Anak Muda dan Keyakinan pada Politik Praktis
Pelibatan lebih banyak anak muda di parpol sebaiknya juga diikuti dengan pembukaan kesempatan yang lebih besar untuk berkecimpung di parlemen, yakni dengan membuat kuota khusus anak muda.
Dalam beberapa tahun terakhir, anak muda Indonesia yang tergolong dalam generasi milenial atau penduduk yang lahir pada tahun 1981-1996 tergambar sebagai kelompok yang antipolitik praktis. Padahal, penyelenggaraan negara membutuhkan peran milenial yang jumlahnya saat ini hampir mendominasi total jumlah penduduk.
Selain akan menjadi kelompok penyumbang suara terbesar dalam pemilu, milenial merupakan penentu kebijakan negara yang dilakukan melalui politik praktis. Lantas, masih adakah mereka yang percaya pada politik praktis?
Antipati milenial terhadap politik praktis setidaknya mulai terungkap dari hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 23-30 Agustus 2017. Jajak pendapat yang dilakukan terhadap 600 responden berusia 17-29 tahun itu salah satunya menunjukkan bahwa hanya 2,3 persen milenial yang menyatakan tertarik untuk membahas isu sosial dan politik. Ketertarikan paling besar ada pada bidang olahraga (30,8 persen), musik (19,0 persen), dan menonton film (13,7 persen).
Alasan keengganan kelompok milenial itu berikutnya terkuak dari hasil survei Litbang Kompas pada Desember 2017. Pada jajak pendapat terhadap 275 mahasiswa berusia minimal 17 tahun ditemukan bahwa anak muda cenderung memandang politik sebagai cara merebut kekuasaan semata. Mayoritas responden (35 persen) menganggap politik identik dengan kekuasaan. Adapun kesan spontan yang diungkapkan sepertiga responden saat mendengar kata politik adalah korupsi dan kebohongan (Kompas, 28/12/2017).
Setahun setelahnya, hasil survei Litbang Kompas memperkuat adanya antipati anak muda terhadap politik praktis. Dari survei yang dilakukan pada 25-27 Oktober 2018 ditemukan bahwa generasi milenial yang bersedia menjadi anggota partai politik hanya 11,8 persen, berkebalikan dengan mereka yang menyatakan tidak bersedia, yakni mencapai 86,3 persen. Adapun sebanyak 1,9 persen responden masih tidak tahu.
Baca juga: Anak Muda Indonesia Pesimistis dengan Perkembangan Politik dan Penegakan Hukum
Kondisi tersebut tidak dinafikan oleh sejumlah politisi muda alumnus Emerging Leaders Academy (ELA) yang diselenggarakan oleh International Republican Institute (IRI). Namun, mereka masih yakin bahwa dalam politik praktis, kekuasaan adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
”Saya masuk ke dunia politik untuk memperoleh kekuasaan, itu jelas. Tetapi kekuasaan itu bukan tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan,” kata M Ziad Ananta, alumni ELA sekaligus Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Deli Serdang, Sumatera Utara, dalam diskusi daring Pemuda dalam Reformasi Partai Politik, Minggu (29/8/2021).
Ananta, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Golkar Kabupaten Serdang Bedagai, mengungkapkan, kekuasaan yang dimaksud tidak ditujukan untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan bisa digunakan untuk memastikan tidak ada lagi kesulitan masyarakat di bidang kesehatan, anak-anak tidak bisa sekolah, bahkan orang-orang kelaparan di tengah korupsi yang terus merajalela.
Namun, semua itu membutuhkan proses panjang yang tidak bisa instan. Hal ini yang, menurut dia, juga menyebabkan mayoritas anak muda menjauhi aktivitas politik praktis.
Anak muda tidak hanya bisa berperan dari luar sistem, tetapi kita juga harus ada di dalam sistem. Kendaraannya adalah parpol untuk bisa merebut kekuatan dalam menentukan kebijakan publik.
