KUHP mengatur tuntutan perkara dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup akan kedaluwarsa setelah 18 tahun. Ini berarti pengungkapan aktor lain dalam kasus kematian Munir akan berakhir pada 2022.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Setahun lagi, penuntutan kasus pembunuhan pembela hak asasi manusia Munir Said Thalib akan kedaluwarsa. Ini lantaran perkara itu hanya dianggap sebagai pembunuhan berencana biasa. Berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) angka 4 KUHP, hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dianggap gugur karena kedaluwarsa setelah 18 tahun. Padahal, temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara dalam peristiwa tragis itu. Lantas, apa yang menghalangi penuntasan kasus itu?
Tanggal 7 September 2004, Cak Munir meninggal dalam perjalanan 12 jam dari Jakarta ke Bandara Schiphol, Belanda. Tiga jam setelah pesawat Garuda Indonesia GA-974 lepas landas dari Singapura, Munir mengeluh sakit dan bolak-balik ke toilet. Pilot Pantun Matondang kemudian meminta awak kabin terus memonitor kondisi Munir. Dia dipindahkan ke sebelah penumpang yang berprofesi sebagai dokter. Dua jam sebelum mendarat, saat diperiksa, Munir telah meninggal. Hasil penyelidikan kepolisian Belanda menyebutkan ada senyawa arsenikum yang meracuninya. Komposisi racunnya sangat besar, bahkan cukup untuk melumpuhkan seekor sapi besar.
Dalam persidangan terungkap bahwa pilot Pollycarpus Budihari Priyanto yang menaruh racun arsenik dalam makanan Munir. Hakim menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara. Di persidangan, Pollycarpus juga diketahui menerima panggilan telepon dari agen intelijen senior Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Muchdi juga dibawa ke pengadilan dan terbukti memerintahkan Pollycarpus dalam pembunuhan Munir, meski kemudian dia divonis bebas.
Ini adalah pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang menggunakan racun arsenik. Tentu tidak bisa dilihat hanya sebagai tindak pidana biasa.
Kematian Munir disebut oleh peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottinggi, sebagai pembantaian. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Bukti-bukti terkait dengan keterlibatan aktor negara dalam pembunuhan itu sudah dibeberkan, baik oleh TPF maupun fakta persidangan. Namun, negara dinilai tak mau bertanggung jawab karena hanya melihat sebagai pembunuhan biasa. Alhasil, aktor utama pembunuhan itu pun ditengarai tak pernah tersentuh hukum. Mereka diduga masih menikmati impunitas dan mendapatkan keistimewaan mendapatkan kursi empuk kekuasaan.
Mencari keadilan
Sekretaris Jenderal KASUM Bivitri Susanti mengatakan, kasus pembunuhan Munir menjadi catatan hitam sejarah yang harus dituntaskan sampai ke akarnya. Penuntasan perkara untuk memberikan keadilan bagi korban, sekaligus memberikan perlindungan bagi para pembela HAM. Jika dibiarkan, impunitas akan menjadi budaya yang tidak sehat. Impunitas akan menjadi batu ganjalan untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis.
”Peristiwa ini hanya akan dihapus dan dianggap tidak ada. Seolah-olah dilupakan dalam konteks penegakan HAM. Kita tidak akan menjadi bangsa yang maju kalau kasus-kasus seperti Cak Munir ini tidak dituntaskan,” kata Bivitri dalam ”Orasi Kebudayaan dan Diskusi Publik: Kasus Munir adalah Pelanggaran HAM Berat”, Minggu (5/9/2021).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengungkapkan, sejak awal penanganan kasus Munir memang diletakkan pada kerangka tindak pidana biasa. Eksekutornya, Pollycarpus, divonis dengan pasal pembunuhan berencana. Dengan situasi itu, ada ketentuan kedaluwarsa penuntutan jaksa untuk mengungkap aktor lainnya di balik pembunuhan Munir. Jaksa hanya memiliki waktu maksimal 18 tahun untuk melakukan penuntutan.
