Ikhtiar Merapikan Data Terorisme yang Tercerai-berai
Ketiadaan basis data terkait orang-orang yang pernah terlibat dalam kelompok teroris menjadi salah satu persoalan pemerintah dalam mencegan dan menanggulangi terorisme di Tanah Air.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Belakangan ini, Indonesia belum memiliki data yang komprehensif seputar tindak pidana terorisme. Akibatnya, pola penanggulangan tindak pidana tersebut cenderung parsial. Padahal, dengan keberadaan data yang utuh, para pemangku kepentingan dapat membuat kebijakan secara lebih presisi, serta memetakan kecenderungan operasi atau target yang akan dipilih oleh para calon pelaku teror secara lebih lengkap.
Sejak Januari 2021, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Salah satu fokus dari perpres tersebut ialah ketersediaan data pendukung untuk menentukan kebijakan yang efektif dalam upaya pencegahan terorisme di Indonesia.
Selain itu, dalam Pasal 43D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ketersediaan data terkait terorisme juga menjadi tuntutan yang tak kalah penting dalam upaya deradikalisasi. Dari enam kategori orang yang perlu dideradikalisasi, salah satunya adalah mantan narapidana terorisme.
”Namun, data terkait orang-orang yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme mungkin tercerai-berai dan tidak mudah untuk didapatkan atau dikumpulkan,” ujar Deputi III Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto dalam peluncuran ”Database Geospasial Tindak Pidana Terorisme Indonesia”, Kamis (9/9/2021).
Menurut Andhika, ketersediaan basis data yang komprehensif dan terintegrasi akan sangat berguna bagi para aparat penegak hukum, misalnya mempercepat proses peradilan dan tahapan-tahapan pasca-peradilan, seperti proses rehabilitasi di lembaga-lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Bagi para pengambil kebijakan, basis data itu juga dapat membantu untuk menentukan kebijakan terkait upaya pencegahan terorisme.
Sebaliknya, dengan tidak ada pusat data terorisme yang terbuka dan terintegrasi, sejumlah tantangan akan terus muncul, seperti lambatnya upaya deradikalisasi di dalam dan di luar lapas, lambatnya proses pemetaan daerah rawan radikalisme terorisme, serta sulitnya menentukan kebijakan yang tepat.
Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) Athor Subroto pun menegaskan, dengan basis data yang kuat, kebijakan terkait penanggulangan, pencegahan, dan penindakan aksi terorisme akan lebih presisi. Dengan begitu, harapannya, dampak negatif yang timbul di dalam masyarakat juga tertanggulangi lebih dini.
Data pendukung
Basis data geospasial tindak pidana terorisme Indonesia dapat diakses melalui laman https://database.cds.or.id. Basis data ini dibuat oleh Center for Detention Studies (CDS) dengan didasarkan pada berkas putusan pengadilan. Tak hanya itu, basis data juga diintegrasikan dengan pusat informasi pencegahan dan penanggulangan terorisme milik BNPT yang dikenal dengan Indonesia Knowledge Hub on Countering Terrorism and Violent Extremism (I-KHub).
Dalam basis data terorisme CDS ini, terdapat berbagai informasi seputar tindak pidana terorisme di Indonesia, mulai demografi pelaku terorisme, karakteristik jaringan, pola pemidanaan, hingga peta persebaran kasus. Semua data itu dirangkum dalam sebuah indeks, baik secara data kuantitatif maupun grafis.
Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval menyampaikan, data ini sangat dibutuhkan untuk riset-riset akademis, referensi media dan masyarakat terkait informasi penanganan terorisme di Indonesia. Lebih utama, data ini dapat pula dimanfaatkan sebagai data pendukung perencanaan program intervensi penanggulangan terorisme di Indonesia oleh instansi pusat dan daerah.
”Secara sosiologis, para pelaku memiliki jaringan-jaringan yang sebenarnya memiliki keterkaitan antara aksi dan pola yang sudah direncanakan. Secara kultur, asal atau daerah pelaku bisa dipetakan dan bisa tergambar secara jelas wilayah atau daerah mana saja. Dari data ini, penanganan kita terhadap aksi terorisme ke depan bisa lebih terarah,” ucap Ali.
Ancaman nyata
Menteri Koordinator Bidag Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui Asisten Deputi Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Kemenko Polhukam Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Pristiwanto mengatakan, basis data CDS sangat membantu pemerintah dalam penanggulangan terorisme.
Ia menyebut, data itu tak hanya digunakan untuk menyediakan informasi bagi para aparat penegak hukum, tetapi juga bisa menjadi dasar dalam menganalisis efek dari sebuah perubahan undang-undang ataupun rancanganan kebijakan pemerintah.
Mahfud menyadari, permasalahan Indonesia selama ini adalah ketiadaan basis data terkait orang-orang yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme. Selain itu, belum ada pula penelitian kuantitatif berdasarkan perspektif geografis atau geospasial terhadap perkembangan aksi terorisme di Indonesia saat ini. Alhasil, aparat kesulitan menangkap para terduga terorisme.
Apalagi, kini modus penyebaran radikalisme terorisme semakin canggih. Mereka tak lagi menyebarkan paham melalui kelompok pengajian, lembaga pendidikan pondok pesantren, rumah ibadah, dan hubungan keluarga, tetapi memanfaatkan media sosial.
”Bahkan, saat ini, perkembangan paham radikal terorisme juga telah menyasar kelompok anak-anak dan perempuan. Perkembangan terorisme di Indonesia, masyarakat ini, menjadi sangatlah pesat dan semakin sulit dideteksi,” kata Mahfud.
Hingga Agustus 2021, setidaknya 53 orang terduga teroris telah ditangkap di 11 provinsi. Kesebelas provinsi itu ialah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, dan Jambi.
”Jumlah ini sangat dimungkinkan akan bertambah lagi mengingat aparat penegak hukum tak pernah diam dalam memburu para terduga teroris,” ujar Mahfud.
Pada 2021, pemerintah melalui BNPT telah membentuk tim sinergitas kementerian/lembaga dalam penanggulangan terorisme. Tim tersebut terdiri atas 46 kementerian/lembaga dengan fokus penanggulangan di lima provinsi kunci, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah.
Data terkait orang-orang yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme mungkin tercerai-berai dan tidak mudah untuk didapatkan atau dikumpulkan.
Namun, menurut Mahfud, dengan pergeseran pola dan wilayah aksi teror, aktivitas pelaku teror kini tak hanya terkonsentrasi pada lima provinsi itu, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. ”Terorisme ini sungguh menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia,” ucapnya.
Menemukan kecenderungan
Pengajar di SKSG UI, Broto Wardoyo, berpendapat, basis data CDS ini sangat mungkin digunakan dalam konteks pencegahan. Dengan mengetahui pola kelompok-kelompok tertentu dalam melakukan operasinya, akan bisa dikaji pula kecenderungan operasi yang akan dipilih atau kecenderungan target yang akan dipilih oleh suatu kelompok tertentu.
”Dari situ, kita bisa membuat skenario-skenario sebetulnya yang bisa berguna untuk pencegahan,” ujar Broto.
Ia pun berharap, ke depan, basis data ini dapat dikembangkan oleh berbagai pihak untuk membuat kebijakan kontraterorisme yang lebih terstruktur. Artinya, kebijakan itu harus fokus pada punitif dan preventif, serta harus efektif dan demokratis.
Peneliti terorisme yang juga Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura, Noor Huda Ismail, menambahkan, pekerjaan rumah yang penting kali ini soal koordinasi antar-kementerian dan lembaga. Dengan begitu, tak ada lagi tumpang-tindih dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.