Jenderal Pemikir di Balik Kemenangan...
Berpengalaman di segala medan, Letjen (Purn) Agus Widjojo juga cakap menyiapkan konsep dan strategi untuk perbaikan TNI. Gubernur Lemhannas itu dikenal sebagai aktivis demokrasi dan diberi julukan jenderal pemikir.
”There is no greater weapon than a prepared mind”.
(Zhuge Liang, 181-234, Jenderal ahli strategi di masa tiga kerajaan China)
Okol, akal. Di masa lalu, seseorang yang ingin menjadi prajurit atau tentara acap kali dihadapkan pada pilihan bahwa ia harus benar-benar punya okol. Okol dalam bahasa Jawa dimaknai sebagai kuat. Kelebihan yang mengandalkan kekuatan badan, tenaga tubuh, atau kesaktian, yang berlatar belakang fisik semata. Bahkan, disebutkan seorang prajurit yang hebat adalah yang ora tedas tapak paluning pande, sisaning gurinda (tidak dapat dilukai dengan senjata tajam atau senjata api). Oleh sebab itu, pada masa lalu, banyak orang ngelmu biar sakti mandraguna.
Mereka yang sakti, kuat secara fisik itu, pada akhirnya menjadi seorang pemimpin, raja. Namun, umumnya mereka hanya berkuasa sesaat. Tidak melahirkan dinasti atau pemerintahan yang berusia lama. Sejarah bangsa ini menunjuk pada kisah seperti itu. Misalnya, dalam cerita Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir (1549-1582), pendiri Kerajaan Pajang (1568-1587). Jaka Tingkir yang kuat diceritakan mampu mengalahkan 40 ekor buaya di Bengawan Solo dan menjadi senapati Kerajaan Demak ketika menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Namun, dalam Babad Tanah Jawi, Sultan Hadiwijaya tak banyak diceritakan.
Baca Juga: Rekonsiliasi Sang Jenderal Pemikir
Masa kejayaan Kasultanan Pajang diakhiri oleh panglima yang membantu Hadiwijaya menghadapi Arya Penangsang, yakni Ki Ageng Pemanahan, yang dikenal sebagai ahli strategi. Ki Ageng Pemanahan mempersiapkan putranya, Sutawijaya, untuk mendapatkan kekuasaan dan mengakhiri pemerintahan Pajang, bahkan Demak, dengan mendirikan Kerajaan Mataram, yang sebelumnya adalah Mentaok. Tak dimungkiri, Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati mewarisi keahlian ayahnya.
Tak hanya dalam olah kanuragan, keterampilan fisik dan kesaktian, tetapi juga olah pikir. Sutawijaya cakap dalam menyusun strategi hingga membuat Mataram, yang semula di bawah kekuasaan Pajang, menjadi penguasa atau membawahi Pajang. Dinasti Mataram masih ”berkuasa” di tanah Jawa hingga hari ini.
Belajar dari Babad Tanah Jawi serta berbagai catatan lain, strategi adalah penentu keberhasilan dari sebuah usaha, termasuk peperangan. Tidak cukup, bahkan tak boleh, hanya mengandalkan kekuatan, kesaktian, atau persenjataan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan strategi sebagai: (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa(-bangsa) untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai; (2) ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan: sebagai komandan ia memang menguasai betul--seorang perwira di medan perang; (3) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus; (4) tempat yang baik menurut siasat perang. Ilmu, dan bukan ngelmu. Inilah olah otak, olah pikir.
Akal, dan bukan okol. Dalam banyak kejadian, seorang pemimpin atau prajurit yang mempunyai akal dan okol, olah pikir dan olah kanuragan, sekaligus mempunyai peluang keberhasilan, dan ”selamat” lebih besar dibandingkan yang hanya mengandalkan salah satu dari kekuatan itu.