”Jika dihitung dari kematian Cak Munir pada 7 September 2004, artinya 18 tahun itu tahun 2022. Ini menjadi ancaman penuntasan perkara apabila tetap dianggap sebagai pembunuhan biasa,” ujar Arief.
KASUM dan LBH Jakarta sudah menyerahkan pendapat hukum atau legal opinion kepada Komnas HAM untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Mereka berharap aparat penegak hukum memproses kasus itu secara adil. Kajian KASUM dan sejumlah ahli, kriteria untuk menjadikan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat sudah sesuai. Pelaku pembunuhan Munir diduga melibatkan unsur negara, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN). BIN diduga memerintahkan PT Garuda Indonesia untuk menerbitkan surat perintah penerbangan kepada pilot Pollycarpus. Pollycarpus kemudian menjadi eksekutor yang memasukkan racun ke dalam makanan Munir.
”Ini adalah pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang menggunakan racun arsenik. Tentu tidak bisa dilihat hanya sebagai tindak pidana biasa,” kata Arif.
Apabila masuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat, kata Arif, penuntasan perkara tidak mengenal kedaluwarsa. Ini akan memberikan harapan bagi keluarga Munir untuk menuntaskan perkara hingga ke akarnya. Selain itu, juga memberikan jaminan bahwa kejahatan kemanusiaan tidak akan terulang karena pelaku akan diproses hukum. Pelaku akan diadili sehingga diharapkan tidak menjadi kejahatan berulang.
Berjuang dan merawat ingatan
Ahli hukum dan HAM Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengatakan, temuan TPF dan fakta persidangan menyebutkan ada permufakatan jahat dan keterlibatan negara dalam kasus pembunuhan Munir. Hal itu sudah diungkap secara detail dan rapi oleh TPF. Namun, anehnya, dokumen TPF itu hilang dan tidak ada di Kementerian Sekretariat Negara. Kontras sudah menggugat keterbukaan informasi TPF hingga Mahkamah Agung, tetapi ditolak. Akhirnya penegakan hukum tidak tuntas sampai ke akarnya. Hanya eksekutor dan perantara yang diproses hukum. Adapun mantan kepala BIN yang diduga terlibat dalam perencanaan pembunuhan masih bebas dari jerat hukum.
”Situasi itu sudah menunjukkan bahwa kejahatan dilakukan oleh aktor negara. Ini tidak boleh dilihat sebagai kejahatan biasa,” ujar Herlambang.
Herlambang juga menyebut bahwa serangan terhadap Munir adalah serangan sistematis untuk menakuti publik. Kematian Munir seolah mengirimkan pesan bahwa jangan macam-macam dengan kekuasaan. Simbol perlawanan paling berani seperti Munir pun akhirnya disingkirkan.
Dia juga mengingatkan bahwa perjalanan untuk membongkar kasus Munir akan menemui jalan terjal. Pengungkapan kasus itu akan berhadapan dengan lima palang pintu penghalang, antara lain sistem kekuasaan oligarki yang begitu kuat, isu korupsi yang tidak bisa dikendalikan, kekerasan yang terus ditampilkan dalam negara hukum, pembiaran kekerasan, dan impunitas. Hal itulah yang membuat Indonesia terus memiliki beban sejarah dan sulit bertransformasi menjadi negara hukum yang demokratis.
Meskipun terjal, Herlambang yakin, batu sekeras apa pun dapat berlubang jika ditetesi air di titik yang sama terus-menerus. Air yang menetes menunjukkan kesungguhan, solidaritas sesama masyarakat sipil. Dia percaya, upaya melawan lupa dan memperjuangkan keadilan suatu saat bisa menggerus kekuasaan yang kuat itu.
”Jangan berhenti berjuang dan menjaga solidaritas, jangan tunduk walau kita tahu jalan yang dihadapi tidak mudah,” ucap Herlambang memantik harapan.