Kewenangan MPR Tetapkan PPHN Berpotensi Mengubah Relasi Kelembagaan
Dengan kewenangan menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN, MPR bakal kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Ini tak selaras dengan sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR
Presiden Joko Widodo berpidato pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Republik Indonesia di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senin (16/8/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Wacana amendemen dua pasal di Undang-Undang Dasar 1945 berpotensi mengubah relasi kelembagaan. Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang tidak sesuai dengan sistem presidensial.
Wacana amendemen dimaksud penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengubah dan menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Kedua, penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari di Jakarta, Minggu (12/9/2021), mengatakan, setiap akan melakukan amendemen konstitusi mestinya perlu disesuaikan dengan kondisi kekinian.
Menurut dia, kedua pasal yang diwacanakan untuk diamendemen dinilai sedang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan negara. Sebab kebutuhan masyarakat saat ini adalah memastikan keselamatan hidup di tengah pandemi Covid-19 dengan pelayanan kesehatan dan perlindungan yang prima dari negara. ”Negara juga tidak membutuhkan PPHN karena sudah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari
Selain itu, dampak dari penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN sangat signifikan dalam sistem ketatanegaraan. Ini berarti memosisikan MPR lagi sebagai lembaga tertinggi negara sehingga seluruh lembaga negara harus menyelenggarakan apa yang telah ditentukan MPR dalam PPHN tersebut.
Dengan demikian, akan mengubah pola relasi antarkelembagaan. Di titik tertentu, sebagai lembaga tertinggi akan berpotensi menemui kendala ketatanegaraan karena konsep itu tidak dikenal dalam sistem presidensial.
”Memang ini motifnya bukan soal kebutuhan kekinian, tetapi kebutuhan elite kekinian yang ingin memosisikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” ucapnya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Benny Kabur Harman
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR, Benny Kabur Harman, mengatakan, Demokrat menolak wacana amendemen kelima konstitusi. Menurut dia, tidak ada permasalahan mendesak yang secara sistemik perlu diselesaikan dengan mengubah konstitusi.
”Amendemen adalah sebuah sikap hasil evaluasi, jadi tidak bisa dilakukan begitu saja,” katanya.
Menurut dia, usulan penambahan kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN agar ada kesinambungan pembangunan tidak diperlukan. Ketidaksinambungan pembangunan saat ini dinilai karena kehilangan arah kepemimpinan, bukan karena ketiadaan garis besar haluan negara (GBHN). ”Apalagi GBHN tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan kita,” katanya.