Pemimpin yang dapat menyatukan kelebihan okol dan akal dari pasukannya juga berpeluang berhasil lebih besar, meskipun tidak mudah untuk menyatukan keduanya, karena titik pijaknya yang memang berbeda. Bahkan, sering kali cenderung bertolak belakang. Mereka yang mengandalkan okol terkesan lebih berani, ksatria. Sementara yang mengandalkan akal bisa jadi terkesan pengecut, mau menang atau selamat sendiri.
Padahal, seperti diingatkan Jenderal Zhuge Liang, tidak ada senjata yang ampuh, yang hebat, selain pikiran yang siap. Pikiran yang siap menghadapi segala kemungkinan, dan pikiran yang cepat tanggap dalam menyusun strategi terbaik untuk memenangi peperangan. Zhuge Liang dikenal sebagai ahli strategi, yang dapat membaca pergerakan angin dan air, seperti dikisahkan dalam film Red Cliff (2008-2009), yang berangkat dari fakta peperangan di Tebing Merah, di daerah Chibi (208-209) yang dimenangi pasukan aliansi Sun atas pasukan Cao-cao.
Pemimpin yang dapat menyatukan kelebihan okol dan akal dari pasukannya juga berpeluang berhasil lebih besar, meskipun tidak mudah untuk menyatukan keduanya, karena titik pijaknya yang memang berbeda.
Baca Juga: Monumen Soekarno Membaca Buku
Bagi sebagian (besar) prajurit, komandan, atau panglima perang, seperti dalam dua seri kisah Red Cliff yang disutradarai John Woo dan meraih banyak penghargaan, seorang prajurit, komandan, atau bahkan jenderal yang lebih menonjol olah pikirnya sering kali dianggap tidak ksatria. Mau menang sendiri, dan hidupnya ”tidak nyata”, diwarnai kekuatan supranatural, sehingga linuwih. Kisah ini juga tergambar pada sosok Panembahan Senapati, yang keturunannya kini menduduki takhta Sultan di Surakarta dan Yogyakarta, selalu disebutkan sebagai suami dari Kanjeng Ratu Kidul.
Mitos, legenda, atau nyata? Tak ada yang memastikannya sampai kini. Namun, prajurit yang lebih kuat dalam olah pikir seperti hidup dalam dua dunia: nyata dan maya, legenda dan faktual, rasional dan irasional (bahkan klenik), atau bahkan lebih dari dua dunia.
Dua dunia
Gambaran inilah yang terlihat dalam buku Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo: Tentara Kok Mikir, Inspirasi Out of The Box (Penerbit Buku Kompas, 2021), yang ditulis Bernada Rurit, dan diluncurkan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Rabu (25/8/2021) petang. Dalam buku yang merupakan paduan dari catatan kisah hidup Agus Widjojo, nukilan dari buku sebelumnya, dan pandangan dari sahabatnya itu tak ada keraguan bahwa inilah tentara yang hidup dalam dua, bahkan banyak dunia.
Agus tak hanya menjadi prajurit TNI yang tunduk pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, tetapi juga aktivis demokrasi. Pemikir sekaligus peneliti dan fellow di sejumlah lembaga kajian, komandan pada saat tertentu, tetapi politisi yang harus berkompromi di MPR. Korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sekaligus pejuang dan pembela HAM bagi pelaku pelanggaran HAM. Gigih memperjuangkan pemikirannya, tetapi narima akan nasib saat tak jadi diangkat Panglima Kodam, atau disisihkan untuk menjadi ajudan Presiden.
Jalan pikiran Agus bagi banyak orang adalah pemikiran yang rasional. Namun, tidak sedikit pula yang mengartikannya ngayawara, aneh- aneh, tidak pada tempatnya, mendahului zaman.
”Musuh” sekaligus sahabat bagi lawannya, yang tergambar jelas dalam kisah membangun Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Guru sekaligus murid. Militer, tetapi juga sipil. IPS tetapi juga IPA, seperti saat terpaksa menambah ”pelajaran” demi bisa lulus masuk Akabri.
