Tak Hanya di Probolinggo, Korupsi Jual Beli Jabatan Diduga Masif di Banyak Daerah
Praktik jual beli jabatan lazim terjadi di banyak daerah. Kepala daerah yang ditangkap KPK hanyalah sebagian kecil yang didapati melakukan jual beli jabatan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkara jual beli jabatan diduga tak hanya terjadi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tetapi juga di banyak daerah lain. Korupsi jual beli jabatan ini akan terus berulang jika tak ada perbaikan, mulai dari sistem pemilihan kepala daerah, sistem pengawasan, hingga remunerasi kepala daerah.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (2/9/2021), mengatakan, perkara jual beli jabatan yang telah diungkap oleh KPK hanyalah sebagian kecil dari praktik tindak pidana korupsi yang ditengarai terjadi di banyak daerah.
”Di mana-mana kaya gitu (jual beli jabatan) terjadi. Itu (sejumlah kepala daerah ditangkap KPK) yang ketahuan saja. Dan problemnya sama,” ujar Pahala.
Sebelumnya, KPK menahan lima orang dari 22 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual beli jabatan di wilayah Probolinggo. Dalam perkara ini, KPK menahan lima orang, di antaranya Bupati Probolinggo Puput Tantriana dan suaminya, Hasan Aminuddin, yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sementara itu, enam kepala daerah lainnya yang terlibat kasus serupa adalah Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk M Taufiqurrahman, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, dan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
Di mana-mana kaya gitu (jual beli jabatan) terjadi. Itu (sejumlah kepala daerah ditangkap KPK) yang ketahuan saja. Dan problem-nya sama
Pahala mengemukakan, setidaknya ada tiga layer praktik jual beli jabatan yang dilakukan oleh kepala daerah. Pertama, rotasi sejumlah kepala dinas. Jabatan kepala dinas yang menjadi ”favorit” dan menjadi celah untuk dimintai uang, antara lain kepala dinas pekerjaan umum, kepala dinas kesehatan, kepala dinas pendidikan, kepala dinas energi dan sumber daya mineral, serta kepala dinas perizinan.
Layer kedua, kepala daerah akan menahan surat keputusan (SK) pegawai yang dari pusat, misalnya bidan atau penyuluh pertanian. Jika mereka ingin SK turun, diminta menyerahkan sejumlah uang sebagai kompensasi.
”Itu SK ditahan. Kalau SK belum dikasih, kan, dia enggak bisa digaji. Ada pernah kasus, Rp 25 juta satu SK bidan. Padahal, alokasi bidan ada 40 orang. Bayangkan, dia sudah dapat Rp 1 miliar,” kata Pahala.
Layer ketiga, kepala daerah akan mengambil uang dari kepala sekolah atau kepala desa. Praktik ini terjadi secara massal, seperti kasus di Probolinggo. ”Bukan hanya perkara pindah, supaya tidak dipindah saja nyetor uang,” katanya.
Gaji kecil
Pahala mengungkapkan, persoalan jual beli jabatan ini terus terjadi karena banyak faktor. Pertama, Indonesia masih menganut sistem pilkada yang mengeluarkan biaya tinggi dari para calon. Kedua, pengawasan di daerah yang cenderung terlalu longgar.
Masalah yang paling esensial, menurut Pahala, adalah gaji para kepala daerah saat terpilih yang tergolong kecil. Padahal, mereka dihadapkan pada sumbangan ke partai politik.
”Remunerasi perlu dibikin extraordinary agar dia enggak malak pengusaha, enggak malak orang-orang. Karena kuasa hanya di kepala daerah itu saja,” ucap Pahala.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo menambahkan, saat ini, kepala daerah sudah tidak bisa lagi bermain jual beli jabatan. Ia memastikan, praktik tersebut dilaporkan oleh aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan mereka sendiri.
”Ini, kan, yang lapor yang bayar to. Mungkin ya mungkin, mereka sudah bayar kok tidak diterima. Pasti dia melapor. Saya kira pasti akan terbongkar,” ucap Tjahjo.
Untuk itu, beberapa kasus jual beli jabatan yang melibatkan kepala daerah ini, ujar Tjahjo, perlu menjadi peringatan bagi kepala daerah lain. Ia pun mengingatkan bahwa jual beli jabatan merupakan salah satu area rawan korupsi.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia itu mengapresiasi kerja KPK yang terus memonitor pelaksanaan sistem merit di daerah agar terbangun pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.
”Kami juga minta kepada kejaksaan, kalau perlu kepada kepolisian untuk terus memonitor pelaksanaan ini di semua wilayah di seluruh Indonesia,” ujar Tjahjo.