Korupsi era reformasi kini memasuki lingkup keluarga. Suami-istri-anak dan kadang keponakan ikut terlibat dalam penggarongan uang rakyat.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Kisah penangkapan pasangan istri-suami Puput Tantriana Sari-Hasan Aminuddin menandai runtuhnya dinasti politik di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Dinasti itu sudah berkuasa 17 tahun dan kini roboh karena ketahuan ”menjual” kursi jabatan penjabat kepala desa. KPK mencokoknya.
Pada periode 2003-2013, Hasan Aminuddin adalah bupati Probolinggo. Selesai dua periode, undang-undang tak mengizinkan Hasan menambah kekuasaan menjadi tiga periode. Hasan pun ”meng-endorse” istrinya, Puput Tantriana Sari, sebagai bupati dan terpilih pada periode 2013-2018 dan kemudian terpilih lagi pada periode 2018-2023. Pada periode kedua, pasangan Puput unggul 54,93 persen suara atas pesaingnya.
Pada September 2021, KPK menangkap Puput dan Hasan atas tuduhan menerima suap terkait pengisian jabatan penjabat kepala desa. Dan, dalam proses penjualan jabatan di Kabupaten Probolinggo itu, peran Hasan yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem sangat tampak. Pasangan istri-suami itu kini menjadi tahanan KPK.
Korupsi era reformasi kini memasuki lingkup keluarga. Suami-istri-anak dan kadang keponakan ikut terlibat dalam penggarongan uang rakyat. Pundi-pundi kekayaan lewat jual beli kursi seharga Rp 20 juta dikumpulkan atau lewat komisi proyek seperti di Kabupaten Banjarnegara. Sudah banyak pasangan suami-istri yang ditangkap KPK karena isu korupsi atau bahasa rakyatnya: penggarongan uang rakyat.
Dinasti politik di era demokrasi kian menjamur. Prinsip demokrasi justru digunakan sebagai argumen sahnya politik dinasti. Kekuasaan beralih atau dialihkan dari suami ke istri atau ke anak-menantu dan mempersilakan rakyat memilih. Namun, di balik layar, orang kunci itulah yang bermain kotor.
Kisah menjual kursi kepala desa, lurah, kepala bagian, kepala dinas, kepala kantor wilayah, sudah jamak terjadi. Korupsi kian menjadi-jadi justru di era demokrasi. Kisah jual beli jabatan di Probolinggo boleh jadi hanya meniru kisah serupa di Nganjuk, Klaten, Tanjungbalai, serta daerah lain yang dengan mudah bisa diakses mesin pencari.
Bahkan, catatan sejarah menunjukkan praktik jualan jabatan atau disebut venality of office adalah praktik lazim sebelum abad ke-19. Pada abad ke-18, VOC banyak menjual kedudukan-kedudukan yang berhubungan dengan perdagangan kepada penawar tertinggi. Korupsi di tubuh VOC membuat asosiasi dagang itu bubar (Korupsi Mengorupsi Indonesia, halaman 864).
Situasi itu sungguh mengkhawatirkan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama yang Kamis 9 September 2021 tepat setahun berpulang. Dalam beberapa kesempatan, Jakob selalu menggugat dan mempertanyakan, mengapa korupsi masih saja terus terjadi, padahal sistem politik kini lebih terbuka. Sistem politik telah berubah dari otokrasi menjadi demokrasi.
”Jangan-jangan kultur bangsa ini masih sangat feodal. Tidak bisa membedakan yours and mine. Milikmu dan milik saya,” ucapnya seraya terus mengingatkan, ”Hati-hati nek mrucut.” Alarm sistem pengingat dini telah disuarakan tentang bahaya korupsi.
Kisah jual-beli kursi jabatan—yang kadang dibungkus dengan istilah keren lelang jabatan—kembali mengingatkan saya pada sastrawan Budi Darma. Saya teringat Budi Darma bukan hanya karena cerpen-cerpennya yang sangat terkenal, ”Orang-Orang Bloomington” (1981) misalnya, tetapi juga pada penggalan puisi yang pernah dibacakan di harian Kompas pada tahun 2013.
Berikut penggalannya:
Burung kenari berkekah/
Berkekah di tengah padang/
Jika tidak berani menjarah/
Tiada syah menjadi hulubalang//
Sastrawan itu memberi tafsir penggalan puisi. Untuk menjadi hulubalang waktu itu, seorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatannya, orang itu harus menjarah uang rakyat, uang negara.
Kekayaan hasil jarahan itu kemudian disembunyikan dan tidak dilaporkan dalam laporan kekayaan kepada KPK. Terbukti banyak data kekayaan yang dilaporkan penyelenggara negara adalah abal-abal. Sekadar formalitas saja karena undang-undangnya mandul. Ada kewajiban tanpa sanksi.
Drama berseri soal korupsi sejak zaman VOC hingga reformasi kian menguatkan korupsi telah menjadi penyakit komorbid bangsa. Korupsi menjadi endemi dan kita harus hidup dengan korupsi. Seorang anggota DPR pernah bercerita, rakyat di bawah sudah sangat materialistik. Semuanya serba uang. Karena itu, ketika ada rumor atau gagasan perpanjangan masa jabatan presiden-DPR-DPD dijajakan, ia merespons itu bisa kita pikirkan.
”Daripada keluar uang Rp 16 miliar untuk biaya kampanye, kan mending ikut rombongan perpanjangan kekuasaan.”
Namun, bukankah cara itu merupakan gratifikasi konstitusional, tanya saya. Dia pun tertawa. ”Lihatlah masyarakat di bawah sekarang seperti apa,” ucapnya ringan.
MA Uwe Dolata, pakar yang menganalisis korupsi dan kultur, seperti dikutip Sindhunata dalam buku Negara Bangsa di Simpang Jalan (2021), menyebut, korupsi di negeri ini tidak hanya situatif dan struktural, tetapi endemis.
Korupsi telah bersarang dalam batin seseorang menjadi kegiatan bawah sadar yang tidak lagi terkontrol oleh rasio. Korupsi mewabah tidak hanya situasi dan struktur memungkinkan dan memaksanya, tetapi manusia sungguh-sungguh korup dalam dan dari batinnya.
Itu tampak dari perilaku elite yang begitu serakah dan tidak punya rasa malu lagi dalam melakukan korupsi. Keluar dari pemeriksaan masih cengengesan, melambaikan tangan. Dan, setelah keluar dari tahanan masih terbuka peluang untuk menjadi penyuluh antikorupsi.
Kembali saya teringat pada obrolan dengan Pak Jakob, ”Mas, hati-hati nek mrucut.” Alarm pengingat menyala. Mungkin bangsa ini harus sabar menanti datangnya pemimpin baru yang punya komitmen memberantas korupsi dalam tindakan, bukan pernyataan.