Mural tidak harus selalu berisi atau bersifat politis. Namun, jika mural bersifat politis, maka yang disuarakan keluar dari tatanan sosial. Dalam sejarah bangsa, mural pernah dijadikan medium melawan penjajah Belanda.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Menghapus mural atau grafiti berisi kritik sosial bukan perkara sulit. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, ditimpa dengan cat lain, mural atau grafiti pun hilang. Namun, sejarah panjang mural tak akan pernah terhapus. Sejarah mural di Indonesia adalah jalan perlawanan menentang kekuasaan.
Pada 3 September 1937, seorang warga Yogyakarta bernama SK Mochamad ditangkap atas tuduhan menghina penguasa. Sebagaimana dimuat dalam laporan Raden Salamoen dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dengan pangkat wedana reserse, SK Mochamad ditangkap karena menulis protes pada sebuah tembok di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan tembok di Kampung Notoyudan.
Tulisan protes tersebut adalah ”Pemerintah Poelimak!”, ”Poeki Wilhelmina”, ”Perdjoangan Rakjat Marhaen”, ”Tidak Oesah Takoet Menentang Kekoeasaan”, dan ”Pembrontakan Kita Kehendaki”.
”Ada konteksnya. Pada 1937, di Yogya ada Kongres Partai Indonesia, pecahan Partai Nasional Indonesia. Itu sebabnya ada kata perjuangan rakyat marhaen. SK Mochamad ditangkap dan dikenakan pasal penyebaran kebencian kepada pemerintah kolonial dan Kerajaan Belanda karena dia memaki-maki Ratu Belanda Wilhelmina. Jadi ekspresi melalui mural sejauh yang bisa saya ketahui melalui arsip,” tutur Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana.
Bonnie menyampaikan hal itu dalam diskusi daring ”Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi” yang diselenggarakan Public Virtue, Minggu (12/9/2021).
Meski bukan mural, Soekarno pernah membuat karikatur atau ilustrasi yang berisi sindiran terhadap pemerintah kolonial yang memukul rata semua organisasi perlawanan sebagai komunis. Karikatur berisi kritik tersebut dimuat di Fikiran Ra'jat tahun 1932.
Di masa revolusi, pengembangan mural melibatkan banyak seniman. Disebutkan bahwa ide membuat grafiti itu datang dari Tan Malaka. Mural dan grafiti saat itu bernada propaganda yang menentang kehadiran Belanda di Indonesia, meski di beberapa tempat, siapa musuh revolusi tidak pernah ditulis secara gamblang. Sebaliknya, mural dan grafiti tersebut menegaskan kehadiran dan eksistensi Republik Indonesia.
Ketika Jepang kalah yang diikuti dengan kedatangan tentara sekutu ke Indonesia, grafiti yang muncul di kota-kota besar menggunakan bahasa Inggris. Sebab, saat itu pasukan sekutu yang datang merupakan pasukan Inggris. Mural yang disampaikan kebanyakan mengenai eksistensi Republik Indonesia.
”Jadi jelas sekali bahwa mural atau grafiti itu bukan hanya berisi protes dan kritik, tetapi juga menunjukkan sikap, sekaligus memperlihatkan bahwa Republik Indonesia sudah eksis,” ujar Bonnie.
Menurut Bonnie, mural atau grafiti sebagai bentuk dari seni jalanan (street art) dianggap bukan karya seni. Sebaliknya, yang dimaksud sebagai karya seni adalah seni yang diciptakan penguasa keraton di zaman dulu. Hal tersebut, lanjut Bonnie, sebagaimana diutarakan filsuf Karl Marx, kebudayaan suatu zaman menunjukkan kelas yang berkuasa.
Penghapusan ini adalah represi atau mereka enggak ngerti seni saja, atau mentalitas asal bapak senang, mentalitas kuno. Padahal, mural atau grafiti adalah bagian dari sejarah kita dan ikut mewarnai sejarah kita melawan pemerintahan kolonial dan otoriter.
Terkait dengan penghapusan mural atau grafiti di beberapa tempat baru-baru ini, menurut Bonnie, hal itu merupakan tindakan reaktif dari aparat. Meski demikian, Bonnie justru menduga bahwa tindakan mereka disebabkan mereka tidak memahami seni.