Jalan pikiran Agus bagi banyak orang adalah pemikiran yang rasional. Namun, tidak sedikit pula yang mengartikannya ngayawara, aneh- aneh, tidak pada tempatnya, mendahului zaman. Bahkan mungkin dianggap pikiran gendeng, seperti saat merumuskan reformasi komando teritorial, reformasi TNI, dan pemikiran lain di lingkungan TNI, yang menimbulkan perdebatan. Jika TNI saat ini disebut sebagai salah satu institusi yang berhasil mereformasi diri dan semakin diterima oleh masyarakat, hal itu tentu tak bisa dilepaskan dari pemikiran Agus.
Baca Juga: Ada Kemerosotan Pemahaman Kebangsaan
Ngeli ning ora keli. Berani menentang arus, meskipun kadang juga mengikuti arus, tetapi bukan karena terhanyut. Hanyut dalam kesadarannya sendiri.
Judul buku Tentara Kok Mikir juga menggambarkan kebingungan untuk merumuskan sosok Agus Widjojo itu seperti apa. Tentara kok mikir? Ya, tentara memang harus berpikir. Apalagi, perwira, bahkan perwira tinggi. Penguasaan okol, kesamaptaan, keterampilan teknis keprajuritan, mungkin lebih tepat dititikberatkan untuk prajurit yang bertugas di lapangan atau mayoritas tamtama dan bintara.
Perwira tak bisa hanya mengandalkan fisik, tetapi juga harus memiliki pemikiran dan kebijaksanaan. Olah fisik, serta olah pikir, bahkan olah rasa. Doktrin pendidikan taruna di Akademi Militer: Tanggap, Tanggon, Trengginas menggambarkan seorang perwira yang dihasilkan dari akademi itu tak cukup kuat fisik saja.
Buku ini menggambarkan sosok Agus Widjojo yang bisa olah fisik, karena prajurit, suka olahraga, dan pernah menjadi komandan pasukan, tetapi juga matang dalam olah pikir dan olah rasa. Olah raga dan olah jiwa yang seimbang meskipun mungkin tak selamanya bisa selalu seimbang.
Buku ini menjadi kian lengkap karena dimasukkannya pandangan sejumlah kolega dan pribadi yang pernah berseberangan dengan Agus Widjojo. Prajurit atau jenderal yang dinilai terlalu kuat olah pikirnya, seperti Zhuge Liang atau pemikir strategi perang yang hebat dari China Sun Tzu, atau Ki Ageng Pamanahan dan Panembahan Senapati, atau Gadjah Mada di era Majapahit, acap kali dimusuhi justru di lingkungannya sendiri. Bahkan, dianggap sebagai ”pengkhianat”, diberikan berbagai lebel negatif, serta kariernya nyaris tak pernah menjadi nomor satu di lingkungannya. Tidak taat pada pimpinan atau aturan, dan pemberontak.
Juga dianggap cukup berada di belakang meja. Agus dalam bukunya terceritakan dengan halus pernah mengalami itu semuanya pula.
Baca Juga: Pandemi Pengaruhi Ketahanan Nasional
Dalam banyak cerita, seseorang yang kuat olah pikirnya juga biasanya mampu mengendalikan emosinya. Kuat olah rasanya sehingga tak mudah ”meledak”. Jembar segarane. Mudah memaafkan, tidak memasukkan segala sesuatu yang kurang menyenangkan yang diterimanya ke dalam hati (boleh jadi juga ”tidak punya hati”), serta mudah berdamai dengan lawan atau masa lalu. Inilah gambaran tentang Agus yang kuat terpatrikan dalam bukunya, yang berangkat dari kisah orang-orang sekitarnya.
Mereka yang ahli olah pikir, kalau dalam dunia kemiliteran terwujud sebagai ahli strategi, biasanya juga ahli politik. Politik sebagai yang dikatakan Otto EL von Bismarck (1815-1998) adalah the art of possible, the attainable, the art of the next best. Dalam politik, tidak ada lawan abadi. Bahkan, di era kolaborasi saat ini, untuk meraih kesuksesan atau kemenangan, bukanlah hal yang tabu untuk kita bekerja sama atau berkolaborasi dengan pesaing atau lawan (bisnis) sekalipun.
