Jaga Kebebasan Akademik, Presiden Didesak Berikan Amnesti untuk Saiful Mahdi
Presiden didorong untuk memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala Saiful Mahdi. Pada mulanya Saiful mengkritik perekrutan pegawai di kampusnya. Akibat kritiknya itu, ia digugat mencemarkan nama baik.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil telah mendaftarkan permohonan amnesti atau pengampunan hukuman terhadap dosen Universitas Syiah Kuala Saiful Mahdi. Sebelumnya, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Saiful sehingga dia harus dihukum penjara tiga bulan. Saiful dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik saat mengkritik proses penerimaan pegawai di kampus.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur saat konferensi pers, Kamis (2/9/2021), mengatakan, koalisi masyarakat sipil sudah mengirimkan surat pengajuan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara. Koalisi masyarakat sipil itu terdiri dari YLBHI, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Safenet, Change.org, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dan Amnesty International.
Sesuai aturan, presiden membutuhkan dukungan dari Kemensesneg dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan amnesti kepada seseorang. Selain itu, pemberian amnesti juga membutuhkan persetujuan dari DPR.
Kami mendesak kepada presiden untuk segera memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Tepat pada hari ini, putusan pengadilan akan dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh karena telah berkekuatan hukum tetap. (Isnur)
”Kami mendesak kepada presiden untuk segera memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Tepat pada hari ini, putusan pengadilan akan dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh, karena telah berkekuatan hukum tetap,” tutur Isnur.
Isnur juga meminta dukungan dari publik untuk mendesak presiden mengeluarkan amnesti kepada Saiful. Masyarakat yang peduli pada demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi diminta memberikan dukungan melalui petisi daring di laman Change.org. Hingga Kamis sore, sebanyak 71.959 dari target 75.000 petisi daring sudah ditandatangani. Mereka meminta Saiful dibebaskan dan menghentikan pembungkaman terhadap kebebasan akademik di kampus.
Kilas balik dalam perkara Saiful, dia dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala dengan pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat menyampaikan kritik terhadap proses penerimaan pegawai kampus yang dianggapnya sarat kecurangan. Kritik disampaikan di dalam grup percakapan Whatsapp (WAG) terbatas kampus.
Perkara itu mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Desember 2019. Majelis hakim kemudian menjatuhkan putusan penjara tiga bulan dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara pada April 2020. Terhadap putusan itu, Saiful telah mengajukan upaya banding dan kasasi. Namun, terakhir, gugatan kasasinya ditolak MA.
Dewan Pengarah KIKA Herlambang P Wiratraman menambahkan, kiranya tidak berlebihan jika proses hukum terhadap Saiful disebut sebagai peradilan sesat. Sebab, KIKA telah melakukan eksaminasi atau penilaian terhadap putusan hakim dalam perkara tersebut. Menurut Herlambang, putusan majelis hakim tidak menggunakan argumen dan nalar hukum yang baik.
Putusan tersebut juga tidak terhubung dengan dalil kejahatan yang dituduhkan, serta jauh dari standar kemanfaatan hukum. Preseden perkara pencemaran nama baik sebelumnya seperti kasus Prita Mulyasari dan Baiq Nuril tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim.
Ratifikasi aturan internasional tentang HAM dan kovenan hak sipil politik tak digunakan hakim dalam pertimbangan memutus perkara. Bahkan, regulasi terbaru Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang Penanganan Kasus UU ITE juga tidak dijadikan acuan. Hakim dinilai tak peka terhadap perkembangan hukum dan doktrin hukum baru.
Ratifikasi aturan internasional tentang HAM dan kovenan hak sipil politik tak digunakan hakim dalam pertimbangan memutus perkara. Bahkan, regulasi terbaru Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang Penanganan Kasus UU ITE juga tidak dijadikan acuan.
”Sebanyak 15 orang anggota majelis eksaminasi putusan sepakat bahwa ini adalah putusan yang keliru. Bahkan, saksi ahli yang dihadirkan di persidangan yaitu Hendri Subiakto dari Kementerian Kominfo juga mengatakan bahwa itu adalah kebebasan akademik, bukan pencemaran nama baik. Tetapi, pendapat ahli tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim,” terang Herlambang.
Kejadian yang menimpa Saiful Mahdi, lanjut Herlambang, adalah pukulan berat bagi dunia akademis. Kasus seperti itu bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan saja. Jika tidak ada upaya untuk memperbaiki dari otoritas terkait, ini akan menjadi preseden buruk. Dia khawatir kebebasan akademik di kampus akan semakin memburuk, seiring dengan tren kebebasan sipil yang melemah di Indonesia. Diperlukan komitmen dari negara melalui presiden untuk menjaga iklim kebebasan akademik kampus.
”Kritik adalah bagian dari kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat. Secara ketatanegaraan, presiden dimungkinkan untuk mengoreksi putusan pengadilan yang sesat. Pemberian amnesti akan menjadi wujud komitmen presiden dalam menjaga demokrasi,” kata Herlambang.
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto berharap, presiden dapat menggunakan kewenangannya untuk mengoreksi putusan pengadilan yang dianggap sesat tersebut. Sebelumnya, presiden juga pernah memberikan amnesti kepada perempuan guru Baiq Nuril yang dikriminalisasi dengan UU ITE saat mencari bantuan atas pelecehan seksual yang dialami. Amnesti bagi Nuril adalah pengampunan pertama yang diberikan presiden kepada warga sipil yang bukan tahanan politik. Dasar pemberian amnesti saat itu adalah wujud komitmen presiden pada isu perempuan dan kemanusiaan.
”Sekarang, presiden juga bisa menggunakan kewenangannya lagi untuk memberikan amnesti kepada korban peradilan sesat dan ketidakadilan Saiful Mahdi. Saiful Mahdi menjadi korban ketidakadilan dari kalangan akademisi yang seharusnya dilindungi kebebasan akademiknya,” kata Damar.
Saiful Mahdi mengatakan, sebagai warga negara yang baik, dia dan keluarganya harus menerima putusan MA dengan ikhlas. Dirinya juga harus patuh terhadap putusan pengadilan. Namun, perjuangan untuk memperoleh keadilan tidak boleh berhenti. Dia juga berterima kasih kepada masyarakat sipil yang terus mendukung dan berada di belakangnya untuk memperjuangkan keadilan.
”Perjuangan memperoleh keadilan harus dilanjutkan, kami tidak mau tunduk pada kezaliman,” kata Saiful.