302 Perkara Dihentikan Kejaksaan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Setelah diterbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, pendekatan keadilan restoratif akan menjadi keutamaan untuk mewujudkan hukum yang manusiawi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan keadilan restoratif akan tetap diutamakan Kejaksaan untuk mewujudkan hukum yang lebih manusiawi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sepanjang 2020 hingga Agustus tahun ini, Kejaksaan telah menghentikan 302 perkara.
Pada Juli 2020 diterbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat penerapan peraturan itu, antara lain, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Sepanjang 2020, kejaksaan telah menghentikan 222 perkara berdasarkan keadilan restoratif. Pada 2021, sejak Januari hingga Agustus, kejaksaan telah menghentikan 80 perkara yang terdiri dari 73 perkara orang dan harta benda dan 7 perkara terkait keamanan negara dan ketertiban umum serta tindak pidana umum lain.
Secara umum, jenis tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan pelanggaran lalu lintas.
Keberhasilan penerapan ketentuan keadilan restoratif ini sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh integritas Jaksa. (Fadil Zumhana)
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Fadil Zumhana, dalam keterangan tertulis, Kamis (2/9/2021), mengatakan, Peraturan Kejaksaan 15/2020 tersebut menegaskan perlunya nurani dan kepekaan agar dapat menyeimbangkan hukum dengan tetap memperhatikan nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
”Keberhasilan penerapan ketentuan keadilan restoratif ini sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh integritas jaksa,” kata Fadil dalam rapat kerja bidang tindak pidana umum.
Menurut Fadil, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, serta pidana sebagai jalan terakhir dan cepat. Pihaknya juga telah membuat beberapa petunjuk pelaksanaan Perja 15/2020 sebagai pedoman jaksa di lapangan.
Sebelumnya, ketika membuka rapat kerja bidang tindak pidana umum, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, untuk mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum, penerapan hukum berdasarkan hati nurani menjadi kebutuhan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Untuk mewujudkan itu, kejaksaan menerbitkan Perja 15/2020 sebagai bentuk kristalisasi penerapan hukum berdasarkan hati nurani.
”Saudara tentunya sudah mengetahui kasus tersebut, di mana terkesan aparat penegak hukum telah tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak terlalu berat,” kata Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, selaku pemilik asas dominus litis, jaksa adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan sebentuk diskresi penuntut umum untuk melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang hendak dicapai.
”Saya ingin kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Burhanuddin.
Perkara didamaikan
Secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI) Asfinawati memandang positif gagasan yang mendasari terbitnya Perja 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan dapat memberikan batasan jelas bagi jaksa untuk melanjutkan suatu perkara ke penuntutan atau sebaliknya menghentikan suatu perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Perja ini sudah cukup baik dengan berdasarkan cara berpikir dominus litis. Itu berarti penyidikan dilakukan untuk mendukung penuntutan. Jadi ini tidak cukup hanya diatur oleh peraturan kejaksaan, mestinya diatur undang-undang. (Asfinawati)
Meski demikian, di lapangan masih terjadi perkara yang seharusnya tidak dihentikan, tetapi malah dihentikan oleh aparat penegak hukum. Misalnya, perkara kesusilaan justru dikecualikan untuk dihentikan menurut Pasal 5 angka (8) huruf a Perja 15/2020. Namun, di lapangan, kasus kesusilaan malah diselesaikan dengan berdamai, termasuk didamaikan oleh aparat kepolisian.
”Perja ini sudah cukup baik dengan berdasarkan cara berpikir dominus litis. Itu berarti penyidikan dilakukan untuk mendukung penuntutan. Jadi ini tidak cukup hanya diatur oleh peraturan kejaksaan, mestinya diatur undang-undang,” ujar Asfinawati.
Penetapan tersangka
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard dalam konferensi pers daring mengatakan, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung menetapkan seorang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral atau Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Tersangka tersebut adalah RDPS bin M selaku Mantan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2011 sampai dengan 2016.
”Tersangka diduga telah menerima hadiah atau janji atau gratifikasi dengan total penerimaan Rp 27,65 miliar,” kata Leonard.
Untuk kepentingan penyidikan, lanjut Leonard, tersangka telah ditahan untuk jangka waktu 20 hari ke depan mulai hari ini. Tersangka ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banjarmasin.