Saat Ini Tengah Terjadi Krisis Kepemimpinan Daerah
Kapasitas dan integritas kepala daerah menjadi determinan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, kejadian beberapa hari terakhir ini pada sejumlah kepala daerah jadi preseden buruk dan alarm bahaya bagi pembangunan daerah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis kepemimpinan daerah sedang terjadi selama pandemi Covid-19 yang menimbulkan keprihatinan publik. Krisis tersebut ditunjukkan dengan beberapa kasus kepala daerah yang melanggar aturan.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, tindakan kepala daerah akhir-akhir ini, baik dari sisi kebijakan maupun program, menunjukkan kemerosotan. Hal tersebut tidak hanya terjadi dari sisi kapasitas, tetapi juga integritas.
Ia menegaskan, kapasitas dan integritas kepala daerah menjadi determinan pertumbuhan ekonomi daerah. ”Dengan kejadian beberapa hari terakhir ini jadi preseden buruk dan alarm bahaya bagi kita semua terkait dengan pembangunan daerah saat ini dan juga di masa yang akan datang,” kata Armand, Kamis (2/9/2021).
Pernyataan tersebut disampaikan Armand dalam diskusi bertajuk ”Krisis Kepemimpinan Daerah di Tengah Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan oleh KPPOD. Hadir juga dalam diskusi tersebut, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang, dan Komisioner Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.
Armand menyebutkan, ada tiga kelompok kasus yang dilakukan kepala daerah akhir-akhir ini. Pertama, terkait pengelolaan keuangan daerah. Kasus tersebut terjadi pada pembelian mobil dinas pasangan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat, renovasi rumah dinas Ketua DPRD Sumatera Barat, serta pembangunan rumah dinas Bupati Penajam Paser Utara.
Selain itu, terdapat kasus penerimaan honor pemakaman jenazah warga yang terkonfirmasi Covid-19 oleh bupati dan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jember. Armand menyayangkan, kepala daerah tersebut justru memberi respons justifikasi sesuai peraturan yang ada.
Terdapat kasus penerimaan honor pemakaman jenazah warga yang terkonfirmasi Covid-19 oleh bupati dan pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten Jember. Armand menyayangkan, kepala daerah tersebut justru memberikan respons justifikasi sesuai peraturan yang ada.
Kelompok kasus kedua yang terjadi, yakni aktivitas sejumlah kepala daerah atau politisi di daerah yang menimbulkan kerumunan. Armand memberikan contoh kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Pada kasus ini, kepala daerah telah melakukan perbuatan tercela dengan melanggar sumpah jabatan. Mereka melawan instruksi Menteri Dalam Negeri dalam penanganan pandemi Covid-19.
Sementara itu, kelompok kasus ketiga yang terjadi adalah jual-beli jabatan di Probolinggo. Armand menuturkan, beberapa kasus tersebut menggambarkan persoalan terutama pada pranata politik yang melahirkan pemimpin daerah yang mempunyai kapasitas dan integritas.
Selain itu, ada persoalan terkait dengan kebijakan dan kelembagaan. Menurut Armand, besarnya pengaruh jabatan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian telah dimanfaatkan kepala daerah untuk menjual pengaruh mereka di daerah.
Ia mengatakan, kepala daerah juga memiliki masalah dalam pemahaman peraturan perundang-undangan dan pemahaman terhadap implementasi pemerintah pusat, terutama terkait dengan integritas.
”Ada persoalan sistem atau fondasi terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah, terutama terkait dengan pembinaan pengawasan untuk program-program prioritas nasional atau program terkait dengan upaya kita menghadapi situasi darurat,” kata Armand.
Robert Na Endi Jaweng menambahkan, selain pemimpin daerah yang bermasalah, ada dua tipe lainnya yang perlu mendapatkan perhatian. Mereka adalah pemimpin lokal yang tidak ada masalah dan pemimpin yang melakukan perubahan.
Ia mengatakan, para pemimpin yang mampu berinovasi telah membuktikan kinerjanya. Meskipun belum bisa dikatakan berhasil, mereka memberikan pembuktian yang cukup sigfikan dan menjanjikan ke depan.
Akmal Malik menuturkan, kebijakan desentralisasi otonomi daerah di Indonesia sedang diuji di masa pandemi ini. Dalam menangani pandemi dibutuhkan gerak bersama dan satu cara pandang. Ia menegaskan, aturan sudah dibuat dengan sangat jelas, tetapi tidak semua pemangku kepentingan segera memahami bahwa pandemi ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa.
”Aktor-aktor tidak sesuai dengan norma-norma kepatutan. Kepala daerah justru melakukan tindakan yang tidak terpuji. Dalam kondisi normal saja, kita menemukan pihak-pihak yang tidak bekerja sesuai aturan yang sudah dibuat,” kata Akmal.
Kemendagari hanya bisa memberi sanksi sebatas teguran kepada kepala daerah yang melanggar aturan. Proses pemberhentian tidak bisa dilakukan karena mereka dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Akmal menuturkan, Kemendagari hanya bisa memberi sanksi sebatas teguran kepada kepala daerah yang melanggar aturan. Proses pemberhentian tidak bisa dilakukan karena mereka dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Junimart Girsang mengatakan, menjadi pemimpin di masa pandemi Covid-19 dibutuhkan karakter kepemimpinan. Sebab, untuk menghadapi permasalahan di masa pandemi, dibutuhkan respons cepat dan tepat. Mereka harus memiliki skala prioritas untuk efektivitas kerja.
Ia menegaskan, pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi kepala daerah. Karena itu, dibutuhkan pemimpin yang berkualitas dan bisa tampil. Mereka yang berkualitas mempunyai ciri-ciri utama seperti mampu berinovasi dan memiliki kredibilitas tinggi dalam menghadapi krisis.