Sebuah Peringatan dari ”Muazin” Bangsa
Rumor perpanjangan masa jabatan presiden, DPR, dan DPD hingga tahun 2027 terdengar di tengah wacana amendemen konstitusi yang digagas MPR. Spekulasi penundaan pemilu ke tahun 2027 pun ramai diperbincangkan.
Jangan sampai di balik gagasan amendemen ini menguat kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat beban kehidupan bangsa.
(Haedar Nashir)

Suasana Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Pidato Kenegaraan Presiden RI pada Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara MPR, DPR, DPD, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Senin 30 Agustus 2021, ”Muazin” bangsa, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, menyampaikan pidato kebangsaan. Pidato itu berjudul #Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua. Melalui pidato sepuluh halaman itu, Haedar seperti memberikan respons atas situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan saat ini seperti terjebak dalam polarisasi ekstrem.
Istilah ”muazin” saya ambil dari esai Alois A Nugroho dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015) yang dilekatkan pada sosok Buya Ahmad Syafii Maarif. ”Muazin” dimaksudkan Alois untuk sosok yang terus berteriak-teriak menyerukan kepentingan bangsa.
Buya Haedar bisa ditempatkan sebagai salah satu ”muazin” bangsa. Sejumlah isu krusial diangkat dalam pidato Haedar, seperti perlakuan manja terhadap koruptor, praktik demokrasi transaksional, melebarnya kesenjangan sosial, kehadiran media sosial yang memunculkan persoalan baru, kian menguatnya oligarki politik, utang luar negeri, serta sejumlah isu lain. Di tengah berbagai persoalan yang ada, Haedar mengemukakan, Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat Indonesia dan mewujudkan keadilan sosial.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat peletakan batu pertama pembangunan tower Universitas Muhammadiyah Lamongan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11/2018).
Ada capaian positif yang diraih pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengendalikan Covid-19, termasuk vaksinasi yang sudah menembus lebih dari seratus juta dosis. Itu berkat kerja keras dan kerja bersama pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, serta sejumlah kepala daerah, termasuk Provinsi DKI Jakarta yang vaksinasinya sudah melebihi 100 persen. Capaian itu juga tak lepas dari peran mereka-mereka yang bekerja di balik layar.
Di tengah situasi keterbelahan ekstrem, antara pendukung dan pembenci, antara elite dan massa, antara pusat dan daerah, antara kaya dan miskin, wacana amendemen konstitusi yang digagas sejumlah elite politik memang menyisakan problem etis. Gagasan amendemen konstitusi dilontarkan secara resmi oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD. Ia mengemukakan perlunya perubahan terbatas UUD 1945, khususnya untuk menambah wewenang MPR menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Presiden Jokowi dalam pidatonya juga menyinggung masalah itu. Presiden Jokowi mengapresiasi anggota MPR yang terus mengkaji bentuk hukum dan PPHN untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan. Sementara Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengatakan, DPD mendukung adanya PPHN dalam konstitusi.
Baca juga : MPR Terus Mendorong Masuknya PPHN dalam Perubahan Konstitusi
Meskipun belum ada pernyataan resmi dan terbuka, suara yang mendorong perubahan UUD 1945 terus memasuki ruang-ruang percakapan tertutup. Seorang politisi senior mengirim pesan dan menanyakan sejauh mana urgensi perubahan UUD 1945 di tengah situasi bangsa seperti sekarang ini. Dalam panggung tertutup itu, tampak dan terasa ada orang bekerja untuk perubahan konstitusi bukan semata-mata untuk PPHN, melainkan rumor soal perpanjangan masa jabatan presiden, masa jabatan DPR, dan masa jabatan DPD hingga tahun 2027. Spekulasi penundaan pemilu ke tahun 2027 ramai dipercakapkan secara tertutup atau semi-terbuka dalam panggung belakang meja negosiasi. Itulah rumor yang berkembang.
Pandemi kadang dijadikan alasan. Situasi psikologis-politis seperti itu mengakibatkan ketidakpastian, menyebabkan situasi kebangsaan menjadi tidak nyaman. Tintrim dalam bahasa Jawa penuh nuansa. Padahal, pandemi belum berakhir dan belum tahu kapan akan berakhir. Meskipun semua orang tahu, pilkada di separuh Republik pernah digelar di masa pandemi dan berhasil.
Dalam panggung tertutup itu, tampak dan terasa ada orang bekerja untuk perubahan konstitusi bukan semata-mata untuk PPHN, melainkan rumor soal perpanjangan masa jabatan presiden, masa jabatan DPR, dan masa jabatan DPD hingga tahun 2027. Spekulasi penundaan pemilu ke tahun 2027 ramai dipercakapkan secara tertutup atau semi-terbuka dalam panggung belakang meja negosiasi.
Karena itulah pandangan Haedar menjadi sangat relevan. Ia menjadi early warning system. Ketika tumbuh kembali gagasan amendemen UUD 1945, seyogianya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan otentik. Jangan sampai ada kepentingan jangka pendek yang memperberat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan pendiri bangsa 76 tahun silam.
Secara matematika politik, kekuasaan Presiden Jokowi sangat kuat. Pola demokrasi dol tinuku membuat semua partai politik berada di barisan pendukung pemerintahan. Dengan masuknya Partai Amanat Nasional, koalisi pendukung menguasai 82 persen suara DPR. Dengan kekuatan itu, perubahan UUD 1945 bisa dilakukan. Kekuatan pendukung Presiden Jokowi sebanyak 471 orang. Dan untuk mencapai tiga perempat anggota MPR untuk menyetujui dan mengesahkan amendemen, hanya membutuhkan empat suara tambahan.
Baca juga : Koalisi Parpol Pemerintah Kian Gemuk, Pengawasan Jangan Kendur

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan (kanan) hadir saat pertemuan rutin yang digelar Presiden Joko Widodo bersama ketua umum dan sekretaris jenderal partai-partai koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (25/8/2021).
Namun, yang harus dipertanyakan, perubahan konstitusi itu untuk kepentingan siapa? Jangan sampai ada konflik kepentingan di antara elite politik yang menjadikan perubahan konstitusi hanya untuk memperpanjang masa jabatan. Pikiran memperpanjang kekuasaan lembaga kepresidenan, kekuasaan DPR dan DPD, adalah bentuk konflik kepentingan di dalam tubuh elite politik itu.
Mendengar banyak orang adalah langkah bijak. Menyerap ”muazin” bangsa, bukan hanya ketua parpol, mungkin akan lebih bisa mendengar suara jernih kondisi negeri. Mendengar pimpinan ormas, mendengar akademisi, mendengar suara rakyat jelata, akan bisa tertangkap rasa perasaan anak bangsa. Meskipun yang terdengar dari mereka mungkin adalah rintihan beratnya kehidupan dan bukan semata-mata kidung pujian.