Perlunya Audit Kesiapan Mitigasi Bencana dalam Lapas
Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat mengatakan, setelah kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, Kemenkumham didorong mengaudit rasio jumlah sipir dan warga binaan, selain melatih sipir untuk atasi jika terjadi kebakaran.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah tragedi kebakaran Lembaga Pemasyarakat I Tangerang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia didorong untuk mengaudit rasio kecukupan antara jumlah sipir dan warga binaan di lapas. Selain itu, petugas lapas juga diharapkan mendapatkan pelatihan secara berkala untuk menghadapi situasi darurat seperti kebakaran. Hal ini dilakukan agar mitigasi bencana di lingkungan lapas lebih baik ke depannya dan peristiwa serupa tak terulang kembali.
Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat saat dihubungi, Jumat (10/9/2021), mengatakan, dari pantauan ORI, rasio antara sipir dan warga binaan memang terlihat masih kurang. Di Lapas Kelas 1 Tangerang, hanya ada 13 petugas untuk menjaga 2.087 tahanan dan narapidana. Padahal, idealnya, satu petugas jaga menjaga 20-25 napi/tahanan. Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan apabila ada kejadian seperti kebakaran, tentu tidak bisa diatasi dengan cepat. Apalagi, jika kejadian di malam hari. Petugas akan panik sehingga tidak bisa mengatasi persoalan dengan cepat dan tanggap.
”Mitigasi bencana bisa di lapas yang berkapasitas lebih bisa dilakukan misalnya dengan menerapkan teknologi yang bisa cepat membuka pengamanan berlapis saat bencana, sehingga kunci bisa terbuka secara serentak. Namun, pengamanannya tetap dilakukan secara berlapis,” kata Jemsly.
Semoga setelah ini, Ditjen PAS Kemenkumham sudah memiliki rencana untuk kecukupan SDM. Karena hal itu juga berkaitan dengan persetujuan anggaran. (Jemsly Hutabarat)
Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, total jumlah SDM di lapas 33.895 orang. Mereka harus melakukan tugas pelayanan untuk 266.514 warga binaan. Tentu saja, rasio kecukupan sumber daya manusia ini menjadi persoalan serius di manajemen pengelolaan lapas. Hal ini juga dinilai juga bisa menurunkan profesionalitas para petugas lapas saat melayani warga binaan.
”Semoga setelah ini Ditjen PAS Kemenkumham sudah memiliki rencana untuk kecukupan SDM. Karena hal itu juga berkaitan dengan persetujuan anggaran,” kata Jemsly.
Kelengahan internal
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, pemerintah harus terbuka apabila memang ada kelengahan dari internal dalam konteks mitigasi kebakaran di Lapas kelas I Tangerang. Misalnya, terkait tidak mencukupinya rasio petugas lapas dengan jumlah warga binaan. Sedikitnya jumlah petugas lapas itu akan berpengaruh pada keterbatasan kinerja pengawasan mereka.
Hal ini juga diperparah dengan fasilitas mitigasi kebakaran yang minim di lapas. Petugas akan kocar-kacir mencari alat pemadam api, sementara api dengan cepat menyebar. Petugas pun kesulitan masuk untuk membuka kunci sel yang terbakar. Apalagi, kalau mereka tidak dibekali dengan alat pelindung diri (APD) untuk menembus api. Wajar jika kemudian korban meninggal dunia mencapai 44 orang warga binaan.
”Kemampuan mereka sangat terbatas saat menghadapi situasi krisis seperti kebakaran kemarin. Ini diperparah dengan fasilitas mitigasi kebakaran yang minim,” kata Adrianus.
Terkait dengan minimnya jumlah petugas jaga lapas ini, Adrianus percaya bahwa sebenarnya setiap tahun Ditjen PAS pasti mengajukan alokasi pegawai baru kepada Sekretariat Jenderal Kemenkumham. Namun, karena keterbatasan anggaran, jumlah penjaga yang bisa dipenuhi tidak sesuai dengan harapan.
Para petugas yang jumlahnya minim ini pun, idealnya harus mendapatkan pelatihan manajemen kondisi krisis seperti bencana dan kebakaran secara berkala. Dengan begitu mereka tidak hanya menguasai prosedur standar operasi (SOP) mitigasi kebencanaan, tetapi juga terampil dalam praktiknya. Sayangnya, pelatihan berkala ini juga kerap terganjal masalah klasik anggaran. Selain dari anggaran rutin pemerintah, pelatihan juga kerap dilakukan setiap lapas dengan sumber pendanaan bantuan dari luar.
Pejabat Humas Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, pihaknya tentu akan mengaudit dan mengevaluasi kekurangan yang terjadi dalam insiden kebakaran di Lapas I Tangerang. Dia mengakui bahwa jumlah petugas lapas masih jauh dari ideal jika dibandingkan dengan jumlah warga binaan. Apalagi, dari 526 unit pelayanan teknis (UPT) pemasyarakatan di 33 kantor wilayah (kanwil) di Indonesia, 76 persen (401 UPT) telah kelebihan penghuni. Bahkan, 41 persen di antaranya (217 UPT) mengalami kelebihan penghuni lebih dari 100 persen. Dari kapasitas lapas dan rumah tahanan 135.561 orang, per Agustus 2021 jumlah warga binaan mencapai 266.514 orang.
Pemerintah harus terbuka apabila memang ada kelengahan dari internal dalam konteks mitigasi kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang. Misalnya, terkait tidak mencukupinya rasio petugas lapas dengan jumlah warga binaan. (Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala)
”Selain mengajukan tambahan personel petugas lapas, Kemenkumham juga sudah menerapkan berbagai kebijakan seperti remisi dan asimilasi yang telah mengurangi penghuni lapas sampai dengan 30 persen selama pandemi Covid-19 ini. Ini diharapkan mengurangi beban mereka saat mengawasi warga binaan,” papar Rika.
Rika juga mengatakan bahwa para petugas lapas memang mendapatkan pelatihan mitigasi situasi darurat seperti kebakaran. Namun, pelatihan peningkatan itu selama ini masih tergantung pada setiap lapas. Kemenkumham belum bisa melakukan pelatihan peningkatan kapasitas secara berkala, karena lagi-lagi terkendala alasan klasik anggaran.
Inovasi baru
Lebih jauh Adrianus mengatakan, untuk mengatasi masalah klasik itu, pemerintah mutlak harus melakukan inovasi baru. Inovasi selama ini kerap dilakukan Kemenkumham, tetapi masih terbatas mengejar status Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Inovasi terkait dengan peningkatan kapasitas petugas lapas masih minim. Mengapa inovasi WBK WBBM yang dikejar, karena jika mereka mendapatkan gelar itu, akan mendapatkan insentif dari Kementerian Keuaangan.
”Harus ada inovasi lain yang ditingkatkan untuk meningkatkan pelayanan terhadap warga binaan, misalnya soal higienitas, pemenuhan nutrisi, dan hak-hak lainnya dari warga binaan, agar mereka merasa diperlakukan dengan baik saat berada di lapas,” kata Adrianus.