Kader Banteng Muda Indonesia (BMI) Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Amul Hikmah Budiman, dalam diskusi itu megungkapkan, berkecimpung di partai politik merupakan implementasi tertinggi dari setelah menimba banyak pengalaman dari organisasi kampus. Dari pergulatannya, ia menyadari bahwa kebijakan publik dikendalikan oleh kekuatan politik. Adapun jalan untuk mendapatkan kekuatan politik itu adalah berkecimpung secara langsung dalam politik praktis.
”Anak muda tidak hanya bisa berperan dari luar sistem, tetapi kita juga harus ada di dalam sistem. Kendaraannya adalah parpol untuk bisa merebut kekuatan dalam menentukan kebijakan publik,” tegas Amul yang aktif di organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Baca juga: Generasi Muda Menilai Indonesia Kurang Demokratis
Inklusif
Peran parpol sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan dalam arti positif juga diyakini Yoel Yosaphat, Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandung, Jawa Barat. Namun, hal itu harus dilakukan terlebih dulu dengan mereformasi parpol. Salah satunya dengan membuat institusi tersebut ramah anak muda.
”Parpol harus lebih inklusif terhadap anak muda, bahkan partai yang sudah melabeli diri sebagai partai anak muda pun harus terus dipastikan implementasinya dari level atas sampai ke ke bawah,” katanya.
Di Bandung, Yoel mewujudkannya dengan membuat kebijakan usia maksimal pengurus, yakni 42 tahun. Saat ini, DPD PSI Bandung diisi lima pengurus dengan usia termuda 28 tahun dan tertua 42 tahun. Selain itu, mekanisme perekrutan dan kaderisasi dilakukan secara daring. Tidak hanya terkait pelatihan, tetapi ujian kenaikan tingkat kader juga dilakukan dalam sistem digital yang mudah diakses siapa saja dan di mana saja.
Ia menambahkan, pihaknya membentuk direktorat pemilih muda yang ketuanya berusia 22 tahun. Pimpinan direktorat itu adalah lulusan program magang yang dibuat agar anak muda memahami cara kerja parpol, mulai dari mengadakan rapat rutin hingga mekanisme pengambilan keputusan.
”Kami memasang Wi-Fi gratis di kantor DPD untuk anak sekolah. Itu kami lakukan agar mereka tidak berjarak dengan parpol dan diharapkan ketika dewasa tidak antipati dengan parpol,” kata Yoel.
Baca juga: Anak Muda dan Politik
Selain itu, DPD PSI Kota Bandung juga mengembangkan media sosial untuk mempermudah politisi muda menyampaikan pendapat sekaligus menjadi wadah pendidikan politik bagi masyarakat. Hal itu dilakukan tidak hanya oleh pihak internal partai, tetapi juga melibatkan berbagai komunitas, misalnya komunitas gamers dan olahraga.
Politisi Partai Nasdem dari Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Yoan Benedictus Wujo Niron, mengatakan, partainya juga telah membuka ruang agar para pemuda bisa berkecimpung dalam politik praktis sedini mungkin. Hal itu dilakukan dengan membentuk Liga Mahasiswa Nasdem, organisasi yang juga ia ikuti sejak 2013. Salah satu kegiatan yang ia kembangkan bersama para mahasiswa adalah edukasi mengenai isu lingkungan terkait maraknya penyakit demam berdarah di Kupang, NTT, dan mengembangkan pangan lokal dari tanaman kelor.
Penting bagi partai untuk membuka ruang partisipasi pemuda untuk memberikan gagasan dan turut serta mengambil keputusan dan tindakan di masyarakat.
Namun, kata Yoan, keberadaan organisasi sayap saja tidak cukup. Pelibatan lebih banyak anak muda di internal partai perlu dilakukan juga dengan memperbanyak kuota saat perekrutan anggota dan pengangkatan pengurus.
”Penting bagi partai untuk membuka ruang partisipasi pemuda untuk memberikan gagasan dan turut serta mengambil keputusan dan tindakan di masyarakat,” ujarnya.
Menurut Yoan, untuk mendukung keterlibatan anak muda dalam peran strategis di parpol diperlukan pula penciptaan iklim partai yang lebih otonom dengan desentralisasi pengambilan keputusan. Contohnya dalam pencalonan dan pemberian rekomendasi calon kepala daerah, semestinya keputusan diambil di tingkat daerah bukan pusat. Sebab, pengurus di daerah lebih memahami tantangan yang akan dihadapi kandidat calon kepala daerah.
