Tanpa Tunggu Putusan MK, KY Siap Gelar Seleksi Calon Hakim ”Ad Hoc” Tipikor
Ada kemungkinan Komisi Yudisial akan memperluas seleksi hakim ”ad hoc” tipikor dengan seleksi calon hakim agung untuk kamar agama dan tata usaha negara pajak. Waktunya pun telah disepakati dengan Mahkamah Agung.
Oleh
Susana Rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial siap menggelar seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung yang akan menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali. Proses seleksi akan dilakukan tanpa menunggu putusan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang memeriksa perkara uji materi Undang-Undang KY, khususnya terkait kewenangan lembaga tersebut menyeleksi calon hakim ad hoc di MA.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata saat dikonfirmasi Minggu (5/9/2021), mengungkapkan, rapat pleno komisioner KY sudah memutuskan siap menyelenggarakan seleksi calon hakim ad hoc tipikor untuk MA pada tahun ini. Namun, proses seleksi dilakukan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyelesaikan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan terhadap 11 calon hakim agung yang sudah berhasil diseleksi KY pada Semester I-2021.
Rapat pleno komisioner KY sudah memutuskan siap menyelenggarakan seleki calon hakim ad hoc tipikor untuk MA pada tahun ini. (Ketua Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata)
”(Seleksi calon hakim ad hoc tipikor) Mungkin juga akan diperluas dengan (seleksi calon) hakim agung untuk kamar agama dan TUN (tata usaha negara) pajak. Mengenai waktu, sudah disepakati dengan MA untuk menunggu hasil fit and proper test CHA (calon hakim agung) di DPR. Setelah itu, MA akan mengirimkan surat resmi tentang permintaan seleksi kepada KY. Selanjutnya KY akan membuka informasi perekrutan secara resmi,” ujar Mukti Fajar.
Sebelumnya, pada 11 Agustus lalu, KY telah mengirimkan 11 nama calon hakim agung ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Sebelum menyetujui atau tidak menyetujui calon-calon tersebut dilantik menjadi hakim agung, Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan untuk mengetahui kualifikasi dan kompetensi para calon. Hingga kini, belum ada jadwal resmi kapan uji kepatutan dan kelayakan itu akan digelar. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan Arsul Sani sebelumnya menegaskan bahwa fit and proper test akan digelar pada masa sidang kali ini.
Saat ini, MA kekurangan hakim ad hoc tipikor untuk menangani perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK). Hanya ada tiga hakim ad hoc yang saat ini aktif bekerja setelah lima hakim ad hoc tipikor di MA memasuki masa purnabakti pada 22 Juli lalu.
Senada dengan Ketua KY, Juru bicara KY Miko Ginting yang dihubungi secara terpisah mengungkapkan, KY telah menyiapkan sumber daya yang ada untuk menggelar seleksi calon hakim ad hoc tipikor yang sebagian prosesnya akan digelar tahun ini. Selain itu, KY juga akan berusaha untuk mempertahankan kewenangannya untuk melakukan seleksi calon hakim ad hoc di MA yang saat ini tengah diuji di MK.
Kewenangan KY untuk menyeleksi calon hakim ad hoc yang diatur di dalam Pasal 13 Huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY tengah dipersoalkan konstitusionalitasnya di MK. Seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi calon hakim ad hoc tipikor pada 2016 dan gagal, Burhanudin, mempersoalkan kewenangan tersebut karena dinilainya bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 24B Ayat (1). Konstitusi disebutnya hanya memberi kewenangan secara limitatif kepada KY untuk mengusulkan calon hakim agung ke DPR. Pembentuk undang-undang tidak diberi seharusnya untuk memperluas bahkan menambah kewenangan KY.
”Oleh karena itu, kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 13 Huruf a UU KY harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24 B UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian tertulis di dalam permohonan uji materi Burhanuddin.
Adapun Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berweangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Pekan lalu, tepatnya 1 Juli, MK menggelar sidang pemeriksaan perkara tersebut dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh KY, yaitu mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan dan pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar.
Dalam keterangannya, Maruarar mengungkapkan bahwa kewenangan KY seperti yang diberikan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 tidak harus dimaknai secara limitatif. Menurut dia, apa yang menjadi kewenangan KY tersebut bisa menjadi luas dengan mengingat adanya latar belakang dan kondisi-kondisi yang akan memungkinkan diperolehnya makna yang lebih benar.
Pada 2020, beban perkara di MA bertambah, yakni dengan 20.761 perkara. Hampir semua perkara diputus, yakni 20.561 perkara, dengan kekuatan 16 majelis.
Maruarar menyinggung beban MA yang dari tahun ke tahun semakin berat dengan meningkatnya jumlah perkara yang masuk ke Lembaga tersebut. Pada 2018, beban perkara MA mencapai 18.500 perkara. Dengan kekuatan 48 hakim agung, MA berhasil menyelesaikan 17.638 perkara sepanjang tahun itu. Pada 2020, beban perkara di MA bertambah, yakni dengan 20.761 perkara. Hampir semua perkara diputus, yakni 20.561 perkara, dengan kekuatan 16 majelis.
”Tanpa menghitung berapa jumlah waktu yang kita butuhkan untuk mempelajari, untuk musyawarah, untuk merumuskan putusan dan menyusun suatu putusan dalam bentuk minutasi, tentu saja, menurut saya, tugas ini adalah sungguh-sungguh menyita waktu yang tidak memungkinkan seluruh stakeholder di Mahkamah Agung masih mempunyai waktu untuk melakukan proses seleksi hakim,” kata Maruarar.
Terkait dengan hal tersebut, ia berpendapat bahwa Pasal 13A yang menambah wewenang KY untuk menyeleksi hakim ad hoc pada MA tidak bertentangan dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, secara logis, KY boleh atau konstitusional menjalankan Pasal 13A UU KY tersebut dengan menyelenggarakan seleksi hakim ad hoc.