Biografi Soeharto tak semata bercerita tentang pribadi Presiden Ke-2 RI itu. Dari biografi Soeharto itu pula tergambar perjalanan bangsa Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
ARSIP AGUS DERMAWAN
Lukisan tentang Presiden Soeharto karya Lim Hui Yung yang dipajang di Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Presiden Soeharto bisa dikatakan kepala negara terkuat pada masanya. Seperti para pemimpin kuat negara dunia ketiga lain, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Kuba Fidel Castro, Presiden Libya Muammar Khadafi, dan pemimpin Korea Utara Kim Il Sung, Soeharto berkuasa sangat lama. Selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia, Amerika Serikat tujuh kali berganti presiden.
Suka tidak suka, di era pemerintahan Soeharto pula perekonomian Indonesia tumbuh positif. Bahkan, di awal 1990-an, Indonesia sempat disebut sebagai ”Macan Asia”.
Tentu saja hal ini paralel dengan kegandrungannya akan ”stabilitas yang mantap dan terkendali”. Demi alasan stabilitas, selama bertahun-tahun demokrasi dikungkung. Tidak heran kalau banyak pihak yang menudingnya sebagai diktaktor.
Akan tetapi, lepas dari segala kontroversi itu, Soeharto adalah sosok yang menarik. Ia sendiri sering menyebut dirinya sebagai anak petani. Anak Desa Kemusuk yang memantik mimpi jutaan anak Indonesia pada masanya untuk meraih masa depan yang lebih cerah, apa pun latar belakangnya.
KOMPAS/RB SUGIANTORO
Dua pabrik baru-masing-masing pabrik Petrokimia di Gresik, Jawa Timur, dan Pabrik tepung terigu Bogasari, dan perluasan pabrik semen Gresik, Senin, 10 Juli 1972, diresmikan Presiden Soeharto. Tampak Ny Tien Soeharto menggunting pita tanda peresmian pabrik tepung terigu Bogasari.
Jangan lupa, Soeharto lahir tahun 1921, di tengah kemiskinan dan penjajahan Belanda, dilanjutkan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan. Soeharto juga tidak berdarah biru dan tidak pernah sekolah di luar negeri sebagaimana para elite pergerakan saat itu.
Jejaknya di politik juga minim. Apalagi, jika dibandingkan Soekarno yang jejak politiknya bahkan terlacak sejak remaja. Saat usianya masih belasan tahun, duduk dan berdiskusi tentang perkembangan politik di dalam maupun luar negeri sudah menjadi aktivitas sehari-hari Soekarno di rumah kos milik aktivis HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam.
”Pertanyaannya adalah bagaimana dan mengapa orang seperti Soeharto bisa naik ke kekuasaan dan bertahan selama itu?” kata Indonesianis Ben Anderson dalam kata pengantar buku Young Soeharto: The Making of a Soldier: 1921-1945.
Kompas
David Jenkins, penulis buku Young Soeharto: The Making of a Soldier: 1921–1945, menjelaskan masa kecil Soeharto, Rabu (8/9/21).
Buku ini adalah buku pertama dari trilogi biografi Soeharto yang ditulis David Jenkins, jurnalis asal Australia yang bertugas di Indonesia. Pada tahun 1984, Jenkins menerbitkan bukunya yang fenomenal, Soeharto and His Generals. Buku itu membuat ia sempat dilarang masuk Indonesia hingga tahun 1993. ”Kemudian Jenderal Soemitro bertanya pada saya, bagaimana caranya supaya kamu kembali?,” cerita Jenkins yang kemudian kembali bekerja di Indonesia hingga 15 tahun kemudian.
Jenkins hadir dalam peluncuran buku Young Soeharto: The Making of a Soldier: 1921-1945 yang digelar secara daring oleh Australian National University (ANU), Rabu (8/9/2021), dalam acara daring yang diadakan ANU. Marcus Mietzner, peneliti dan juga dosen di ANU, menjadi moderator. Sementara penanggap buku itu adalah politisi Australia, Gareth Evans, yang pernah menjadi menteri luar negeri tahun 1988-1996.
Waktu itu saya merasa terganggu dipanggil Den, maksudnya menghina atau sekadar bercanda? Sudah miskin, saya juga masih menghadapi hinaan ini.
