Agar Penegak Hukum Tak Lagi Bingung Menyikapi Kebebasan Berekspresi
Sejak mural dan unggahan di Twitter tidak dilihat sebagai ekspresi seni dan politik. Namun, itu justru dilihat sebagai penghinaan simbol negara. Di sini diskursus kebebasan ekspresi dan berpendapat harus terus dipantik.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Fenomena penghapusan mural kritis, penegakan hukum pasal karet UU ITE, hingga somasi masyarakat sipil seolah menunjukkan situasi darurat demokrasi di Indonesia. Melihat itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak mau tinggal diam. Pemahaman aparat penegak hukum atas kebebasan berekspresi dan berpendapat harus ditingkatkan agar tak terjadi pengekangan.
Hingga awal September 2021, fenomena penghapusan mural oleh aparat satuan polisi pamong praja masih berlanjut. Terbaru, mural mirip Presiden Joko Widodo berbaju hitam bertuliskan Rp 11 T sedang tersenyum dan mengacungkan jempol di Jakarta Selatan dihapus. Di dekat kepala sosok tersebut juga tertulis ”Okelah Tiga Periode HEHEHE” dan ”#IndonesiaWajibOke”, ”Enggak oke? BORGOL”. Tak berselang lama, mural tersebut sudah ditutup dengan cat warna putih.
Sebelumnya, di Batuceper, Kota Tangerang, Banten, sebuah mural bergambar wajah yang pada bagian mata ditutup tulisan ”404: Not Found” diperbincangkan khalayak ramai. Wajah dalam mural itu disebut-sebut mirip Presiden Joko Widodo. Tak berselang lama, gambar itu ditimpa dengan cat hitam. Alasannya, wajah presiden adalah lambang negara. Polisi juga mencari orang yang melukis mural tersebut.
Pertentangan
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto mengatakan, ketegangan di dunia nyata dan dunia maya mengenai cara aparat menyikapi mural dan suara kritis cukup mengkhawatirkan. Ada kecenderungan aparat membatasi dan mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Tak lama setelah mural viral di media sosial, polisi juga menahan pemilik akun Twitter @OmBewok3. Baik seniman mural maupun warganet dianggap menghina simbol negara. Menurut dia, ketegangan itu terjadi karena kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu dipertentangkan dengan keamanan nasional.
”Di sini, mural tidak dilihat sebagai ekspresi seni dan unggahan di Twitter juga tidak dianggap sebagai bentuk ekspresi politik. Tetapi justru dilihat sebagai penghinaan simbol negara dan ujaran kebencian,” kata Damar saat diseminasi SNP bersama Komnas HAM, Selasa (31/8/2021).
Realitasnya masih ada ketegangan kebebasan berekspresi karena selalu dikaitkan dengan keamanan nasional.
Situasi itu, menurut Damar, membuat diskursus mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat harus terus dipantik. Sebab, realitasnya, masih ada ketegangan kebebasan berekspresi karena selalu dikaitkan dengan keamanan nasional. Dia mencontohkan, ekspresi keagamaan misalnya kerap dibenturkan dengan harmoni sosial. Ekspresi politik dibenturkan dengan mengatasi disinformasi. Ekspresi seni dengan pembatasan ujaran kebencian dan kemerdekaan pers dengan mencegah keonaran.
Padahal, sebenarnya sudah banyak rujukan instrumen baik standar HAM internasional, kawasan, maupun nasional yang menjelaskan soal kebebasan berekspresi dan berpendapat. Damar juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia nyata berlaku sama dengan di dunia maya. Hal itu telah diatur di Joint Declaration on Challenges to Freedom of Expression in The Next Decade tahun 2019.
”Meskipun sudah banyak instrumen yang mengatur soal kebebasan berekspresi dan berpendapat, praktiknya di lapangan masih ada kebuntuan dan kebingungan dari penyelenggara negara atau aparat penegak hukum. Dengan demikian, harus ada yang aturan yang menjadi solusi untuk mengikis kebuntuan tersebut,” kata Damar.
Standar norma dan pengaturan
Pelaksana Tugas Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono mengatakan, Komnas HAM mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. SNP diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyelenggara negara dan aparat penegak hukum untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
Setelah peluncuran, Komnas HAM mendiseminasikan SNP itu di antaranya kepada Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Diharapkan, setelah itu ada forum yang lebih intens lagi di setiap kementerian/lembaga untuk menyosialisasikan SNP.
Mimin menambahkan, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah ciri utama negara yang demokratis. Kebebasan itu juga diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik, dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Kebebasan berpendapat dan berekspresi juga dapat digunakan sebagai penentu hak atas pendidikan, hak untuk berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, hak atas kesehatan, dan lain-lain.
”Ini harus kita jaga, rawat, dan pertahankan agar Indonesia tetap menjadi negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” kata Mimin.
Hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah ciri utama negara yang demokratis. Kebebasan itu juga diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik, dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis.
SNP yang disusun oleh Komnas HAM ini bersumber dari Deklarasi Universal HAM, UUD 1945, UU HAM, serta Kovenan Hak Sipil dan Politik. Rujukan aturan itu kemudian diterjemahkan dalam bentuk panduan, penjelasan, dan pemaknaan, yang lebih mudah dipahami. Misalnya, penjelasan mengenai kebebasan ekspresi seni mural yang berfungsi sebagai katup pengaman sosial ketika tidak ada media tersedia secara memadai. SNP juga mengatur tentang bagaimana mekanisme pembatasan hak-hak tersebut.
”Bagaimana pembatasan hak-hak itu bisa dilakukan oleh negara secara legal, terukur, dan proporsional. Kami apresiasi kebijakan dari Polri yang akhirnya menyatakan bahwa mural adalah kebebasan berekspresi,” kata Mimin.
Mimin berharap, Komnas HAM bisa duduk bersama menyamakan persepsi dengan aparat penegak hukum terkait SNP tersebut. Bentuk kegiatannya bisa berupa pelatihan maupun seminar. Komnas HAM berharap, SNP bisa menjadi acuan dalam penanganan kasus kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selain kepada APH, Komnas HAM juga akan menjajaki sosialiasi dengan cabang kekuasaan yudikatif, dan eksekutif seperti Kominfo.
Keadilan restoratif
Kepala Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Iwan Kurniawan mengatakan, sebagai APH, Polri berkomitmen untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Tugas utama Polri adalah melindungi masyarakat. Namun, Polri juga harus menjaga agar kebebasan itu tidak kebablasan dan menjadi pelanggaran hukum.
Apabila masuk dalam ranah pelanggaran hukum, Polri berwenang melakukan proses penegakan hukum. Namun, proses penyelesaiannya tentu tidak harus melalui proses peradilan. Menurut dia, saat ini sudah ada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 yang mengatur tentang konsep keadilan restoratif. Perkap tersebut menjadi landasan yang dipakai aparat kepolisian di lapangan untuk menangani masalah hukum seperti kasus UU ITE.
”Polri sudah menyosialisasikan kepada jajaran polsek, polres, untuk mengedepankan terkait ini. Kami selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelesaikan perkara di luar jalur peradilan,” tegas Iwan.
Iwan juga mengapresiasi hadirnya SNP kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dibuat oleh Komnas HAM. Menurut dia, SNP sudah selaras dengan aturan internal Polri yang mengutamakan prinsip penegakan hukum restoratif. Dia berharap dengan adanya SNP, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat dilakukan secara benar, tanpa menyimpang dari hukum.