Perlu Sanksi Tegas untuk Tingkatkan Efektivitas LHKPN
Sanksi administrasi yang selama ini diberlakukan bagi para pejabat negara yang tak melaporkan harta kekayaan dinilai tak efektif. Sanksi tegas dari pidana hingga perampasan aset, perlu diatur untuk tingkatkan kepatuhan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sanksi tegas diyakini dapat meningkatkan kepatuhan dan keakuratan dalam penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Tak cukup sanksi administrasi, hukuman yang diberikan bagi mereka yang tak taat bisa dalam bentuk pidana hingga perampasan aset. Tanpa sanksi tegas pada peraturan perundang-undangan, LHKPN tidak akan efektif mencegah terjadinya korupsi.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, dalam sejarah awal reformasi melalui Ketetapan MPR terdapat satu paket undang-undang dalam upaya pemberantasan korupsi yakni UU KPK; UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta UU Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah (Illicit Enrichment).
Dari tiga undang-undang tersebut, hanya UU Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah yang sampai sekarang belum juga dibentuk. Padahal, ketentuan sanksi terkait dengan LHKPN semestinya diatur dalam UU dimaksud.
“Direncanakan semua sanksi sebenarnya di situ (RUU Peningkatan Kekayaan secara Tidak Sah). Sanksi kalau tidak kirim LHKPN, sanksi di LHKPN tidak sesuai dengan profil, baru diambil hartanya. Jadi, sanksinya di situ. Makanya, jadi pincang. Ini jadi aneh. Wajib menyampaikan LHKPN, tetapi tidak ada sanksinya. Sanksi pidana ya, jangan sanksi administratif,” kata Pahala ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (8/9/2021).
Sebelumnya, Pahala menyampaikan, dari 2018 hingga 2020, KPK memeriksa LHKPN milik 1.665 penyelenggara negara. Hasilnya, 95 persen laporan dinyatakan tidak akurat.
Selain persoalan keakuratan data, belum seluruh penyelenggara negara patuh menyerahkan LHKPN. Berdasarkan data kepatuhan penyerahan LHKPN 2020 per 31 Agustus 2021, tingkat kepatuhan secara nasional sebesar 96,7 persen. Ini dengan rincian 90,54 persen anggota legislatif sudah menyerahkan LHKPN, eksekutif 96,81 persen, yudikatif 98,52 persen, dan BUMN/BUMD 98,38 persen.
Menurut Pahala, LHKPN menjadi kurang efektif untuk pencegahan dan penindakan korupsi karena tidak ada sanksi tegas yang diberlakukan. Selama ini, penyelenggara negara yang tidak membuat LHKPN hanya mendapatkan sanksi moral.
Selain itu juga sanksi administrasi dari atasan, seperti penundaan promosi, teguran tertulis, atau tidak mendapatkan akses tunjangan kinerja setiap bulan. Sanksi tersebut ditentukan oleh masing-masing pimpinan.
Pahala menegaskan, sanksi pidana dan perampasan harta diyakini dapat memaksa para pejabat taat melaporkan kekayaannya secara rutin. Dengan sanksi tersebut, ketika laporan yang dibuat tidak sesuai dengan harta yang dimilikinya, maka penyelenggara negara tidak akan memberikan alasan lupa saat dikonfirmasi. Tanpa ada sanksi tersebut, mereka akan asal-asalan dalam mengisi LHKPN.
LHKPN, lanjut Pahala, sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Ketika ada transaksi yang tidak sesuai atau mencurigakan, maka LHKPN dapat digunakan untuk menjerat pejabat yang bersangkutan.
Mantan Wali Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rizal Effendi, memilih patuh melaporkan LHKPN demi memberikan contoh yang baik kepada seluruh pejabat pemerintah. Ia, bahkan, sudah 13 kali menyerahkan LHKPN.
Dari penelusuran data LHKPN KPK, Rizal mulai melaporkan harta kekayaannya pada 10 Juli 2006 saat menjabat Wakil Wali Kota Balikpapan periode 2006-2011. Sejak saat itu, hampir setiap tahun Rizal membuat LHKPN. Rizal terakhir kali menyampaikan LHKPN pada 31 Desember 2020 saat menjabat Wali Kota Balikpapan untuk jenis laporan akhir menjabat.
“Ini melatih kejujuran dan disiplin. Kita hati-hati dalam pengelolaan dan kepemilikan aset,” kata Rizal. Ia mengungkapkan, penyampaian LHKPN harus dilakukan dengan jujur agar tidak menjadi persoalan di kemudian hari.
Menurut Rizal, agar kepatuhan dan keakuratan LHKPN mencapai seratus persen, maka KPK perlu membuka ruang untuk konsultasi. Ini penting agar penyelenggara negara tidak khawatir untuk menyampaikan LHKPN. Konsultasi semacam itu sudah diterapkan di lingkungan Pemerintah Kota Balikpapan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, LHKPN sangat penting untuk mengetahui kewajaran penghasilan dari penyelenggara negara.
Akan tetapi, sayangnya, tingkat kepatuhan penyelenggara negara menyampaikan LHKPN selalu rendah. Hal itu ditengarai terjadi karena UU mewajibkan LHKPN tanpa disertai dengan sanksi yang jelas. “Hanya ada sanksi administrasi, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut,” kata Zaenur.
Oleh karena itu, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme perlu dirombak. Perubahan salah satunya dilakukan untuk menambah sanksi administratif dan pidana bagi penyelenggara yang tak melaporkan harta kekayaannya.
Cara lain yang bisa ditempuh yakni dengan membuat peraturan pemerintah yang khusus mengatur LHKPN. Namun, cara ini tidak bisa disertai dengan sanksi pidana. Peraturan ini hanya bisa memperjelas sanksi administratif yang diatur dalam UU.
Selain itu, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah bisa mengancam pejabat atau pegawai yang tidak lapor LHKPN sebagai bentuk pelanggaran berat kode etik. Zaenur menegaskan, LHKPN adalah kewajiban UU, sehingga barangsiapa yang tidak melaporkan LHKPN atau melaporkan dengan tidak benar artinya melanggar UU.
Zaenur menuturkan, LHKPN juga akan dianggap penting ketika UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur sanksi perampasan penambahan harta kekayaan penyelenggara negara secara tidak wajar. Ketentuan itu sebenarnya sudah dimuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi.
“Itu akan lebih efektif lagi untuk memacu kepatuhan dari penyelenggara negara melaporkan LHKPN, baik kepatuhan pelaporan maupun kebenaran informasi dari LHKPN yang dilaporkan. Tanpa ada sanksi yang tegas dalam peraturan perundang-undangan, maka LHKPN ini selamanya tidak akan bisa efektif dan bermanfaat dalam upaya mencegah korupsi di Indonesia,” tuturnya.