Tak Bertetangan dengan Aturan di Atasnya, MA Tolak Uji Materi Perkom KPK tentang TWK
MA tolak uji materi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Meski demikian,75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan tetap tunggu keputusan Presiden.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Agung menolak uji materi Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. MA menyatakan bahwa Perkom 1/2021 tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya sehingga tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, pasca putusan itu, 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), menunggu keputusan presiden.
Putusan hak uji materi Pasal 5 ayat (4) Perkom 1/2021 itu dibacakan oleh majelis hakim yang terdiri dari Ketua Majelis Supandi, hakim anggota Yodi Martono Wahyunadi, dan Is Sudaryono, Kamis (9/9/2021). Hak uji materi dasar hukum pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) itu diajukan oleh mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo dan Farid Andhika.
Adapun, Pasal 5 ayat (4) Perkom 1/2021 berbunyi selain menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk memenuhi syarat ayat (2) huruf b dilaksanakan asesmen TWK oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi saat dikonfirmasi mengatakan, dengan ditolaknya hak uji materi itu, MA menyatakan bahwa Perkom 1/2021 tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Peraturan yang dimaksud adalah Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, dan Putusan MK Nomor 34/PUU-XIX/2021, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. “Perkom 1/2021 tetap berkekuatan hukum mengikat,” tutur Sobandi.
“Perkom 1/2021 tetap berkekuatan hukum mengikat” (Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi)
Dalam pertimbangannya, MA berpandangan bahwa desain alih status pegawai KPK menjadi ASN secara substansi telah sesuai dengan UU 5/2014 tentang ASN dan peraturan pelaksanaannya. Salah satu cara yang diterima sebagai ukuran obyektif untuk pengisian jabatan itu adalah tes wawasan kebangsaan (TWK). Sebab, TWK juga dipakai sebagai syarat seleksi dan pengembangan karier ASN.
Selain itu, majelis hakim juga berpandangan bahwa Perkom 1/2021 merupakan peraturan pelaksanaan dari PP 41/2020 dan UU 19/2019. Asesmen TWK dalam Perkom 1/2021 merupakan sarana atau norma umum yang berlaku bagi pegawai KPK sebagai persyaratan formal yang dituangkan dalam regulasi kelembagaan untuk memperoleh output pegawai KPK yang setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah. Hal itu pun diatur dalam PP 41/2020.
“Para pemohon tidak dapat diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom 1/2021 yang dimohonkan pengujian, tetapi karena asesmen TWK para pemohon sendiri yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan tindak lanjut dari asesmen TWK itu menjadi kewenangan pemerintah,” ucap majelis hakim dalam putusan.
Selain itu, majelis berpendapat bahwa Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang ditegaskan kembali dalam putusan MK Nomor 34/PUU-XIX/2021 berkaitan dengan pasal 23 ayat (1) huruf (a) PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang mengatur tentang usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun. Usia itu dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi ASN. Pertimbangan tersebut dinilai tidak terkait dengan asesmen TWK. Sehingga, pertimbangan kedua putusan MK dianggap tidak dapat diterapkan terhadap norma asesmen TWK yang diatur dalam Perkom 1/2021.
Sebelumnya, dalam permohonannya, pemohon meminta agar MA menyatakan pasal 5 ayat (4) Perkom 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN bertentangan dengan UU 19/2019 tentang KPK dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Selain itu, mereka juga meminta agar MA menyatakan bahwa Perkom 1/2021 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menunggu keputusan presiden
Salah satu pemohon Farid Andika mengatakan, pihaknya menghargai putusan MA. Sejak awal, dirinya menduga, putusan MA tidak akan banyak bertentangan dengan putusan MK. Sekarang, harapan dari 75 pegawai KPK yang dianggap tidak memenuni syarat (TMS) TWK adalah kepada presiden. Presiden berwenang untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan bahwa ada pelanggaran HAM dalam proses TWK. Adapun, laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman RI juga menunjukkan bahwa ada maladministrasi dalam pelaksanaan TWK.
“Sekarang, bolanya ada di presiden. Mungkin, memang dasar hukum TWK benar dan konstitusional, tetapi bagaimana dengan pelaksanaannya yang dianggap melanggar HAM oleh Komnas HAM dan maladministrasi oleh ORI. Presiden berwenang untuk mengambil alih persoalan pelaksanaan TWK,” kata Farid.
Sementara itu, Yudi Purnomo mantan Ketua Wadah Pegawai KPK mengatakan, dalam putusannya, hakim MA jelas menyatakan bahwa tindak lanjut dari asesmen TWK merupakan kewenangan pemerintah, bukan KPK. oleh karena itu, pegawai yang dinonaktifkan menunggu kebijakan dari presiden terhadap hasil asesmen TWK pegawai KPK yang saat ini belum diangkat sebagai ASN.
"Putusan MK maupun MA tidak menggugurkan hasil rekomendasi Komnas HAM dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman RI yang menyatakan bahwa pelaksanaan TWK bermasalah" (ahli hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura)
"Walaupun putusan MA tidak berbeda jauh dari putusan MK, proses pelaksanaannya harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Namun, kenyataannya temuan ORI menunjukkan ada maladministrasi, dan 11 pelanggaran HAM hasil temuan dari Komnas HAM," kata Yudi.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, baik putusan MK maupun MA tidak menggugurkan hasil rekomendasi Komnas HAM dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman RI yang menyatakan bahwa pelaksanaan TWK bermasalah. Oleh karena itu, presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN harus mengambil alih kebuntuan persoalan alih status pegawai KPK ini.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17/2020 tentang Manajemen ASN, presiden adalah presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian ASN. Presiden juga dapat mendelegasikan kewenangan dan menetapkan pengangkatan ASN kepada pimpinan lembaga di lembaga pemerintah non kementerian. Pendelegasian itu dapat ditarik lagi oleh presiden jika ada pelanggaran sistem merit yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atau untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan negara.
“Presiden sebelumnya mengatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai lama. Sekarang, 75 pegawai yang TMS ini menunggu presiden mengembalikan hak mereka yang direnggut oleh TWK bermasalah. Presiden memiliki wewenang untuk melaksanakan rekomendasi dari Komnas HAM dan ORI,” kata Charles.
Menurut Charles, presiden selaku PPK tertinggi ASN seharusnya mempertimbangkan berbagai kejanggalan pelaksanaan TWK yang ditemukan ORI dan Komnas HAM. Proses TWK yang dianggap maladministrasi dan melanggar HAM itu, seharusnya tidak menjadi penentu utama alih status pegawai KPK menjadi ASN. Seharusnya, 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat dapat dibina sampai wawasan kebangsaannya membaik, dan dapat dialihstatuskan menjadi ASN.
“Sekarang bolanya ada di presiden. Presiden jangan sampai lepas tangan dengan persoalan ini karena wewenang pembinaan ASN yang tertinggi itu ada pada dirinya,” kata Charles. (DEA)