Komnas HAM Belum Satu Suara soal Kasus Pembunuhan Munir
Satu tahun lalu, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir atau KASUM meminta Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Namun sampai saat ini, Komnas HAM belum juga mengambil keputusan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia masih memproses permintaan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) untuk menetapkan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM masih mengkaji agar perkara bisa dimasukkan ke kategori pelanggaran HAM berat.
Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga saat menerima KASUM secara daring, Senin (6/9/2021), mengungkapkan, sampai saat ini tujuh komisioner Komnas HAM belum bersuara bulat terkait usulan menjadikan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Para komisioner masih mendiskusikan apakah unsur-unsur peristiwa itu dapat masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan atau tidak.
Sesuai Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Menurut dia, komisioner masih berdiskusi intensif menyampaikan pendapatnya soal unsur serangan yang meluas, dan serangan sistematik.
”Pendapat komisioner masih beragam. Ada yang melihat bahwa kasus pembunuhan Munir sulit dikategorikan dengan berbagai pertimbangan. Ada pula yang melihat bahwa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat meskipun korbannya hanya satu. Kami terus berupaya dengan hati-hati dan teliti agar komisioner dapat bersuara bulat saat mengambil keputusan,” kata Sandrayati.
Satu tahun lalu, KASUM telah menyerahkan pendapat hukum (legal opinion) kepada Komnas HAM. KASUM meminta Komnas HAM untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Alasannya, agar pelaku pembunuhan Munir dapat diproses hukum secara tuntas. Sebab, KASUM menduga, auktor intelektualis pembunuhan Munir belum tersentuh hukum. Mereka yang diadili hanyalah aktor lapangan seperti eks pilot Garuda Indonesia Pollycarpus dan eks Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono.
Selain itu, KASUM juga khawatir jika tidak ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, kasus Munir, penuntutan kasus Munir tidak bisa dilanjutkan karena sudah kadaluwarsa. Sesuai dengan Pasal 78 Ayat (1) angka 4 KUHP, hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dianggap gugur setelah 18 tahun. Jika hak penuntutan kadaluwarsa, potensi perkara untuk dituntaskan sampai ke auktor intelektualis akan tertutup.
Sekretaris Jenderal KASUM Bivitri Susanti mengatakan, melihat gelagat aparat penegak hukum, bukan tidak mungkin kasus akan dianggap kadaluwarsa setelah 18 tahun. Dengan bukti temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan dokumen sidang perkara pembunuhan Munir, KASUM yakin pembunuhan Munir dapat dimasukkan dalam kategori pelanggaran HAM berat sehingga Komnas HAM dapat membuat tim penyelidik ad hoc untuk menuntaskan perkara tersebut.
”Legal opinion dari KASUM untuk meminta Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat sudah kami kirimkan sejak setahun lalu, 7 September 2020. Sekarang, kami bertanya kepada Komnas HAM bagaimana perkembangannya,” ujar Bivitri.
Sandrayati menjelaskan, dalam konteks penegakan hukum terhadap terduga lain yang belum diproses secara hukum, Komnas HAM sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Isi surat itu adalah percepatan penyelidikan perkara pembunuhan Munir menjelang kadaluwarsa hak penuntutan. Komnas HAM sepakat bahwa penyelidikan dan penyisikan kasus tersebut harus dipercepat.
Munir adalah aktivis HAM yang prominence (terkenal) sehingga pembunuhan terhadap Munir akan sangat berdampak pada gerakan para pembela HAM, penegakan hukum, dan demokrasi. Jika tidak dituntaskan, ini akan terus menjadi persoalan yang membuat penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia tidak maju.
Dalam pertemuan itu, Sandrayati juga menyampaikan bahwa penetapan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat seharusnya tidak terjebak pada aturan kadaluwarsa hak penuntutan perkara pidana. Jika ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, ketentuan kadaluwarsa hak penuntutan seperti di kasus pidana murni tidak berlaku.
Meski begitu, menurut dia, Komnas HAM diharuskan untuk lebih berhati-hati dan teliti dalam menetapkan sebuah kasus sebagai pelanggaran HAM berat. Selain itu setelah ditetapkan, Komnas HAM juga harus membentuk tim penyelidik ad hoc untuk mengusut tuntas perkara.
Setelah menerima pendapat hukum dari KASUM, Komnas HAM juga telah menindaklanjuti dengan membentuk tim kajian data, fakta, hukum pembunuhan Munir. Tim terdiri dari komisioner dan anggota staf Komnas HAM, serta mantan komisioner Komnas HAM periode sebelumnya. Pelibatan komisioner Komnas HAM periode sebelumnya diputuskan agar ada keberlanjutan dalam mengawal kasus tersebut. Sejak September 2020-Maret 2021, tim telah menyelesaikan laporan dan sudah disampaikan dalam sidang paripurna komisioner Komnas HAM.
Tak ragu
Peneliti senior Imparsial, Al Araf, berpendapat, Komnas HAM tak perlu ragu untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, menurut Araf, sudah banyak fakta hukum dan persidangan yang secara gamblang menunjukkan keterlibatan auktor intelektualis dalam kasus tersebut.
Dengan begitu, menurut dia, kasus pembunuhan Munir seharusnya bisa ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat dengan mudah. Apalagi, unsur serangan sistematis dan meluas dalam kejahatan kemanusiaan dinilai sudah terpenuhi.
Dijelaskan, unsur sistematis sudah menjadi temuan TPF yang menyebutkan ada empat lapis pelaku pembunuhan Munir. Mulai dari eksekutor lapangan, pihak yang memfasilitasi, pemberi perintah, hingga auktor intelektualis sehingga seharusnya unsur sistematis tidak lagi diperdebatkan.
Sementara itu, untuk unsur serangan yang meluas, menurut Araf, Komnas HAM diharapkan tidak terjebak pada perspektif angka atau jumlah. Korban dalam perkara itu memang hanya satu orang, yakni Munir. Akan tetapi, Komnas HAM selayaknya berpandangan lebih progresif dengan mempertimbangkan dampak dari pembunuhan seorang aktivis HAM.
”Munir adalah aktivis HAM yang prominence (terkenal) sehingga pembunuhan terhadap Munir akan sangat berdampak pada gerakan para pembela HAM, penegakan hukum, dan demokrasi. Jika tidak dituntaskan, ini akan terus menjadi persoalan yang membuat penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia tidak maju,” kata Araf.