Koalisi partai politik merupakan jembatan yang dapat mempererat relasi kuasa antara legislatif dan eksekutif. Namun, dalam praktiknya, jembatan ini terkadang goyah.
Oleh
DEDY AFRIANTO/ LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam pemerintahan Jokowi-Amin yang ditegaskan dalam Rapat Kerja Nasional II partai tersebut akhir Agustus 2021 makin menunjukkan betapa cairnya garis pembatas antara koalisi dan oposisi di Indonesia.
Pada satu sisi, cairnya garis pembatas antara koalisi dan oposisi merupakan realitas politik yang terbentuk sebagai konsekuensi koalisi mayoritas yang dibangun sekitar dua dekade terakhir. Di sisi lain, kondisi ini juga menegaskan koalisi mayoritas telah melembaga. Hal ini tecermin dari semakin besarnya persentase parpol yang menjadi pendukung pemerintah di parlemen sejak 2004 hingga saat ini.
Ilmuwan politik Arend Lijphart, dalam Power-sharing Versus Majority Rule: Patterns of Cabinet Formation in Twenty Democracies (1981), membagi koalisi dalam beberapa bagian berdasarkan pandangan beberapa ahli lainnya. Dari sisi kuantitas, koalisi terbentuk berdasarkan pemenang minimal dalam pemilu. Koalisi ini terdiri atas beberapa partai yang memegang mayoritas kursi di parlemen, tetapi tidak dalam bentuk koalisi gemuk. Selain itu, juga terdapat koalisi ukuran minimum yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang dibutuhkan dan dimiliki setiap partai.
Dari sisi pragmatis, koalisi dibangun dengan partai kecil dengan tujuan mempermudah proses negosiasi. Sementara dari sisi ideologis, koalisi dapat dibangun atas dasar persamaan pandangan atau kedekatan terkait kebijakan. Preferensi politik juga menjadi faktor pendorong terbentuknya koalisi ini.
Hal lain, terdapat koalisi besar yang sangat mungkin terbentuk pada negara demokrasi multipartai. Koalisi ini terbentuk dengan kekuatan besar di parlemen dalam mendukung jalannya pemerintahan atau yang kerap disebut sebagai koalisi gemuk (Lijphart, 1994).
Ragam koalisi
Dalam lintasan sejarah pascakemerdekaan, Indonesia telah menerapkan beberapa model koalisi yang memengaruhi pola relasi eksekutif dan legislatif. Pada periode demokrasi liberal di bawah Presiden Soekarno, misalnya, koalisi pernah dibangun dengan pendekatan pragmatis dengan menyertakan partai besar dan partai kecil.
Selain partai besar, seperti Partai Nasional Indonesia atau Partai Nahdlatul Ulama di era Pemilu 1955, koalisi turut merangkul partai menengah dan partai kecil lain, seperti Partai Syarikat Islam Indonesia ataupun Partai Buruh yang dinilai sejalan. Meski demikian, dominasi partai utama sulit terelakkan mengingat Indonesia pada masa itu menerapkan sistem parlementer.
Konsep koalisi lintas ideologi juga pernah coba diterapkan Bung Karno saat menjalankan politik nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Sepanjang pemerintahan Soekarno, koalisi yang dibentuk tak serta-merta menimbulkan kestabilan politik. Bongkar pasang koalisi sering dilakukan berlandaskan kepentingan yang dibawa di tengah gejolak politik.
Memasuki era Orde Baru, sejak fusi parpol tahun 1973, praktis hanya ada dua parpol, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Golongan Karya (Golkar) di Indonesia. Golkar jadi dominan dengan menyertakan unsur wakil militer di parlemen. Tercipta stabilitas saat itu. Namun, model koalisi ini menggerus nilai- nilai demokrasi. Kontrol tak dilakukan parlemen. Presiden pun menjadi titik utama kekuatan eksekutif, bahkan mengendalikan kekuatan parlemen.
Koalisi gemuk
Model koalisi lain kembali muncul saat Indonesia memasuki periode Reformasi. Sistem presidensial yang bersanding dengan multipartai melahirkan kecenderungan koalisi mayoritas. Praktis, koalisi gemuk kerap terbentuk karena ada kecenderungan pemerintahan lebih stabil jika didukung mayoritas kekuatan parlemen.
Fenomena koalisi yang cenderung makin gemuk terekam dari perjalanan peta koalisi parlemen sejak era Reformasi. Hal ini terutama terlihat dari komposisi parpol yang bergabung mendukung pemerintah. Di era Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian diteruskan Presiden Megawati Soekarnoputeri, jumlah parpol di parlemen yang masuk barisan pendukung pemerintah mencapai 33 persen (ada 7 dari 21 parpol parlemen).
Pada periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jumlahnya mencapai 50 persen. Komposisi ini naik pada periode kedua jadi 67 persen. Komposisi jumlah partai pendukung pemerintah di parlemen melonjak di era Presiden Jokowi. Pada periode pertama Jokowi, jumlah partai di barisan pendukung pemerintah mencapai 70 persen. Pada periode kedua, dengan bergabungnya PAN, angkanya naik menjadi 78 persen dari jumlah partai parlemen, yang menguasai 81,9 persen dari total 575 kursi DPR.
Namun, dalam praktiknya, koalisi gemuk tak selalu menjamin kestabilan. Konflik politik masih kerap muncul, baik di internal partai maupun dalam jalannya pemerintahan. Di internal partai, beberapa konflik lahir akibat perbedaan pandangan saat pemberian dukungan dalam pilpres dan pemerintahan. Beberapa partai yang mengalami konflik akhirnya juga menghadapi dualisme kepengurusan partai.
Selain itu, lahirnya koalisi gemuk juga dapat berdampak pada melemahnya fungsi kontrol DPR. Potensi ini tidak terlepas dari politik akomodatif yang terjalin antara legislatif dan eksekutif. Indikasi ini salah satunya terlihat dari wacana penggunaan hak angket dan interpelasi pada sejumlah kasus yang cenderung menguap.
Jajak pendapat Litbang Kompas tahun 2019 merekam bagaimana peran oposisi menjadi harapan dari 74,9 persen responden guna mengontrol jalannya pemerintahan. Kehadiran kekuatan penyeimbang diyakini publik dapat menjadi faktor pendorong perbaikan kinerja pemerintah.