”Penghapusan ini adalah represi atau mereka enggak ngerti seni saja, atau mentalitas asal bapak senang, mentalitas kuno. Padahal, mural atau grafiti adalah bagian dari sejarah kita dan ikut mewarnai sejarah kita melawan pemerintahan kolonial dan otoriter,” ujar Bonnie.
Pengajar Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, Surabaya, Obed Bima Wicandra, berpandangan, dalam konteks peraturan perundang-undangan sebagai hasil dari konsensus, tak ada satu daerah yang melegalkan seni jalanan dalam arti mencorat-coret tembok kota. Di daerah, hal itu tertuang dalam peraturan daerah (perda). Aparat pun akan menangkap pelanggarnya.
Berangkat dari konsep ruang publik menurut filsuf Jurgen Habermas, rupanya ruang publik tidak benar-benar dimiliki bersama-sama. Semisal taman kota yang dianggap ruang publik, di sana pun tetap ada ketentuan yang harus ditaati.
”Dan, sifat dari seni jalanan adalah melawan konsensus atau bersifat disensus. Ia ingin didengarkan, ingin tercatat, mencoba menyuarakan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang umum atau dari hasil dari konsensus,” kata Obed.
Dalam kerangka itu, menurut Obed, mural tidak harus selalu berisi atau bersifat politis. Namun, jika mural bersifat politis, maka yang disuarakan keluar dari tatanan sosial atau dari apa yang dipahami konstitusi. Sebagaimana bersifat disensus, seni jalanan harus ”merusak”, harus melawan, harus mengancam konsensus, dan harus memperjuangkan.
Kalau dihapus, ya, bikin lagi. Itulah manusia yang selalu bermain. Menurut saya apa yang terjadi itu justru membuat kawan-kawan harus membuat lagi. Itu risiko yang harus ditempuh.
Sebaliknya, seni jalanan juga harus siap untuk dirusak. Menurut dia, di situlah seni jalanan bersifat mengasyikkan karena seperti bermain-main sebagaimana manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens).
”Kalau dihapus, ya, bikin lagi. Itulah manusia yang selalu bermain. Menurut saya apa yang terjadi itu justru membuat kawan-kawan harus membuat lagi. Itu risiko yang harus ditempuh. Maka, tinggal berani atau tidak berani, mau atau tidak mau,” ujar Obed.
Menurut Board Public Virtue Research Institute John Muhammad, pertarungan gagasan dan propaganda terus terjadi sejak Reformasi 1998. Tatkala saat itu demonstrasi dilakukan mahasiswa terus-menerus, aparat keamanan membuat kampanye damai itu indah.
Sementara pemerintahan berganti, lanjut John, oligarki juga tidak tinggal diam. Mereka berupaya memengaruhi publik, semisal dengan grafiti ”piye kabare? penak jamanku toh”. John memandang bahwa melalui Reformasi 1998 terjadi desakralisasi ruang. Namun, hingga saat ini ruang itu belum direbut.
”Maka apa yang harus kita lakukan? Ya, terus lakukan protes. Kuasa warga harus terpenuhi. Kita marah, kesal, itu bukan drama, tidak mengada-ada. Belajar dari Barack Obama, lakukan politik eceran, pengaruhi orang terdekat kita, lingkungan sekitar kita, bukan langsung ke istana,” kata John.
Perlunya inisiasi masyarakat tersebut diamini pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Amalinda Savirani. Menurut Amalinda, demokrasi yang terjadi saat ini seakan mengulang yang terjadi pada tahun 1980-an. Saat itu pembangunan digenjot, sedangkan hak politik dikorbankan.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia hanya terhenti pada transisi demokrasi dan tidak beranjak ke demokrasi penuh. Pemilu memang terjadi, tetapi kebebasan sipil masyarakat tetap terbatas. Sementara demokrasi yang berjalan hanya sebatas demokrasi elektoral, mereka yang dapat ikut dalam kontestasi pemilu pun hanya segelintir elite yang memiliki sumber daya besar.
”Menurut saya, bikin terus inisiasi-inisiasi yang mengingatkan kembali, mengingatkan warga bahwa ini ada persoalan. Jadi, kalau mural dibersihkan, ya, dibikin kembali. Ini harus terus dibangun, diingatkan, dan dijadikan kesadaran bersama secara terus-menerus,” kata Amalinda.
Sebab, kebebasan berpendapat tak sepatutnya menjadi jargon kosong....