Evans melukiskan persepsinya tentang Soeharto dengan dua kata: multi dualisme. Di satu sisi, ia adalah negarawan yang berpikiran jauh ke depan, tetapi di sisi lain ia juga diktator. Soeharto dikenal sederhana dan kerap tersenyum, tetapi juga kejam. Di pemerintahan, Soeharto memilih dan menjaga menteri-menteri yang kompeten, tetapi juga korup. Soeharto berhasil menjalankan kepentingan nasional untuk membangun ekonomi, tetapi pada saat yang sama mematikan demokrasi.
Buku Young Soeharto: The Making of a Soldier: 1921-1945 berupaya untuk menjelaskan tindakan-tindakan Soeharto lewat latar belakang perjalanan hidupnya. Hal yang menarik, buku ini banyak menjelaskan konteks. Tidak saja suasana desa beserta siklus alamnya secara lengkap, tetapi juga konteks budaya bahkan agama.
Penuh pergulatan
Bersumber dari berbagai bahan tertulis seperti biografi resmi Soeharto, majalah, hingga wawancara, Jenkins menggambarkan Soeharto sebagai sosok yang berhasil melesat, walau perjalanan hidupnya penuh dengan pergulatan, bahkan sejak bayi.
Kompas
Repro buku Young Soeharto: The Making of a Soldier: 1921-1945
Soeharto adalah anak tunggal. Ayahnya bermana Karterejo. Lelaki yang bekerja sebagai pengatur pengairan desa itu menikahi Sukirah sebagai istri kedua saat perempuan itu berusia belasan tahun. Dari rahim Sukirah itulah lahir Soeharto.
Namun, Sukirah memilih bercerai dan meninggalkan Soeharto yang saat itu belum lagi berusia 40 hari. Jenkins menulis bahwa Sukirah stres usai melahirkan kemudian menghilang. Satu pekan kemudian, ia ditemukan di atap rumah dalam kondisi lemas.
Jenkins menjelaskan, perpisahan ini kemudian menjadi rumor para elite hingga puluhan tahun kemudian. Tahun 1974, Soeharto sendiri, bahkan, dengan emosi membantah kalau ia berdarah biru. Rumor ini muncul atas dugaan bahwa ayah ibunya tidak harmonis karena sejak awal Sukirah telah hamil dengan bangsawan Yogyakarta, tetapi dibuang ke desa dan dinikahi Kertorejo.
Jenkins mencatat, sekian lama kemudian Soeharto akhirnya bercerita tentang kedekatan keluarga ibunya dengan pejabat di Yogyakarta. Soeharto juga ingat, waktu kecil ia sering dikatai Den Bagus tahi mabhul (tahi kering) oleh teman-teman sepermainan kelereng. Dengan kata lain, ia diejek sebagai sisa buangan priyayi. Saat itu Soeharto berusia delapan tahun dan ia masih ingat ejekan itu.
KOMPAS/JB SURATNO
Keluarga Presiden Soeharto, Jumat, seusai shalat Id di Masjid Istiqlal, Jakarta, mengadakan sungkeman keluarga di kediaman Jalan Cendana, Jakarta. Prabowo Subianto serta istri dan anaknya sungkem pada Presiden Soeharto pada Lebaran 1998 di Jalan Cendana Jakarta.
Dalam sebuah biografinya, Soeharto bercerita ia kesal karena dipanggil Den Bagus, padahal ia berasal dari keluarga miskin. Kakek dan ibunya memang dipanggil Den karena bekerja pada keluarga keraton. ”Waktu itu saya merasa terganggu dipanggil Den, maksudnya menghina atau sekadar bercanda? Sudah miskin, saya juga masih menghadapi hinaan ini,” tulis Jenkins mengutip Soeharto.
Sesi tanya jawab dalam peluncuran buku ini juga berjalan cukup dinamis. Apakah pola Soeharto ini menjadi model yang hingga kini dianut politisi Indonesia? Bagaimana prosesnya sehingga Soeharto menjadi sosok yang piawai secara politik, kapan ia mulai belajar berpolitik? Seberapa penting mistisisme Jawa dalam kehidupan Soeharto? Di akhir acara bahkan Mietzner bertanya, bagaimana peran Soeharto dalam peristiwa tahun 1965?
Demikianlah sebuah biografi. Bukan tentang Soeharto semata, tetapi juga separuh perjalanan bangsa Indonesia.