Pusat Riset Pengembangan Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi pun melihat kelebihan penghuni lapas sebagai buah dari karut-marut sistem peradilan pidana. Sistem sangat punitif, sedangkan kondisi lapas tak memenuhi standar.
Namun, negara tak belajar dari problem itu. Dalam rentang dua tahun terakhir, setidaknya terdapat 13 peristiwa kebakaran lapas dengan sembilan di antaranya di lapas yang kelebihan penghuni.
”Ini artinya ada masalah laten yang terus berulang. Kalau begini, ini menunjukkan audit keamanan tak serius, ada yang gagal dan perlu dievaluasi. Harus dievaluasi Menteri (Menkumham) dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan,” ujar Fachrizal.
Anggota staf Advokasi Hukum dan HAM Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional, Chikita Edrini, menambahkan, peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang juga memperlihatkan pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Sebab, negara membiarkan para warga binaan tinggal di lapas yang tidak layak.
Padahal, mengutip Pasal 5 dan Pasal 7 Deklarasi Universal HAM, tidak seorang pun boleh diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi. ”Namun, yang kita lihat, kondisi lapas overcrowded. Ini tidak manusiawi,” kata Chikita.
Penyelesaian holistik
Kepala Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti mengakui, persoalan kelebihan penghuni lapas bukan hal baru. Rata-rata nasional, hunian di lapas lebih dari 100 persen, bahkan ada yang mencapai 800 persen.
”Belum lagi kita ngomongin ketidakseimbangan jumlah petugas dan warga binaan. Masalahnya klasik. Ya, betul klasik, tetapi itulah yang terus kita hadapi,” tambahnya.
Namun, lanjut Rika, persoalan ini tak bisa semata-mata menjadi tanggung jawab Kemenkumham. Kemenkumham hanya dalam kapasitas menerima tahanan dari aparat penegak hukum dan menerima terdakwa yang telah diputuskan bersalah oleh pengadilan.
”Kami tak punya kekuatan untuk menolak masuknya tahanan ataupun narapidana. Jadi, masalah kelebihan penghuni ini harus dipecahkan bersama-sama,” ujar Rika.
Kemenkumham, menurut Rika, telah mengupayakan sejumlah hal agar persoalan penghuni yang melebihi kapasitas lapas ini tak berkepanjangan. Misalnya, pembangunan lapas, pemberian remisi, hingga pemberian asimilasi. Hal itu diklaim berhasil mengurangi hunian lapas berkisar 20-30 persen.
Namun, seiring berkembangnya waktu, kata Rika, tempat tahanan di kepolisian membeludak sehinga Kemenkumham mendapat kebijakan baru lagi untuk menerima tahanan A3 atau tahanan pengadilan yang sudah menjalani persidangan. ”Di situ, kami naik lagi, isi hunian naik lagi sampai sekarang lebih dari 100 persen,” ucap Rika.
Untuk itu, Rika sependapat dengan usulan penyelesaian persoalan kelebihan penghuni lapas ini secara holistik dimulai dengan sistem peradilan hukum di Indonesia. Menurut dia, alternatif hukuman lain patut dipikirkan bagi pelaku tindak pidana, baik berupa denda maupun kerja sosial.
Selain itu, dalam Pasal 14 KUHP, itu juga memberikan peluang pidana bersyarat untuk hukuman satu tahun ke bawah. ”Kalau ini sampai terjadi, ini juga bisa mengurangi 10-20 persen dari isi hunian,” katanya.
Kemudian, dari sisi penahanan, perlu dipikirkan juga tak harus masuk ke dalam lapas atau rumah tahanan, tetapi ditahan di luar, seperti tahanan kota. Namun, ini membutuhkan asesmen lebih lanjut dan yang bisa menentukan adalah penegak hukum.
Lalu, untuk mengurangi hunian para pelaku kasus narkotika yang kini mendominasi lapas di Indonesia, perlu dipikirkan penerapan rehabilitasi bagi para pengguna.
”Kami sangat mendukung sekali apabila pengguna direhabilitasi. Alangkah sangat berpengaruhnya apabila semua pengguna narkotika direhabilitasi tentunya setelah dilakukan asesmen bahwa mereka memang pengguna dan seharusnya diobati. Itu bisa mengurangi isi hunian lapas sampai 30 persen,” tutur Rika.