Baca juga: Momentum Politik Anak Muda
Tindakan afirmatif
Baik Ananta, Amul, Yoel, maupun Yoan mengungkapkan, pelibatan lebih banyak anak muda di parpol sebaiknya juga diikuti dengan pembukaan kesempatan yang lebih besar untuk berkecimpung di parlemen, yakni dengan membuat kuota khusus anak muda. Usia anak muda yang dimaksud adalah di bawah 35 tahun. Mereka mengusulkan agar kuota khusus diberikan 10-20 persen dari total anggota DPR untuk menjadi penyeimbang di DPR.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 575 anggota DPR yang terpilih dari Pemilu 2019 paling banyak berusia 41—60 tahun, yakni sebanyak 284 orang atau 66,78 persen. Jumlah itu disusul oleh anggota DPR berusia di atas 61 tahun, yakni 96 orang atau 16,70 persen. Adapun anggota legislatif yang berusia 21—40 tahun jumlahnya 95 orang atau 16,70 persen.
Politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti, sepakat, perlu ada tindakan afirmatif untuk anak muda di bawah 35 tahun di lembaga legislatif dengan memberikan kuota setidaknya 30 persen. Ini penting mengingat jumlah pemilih milenial pada Pemilu 2019 mencapai 42 juta orang. Diprediksi, pemilih milenial juga akan mendominasi pada Pemilu 2024.
Keberadaan kuota khusus semakin penting untuk membuka kesempatan bagi politisi muda dari semua kalangan. Lena menilai, tidak bisa dimungkiri politisi muda yang ada saat ini umumnya berlatar belakang dinasti politik atau bagian dari oligarki. Tanpa tindakan afirmasi, sulit bagi politisi yang tidak memiliki modal kapital dan politik yang besar untuk bisa berkontestasi.
Baca juga: Para Pemuda yang Berjuang Mencegah Dampak Buruk Politik Identitas
Menurut Lena, proporsi milenial di DPR saat ini belum mampu mewakili suara anak muda. ”Demokrasi yang utuh hendaknya tidak meninggalkan siapa pun, termasuk anak muda dan kelompok marjinal. Tanpa keterlibatan dua kelompok itu, Indonesia bisa mengalami defisit demokrasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, parpol merupakan institusi yang sangat penting dalam negara demokrasi. Partai berperan dalam pengisian jabatan pemimpin negara, anggota legislatif, kepala daerah, bahkan komisi-komisi negara. Oleh karena itu, parpol harus terus bertransformasi menjadi institusi yang modern dan demokratis.
Ini penting mengingat pada Pemilu 2024, diprediksi pemilih muda akan mendominasi. Parpol hendaknya tidak sekadar mengeksploitasi anak muda di bilik suara, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk berperan.
Transformasi itu harus dilakukan melalui revisi Undang-Undang Pemilu, UU Pilkada, dan Undang-Undang Partai Politik. Namun, hingga saat ini DPR dan pemerintah belum memutuskan untuk merevisi paket UU Politik tersebut. Namun, kekosongan pengubahan UU tersebut tidak berarti reformasi parpol tidak bisa dilakukan.
Menurut Khoirunnisa, selama menunggu revisi undang-undang, parpol bisa menyiasatinya dengan lebih banyak melibatkan kaum muda untuk memberikan masukan kepada partai. Ini penting mengingat pada Pemilu 2024, diprediksi pemilih muda akan mendominasi. Parpol hendaknya tidak sekadar mengeksploitasi anak muda di bilik suara, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk berperan.
Baca juga: Ruang Partisipasi Pemuda dalam Kebijakan Publik Belum Optimal
Dukungan yang lebih konkret perlu diwujudkan dengan membuat kuota minimal anak muda untuk menjadi calon anggota legislatif. Selain itu, juga mendorong optimalisasi peraturan teknis, seperti peraturan pemerintah dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum untuk menyaratkan pelibatan anak muda dalam kepesertaan pemilu.