Mudah berdamai dengan lawan atau masa lalu. Inilah gambaran tentang Agus yang kuat terpatrikan dalam bukunya, yang berangkat dari kisah orang-orang sekitarnya.
Mereka yang suka berpikir, berolah pikir, pada masa lalu biasanya menyukai dan menonton wayang, seperti Soekarno, Presiden pertama negeri ini yang mendirikan Lemhannas, tempat Agus kini bertugas. Jika tokoh saat ini (mungkin) menyenangi komik atau anime. Dalam cerita wayang pun ada sejumlah nama, yang menggambarkan sebagai sosok ahli strategi. Jenderal yang berpikir dan tak selalu berperang di medan laga.
Misalnya Wibisana dalam kisah Ramayana, atau Narayana, yang dikenal sebagai Prabu Kresna dalam cerita Mahabharata. Wibisana meninggalkan kakaknya, Rahwana, dan negerinya, Alengka, untuk membantu Rama, merebut kembali Sinta dan menegakkan kebenaran. Wibisana adalah pahlawan bagi Kerajaan Kosala dan pasukan kera yang dipimpin Hanoman dari Goa Kiskenda.
Namun, ia bisa jadi dinilai sebagai pengkhianat di Alengka. Apalagi, kakak kandungnya, Kumbakarna, yang adalah prajurit ”sejati”, meskipun berpikiran sejalan dengan Wibisana, tetap membela negerinya dan gugur di tangan Rama dan adiknya, Laksmana, serta ribuan pasukan kera.
Kresna menjadi figur di balik keberhasilan Pandawa mengalahkan Kurawa di Padang Kurusetra. Kresna pula sosok di balik terbunuhnya Resi Durna, guru kedua keluarga dalam kisah Mahabharata, setelah sukses menyebarkan hoaks–mungkin ini adalah cerita kabar bohong pertama di dunia yang ada dalam karya sastra–tentang kematian Aswatama, anak Resi Druna. Kabar bohong itu membuat Durna pun kehilangan daya hidup dan akhirnya terbunuh oleh panah yang dilepaskan Arjuna, muridnya.
Prabu Yudhistira, pemimpin Amarta, yang dikenal sangat jujur dan berdarah putih terlibat dalam tragedi hoaks yang dirancang Kresna itu. Padahal, yang mati bukanlah Aswatama, melainkan Hestitama, seekor gajah yang dimiliki Aswatama.
Baca Juga: Pesan dari Monumen Bung Karno Setinggi Empat Meter
Bagi Pandawa dan rakyat Amarta, sosok Kresna merupakan ahli strategi yang hebat. ”Jenderal” medan perang yang buah pemikirannya menjadikan kebatilan kalah. Pandawa yang berhak atas tanah dan Kerajaan Astina pun memperoleh kembali haknya. Namun, bagi Kurawa dan sebagian rakyat Astina, figur Kresna merupakan pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Licik.
Agus adalah bagian dari tentara yang pemikir itu. Namun, ia juga adalah pribadi yang unik dan berbeda....
Tak hanya Wibisana dan Kresna, yang merupakan tokoh rekaan, fiksi–meskipun bagi sebagian orang diyakini kisah pewayangan itu benar-benar terjadi–sebagai prajurit, komandan, jenderal, atau siapa pun yang mengandalkan olah pikir, mikir, menjadi sosok di balik kemenangan yang diraih pasukan di medan perang. Banyak juga tokoh sejarah yang menunjukkan tentara yang mikir, dan membuahkan kemenangan bagi pasukannya atau tercatat indah dalam sejarah.
Buku Tentara Kok Mikir bertutur tentang Agus Widjojo. Dan, Agus adalah bagian dari tentara yang pemikir itu. Namun, ia juga adalah pribadi yang unik dan berbeda....