Belum Ada Capres Dominan, Prabowo-Anies-Ganjar Masih Bersaing Ketat
Hingga 2,5 tahun jelang Pemilu Presiden 2024, nama Prabowo, Anies, dan Ganjar masih menduduki elektabilitas tertinggi dibanding tokoh lainnya. Namun, selisih elektabilitas ketiganya masih berkisar 0,5 persen-5 persen.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai survei dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa hingga 2,5 tahun menjelang perhelatan pemilihan presiden 2024, belum ada calon yang dominan. Ada tiga nama yang bersaing ketat di papan atas, yakni Prabowo Subianto, Anies Rasyid Baswedan, dan Ganjar Pranowo, dengan perbedaan derajat keterpilihan 0,5 persen-5 persen antara satu dan lainnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang juga dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan menuturkan bahwa di antara ketiga nama tersebut, belum ada yang dominan karena elektabilitas mereka masih berada di sekitar 20 persen kalau diadu dengan banyak nama. Seorang calon atau bakal calon disebut dominan jika elektabilitasnya sudah berada di kisaran 30 persen-35 persen ketika diadu dengan banyak nama, misalnya 10-15 nama.
”Tapi, mereka enggak, (mereka) stagnan di angka 15 sampai 22-23 persen. Artinya, (di) pilpres siapa pun masih bisa (terpilih),” kata Djayadi pada diskusi publik melalui Twitter spaces, Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini. Diskusi yang mengusung tema ”Misteri dan Serba-serbi Capres Dini” tersebut digelar pada Rabu (1/9/2021) malam.
Survei Charta Politica yang dirilis pada 14 Agustus, misalnya, menempatkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada posisi teratas dengan elektabilitas 16,2 persen. Disusul Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan elektabilitas 14,8 persen, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan 14,6 persen.
Institute fo r Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) dalam survei yang dipublikasikan 3 Agustus menyebut Prabowo unggul tipis dari Anies dengan perolehan masing-masing 17,5 persen dan 17,00 persen. Adapun Ganjar elektabilitasnya 8,1 persen.
Sementara survei Litbang Kompas pada April lalu juga menunjukkan elektabilitas Prabowo sebesar 16,4 persen. Disusul Anies dengan elekrabilitas 10 persen dan Ganjar 7,3 persen.
Sebagai perbandingan, elektabilitas Joko Widodo dan Prabowo pada tahun 2013 dominan dibandingkan calon lain. Dominasi keduanya tidak tergoyahkan karena kebetulan tidak ada perkembangan yang mengejutkan menjelang Pemilu 2014.
Popularitas
Dalam diskusi itu, Djayadi menuturkan adanya rumus dikenal, disuka, dan dipilih. Rumus tersebut pun dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk menjelaskan posisi figur, termasuk figur utama partai, seperti Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, dan Puan Maharani.
”Nama-nama yang banyak di baliho itu memang tingkat pengenalan di publik masih di kisaran 60 persen ke bawah. Mbak Puan itu 60 persen orang Indonesia tahu. Sementara Airlangga Hartarto dan Cak Imin itu tingkat popularitasnya masih di bawah 40 persen, bahkan 30 persen. Itu data sejumlah survei, baik LSI maupun yang lain,” ujar Djayadi.
Hal tersebut diperkirakan merupakan salah satu alasan mengapa para tokoh politik memilih strategi memasang baliho dan memasang iklan di media, baik media massa maupun media sosial. ”Itu salah satu tujuannya, menurut saya, untuk meningkatkan popularitas. (Hal ini) karena akan sulit untuk bersaing dengan calon lain kalau popularitasnya sebagai capres atau cawapres di bawah 70 persen,” kata Djayadi.
Menurut dia, baliho dipilih karena dapat dipasang di mana saja dan dapat menjangkau daerah-daerah yang tidak terjangkau internet. Media sosial juga dapat dipakai untuk meningkatkan popularitas, tetapi daya jangkaunya belum sampai 100 persen. Di Indonesia, daya jangkau media sosial baru sekitar 60 persen.
Data survei menunjukkan bahwa hampir sekitar 80 persen masyarakat Indonesia masih menonton televisi, terutama televisi nasional. ”Jadi, itu media yang efektif untuk memperkenalkan diri, untuk dikenal. Kalau untuk disukai itu, lain lagi. Itu lebih ke tim sukses di darat, personal branding, dan sebagainya,” katanya.
Menurut Djayadi, kemampuan mereka dapat bersaing di 10 besar atau terutama 5 besar harus dilihat dulu apakah mereka mampu meningkatkan popularitasnya. ”(Hal ini) karena kalau tidak dikenal, kan, tidak bisa bersaing. Anies Baswedan itu tingkat dikenalnya sudah sekitar 85 persen. Kalau Prabowo sama dengan Presiden Joko Widodo, berkisar 95-96 persen, intinya hampir semua orang Indonesia kenal,” ujarnya.
Ganjar dikenal berksar 60-62 persen, artinya dia mempunyai wilayah yang masih cukup banyak untuk meningkatkan elektabilitas. ”Ridwan Kamil juga di kisaran itu. AHY di kisaran 70 persen. Jadi, 10 besar ini bisa bersaing, antara lain, karena mereka sudah sama-sama populer. Kalau sama-sama populer, baru kita bicara berikutnya, yaitu strategi membuat orang lain suka kepada kita,” kata Djayadi.
Puan, dari sisi popularitas, telah masuk papan tengah atau minimal sudah bersaing dengan Ganjar, Ridwan Kamil, dan AHY. Namun, tingkat elektabilitasnya rendah. Ada selisih jauh antara tingkat popularitas Puan dan tingkat elektabilitasnya.
”Sehingga, itu berarti tingkat popularitasnya tidak begitu efektif ditransformasi menjadi tingkat elektabilitas. Itu berarti ada problem, mungkin, di personalitas, persepsi orang terhadap personalitasnya, persepsi orang apakah dia perhatian terhadap rakyat, politisi yang bisa memimpin, dan sebagainya,” ujar Djayadi.
Apabila dilihat dari segi elektabilitas, memang cukup berat bagi Puan untuk bersaing, terutama jika berhadapan dengan nama lain, seperti Prabowo dan Anies. ”Tapi, kalau Mbak Puan berhadapan dengan Ganjar, mungkin masih bisa mengejar kalau dia mampu membujuk pemilih PDI-P bahwa PDI-P itu tidak mencalonkan Ganjar, tetapi mencalonkan Puan,” katanya.
Djayadi memperkirakan, salah satu tujuan pemasangan banyak baliho Puan bukan hanya untuk meningkatkan popularitas, melainkan juga untuk memberikan pesan kepada pemilih PDI-P, terutama yang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, serta Sumatera Utara bahwa dukungan PDI-P diberikan kepada Puan. Dengan demikian, diharapkan loyalitas kader dan simpatisan berpindah ke Puan.
”Terhadap Ganjar mungkin masih bisa, tapi nanti itu harus dibuktikan ke depan. Untuk Airlangga Hartarto dengan Cak Imin, memang tampaknya ada problem efektivitas dari popularitas. Jadi, memang mungkin mereka tidak mengejar capres, yang dikejar mungkin cawapres,” kata Djayadi.
Sementara itu, Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fajar Nursahid menuturkan, apabila mencoba membandingkan sentimen di sosial media dan analisis mahadata, terlihat di antara para tokoh ada yang sangat populer, tetapi favorabilitasnya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi menuju pencapresan itu memang tidak semulus dan senormatif yang dibayangkan di luar.
Fajar setuju apabila hal ini dilihat sebagai peta jalan bagi capres menuju kontestasi 2024. Pilpres sudah berkali-kali dilakukan dan figur dapat jauh lebih dominan ketimbang partai politik pengusungnya. Sebagai contoh, Jokowi jauh melampaui favorabilitas partai yang mengusungnya. SBY dulu juga sama.
”Jadi, kalau sekarang ada figur-figur yang mencoba mem-branding dirinya sebagai bagian dari yang mau dikemas sebagai capres potensial oleh partainya, apalagi dia merupakan sentrum tunggal atau sentrum kuat di partai politik internalnya, tapi tidak cukup mengangkat, menurut saya itu menjadi warning bagi partai politik untuk juga menimbang, apakah misalnya dia memaksakan itu atau tidak. Kecuali kebutuhannya untuk konsolidasi,” ujar Fajar.
Kalau ada sentrum politik yang kuat di partai, tapi kemudian di luar tidak cukup menjual, setidaknya dalam survei-survei dua tahun belakangan, itu menjadi warning bahwa ada soal di figur-figur partai.
Menurut Fajar, hal tersebut menjadi penting dalam konteks efektivitas pencapresan. ”(Hal ini) karena kalau ada sentrum politik yang kuat di partai, tapi kemudian di luar tidak cukup menjual, setidaknya dalam survei-survei dua tahun belakangan, itu, kan, menjadi warning bahwa ada soal di figur-figur partai,” katanya.